Sunday, September 23, 2007

Sebagian Bali Terancam Tenggelam


posted in Teknologi, Kabar Anyar contributor : admin


Oleh Anton Muhajir



Akibat pemanasan global (global warming), sebagian wilayah Bali terancam tenggelam. Parahnya lagi, kenaikan air laut hingga 6 meter itu mengancam daerah-daerah pusat kegiatan pariwisata.



Hal tersebut dikatakan Hira Jhamtani, aktivis Third World Network, jaringan negara ketiga yang terutama aktif di gerakan anti-globalisasi. Hira, yang sering mewakili lembaga swadaya masyarakat (LSM) di berbagai kegiatan internasional, menyatakan adanya ancaman itu pada diskusi yang digelar Koalisi LSM untuk perubahan iklim di Denpasar Bali hari ini.



Diskusi setengah hari di Gedung Nari Graha Renon Denpasar tersebut digelar Koalisi LSM di bidang lingkungan antara lain Yayasan Wisnu, Bali Organic Assosiation (BOA), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali, dan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali. Menurut Nyoman Sri Widianti, Eksekutif Daerah Walhi Bali, diskusi itu merupakan upaya sosialisasi persoalan pemanasan global pada masyarakat.



Selain Hira, pembicara di diskusi yang dimoderatori I Wayan Juniartha, wartawan The Jakarta Post, itu adalah Gde Prama, Ida Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa, dan I Nyoman Sadra. Sebab tema diskusi yang dihadiri sekitar 200 peserta itu memang tentang menggali budaya lokal untuk mengantisipasi global warming. “Ini akan jadi masukan pada pertemuan PBB tentang perubahan iklim di Nusa Dua Desember nanti,” kata Aik, panggilan Sri Widianti.



Hira Jhamtani, yang pernah aktif di Institute for Global Justice mengungkapkan data bahwa akibat global warming juga mengakibatkan perubahan iklim (climate change). Mengutip pemberitaan Bali Post (16/08/07), dia mengatakan bahwa saat ini ada 140 titik abrasi dari 450 bentangan garis pantai di Bali. Fakta tersebut ditambah faktor adanya lahan kritis dan perubahan iklim akan mengakibatkan kenaikan air laut hingga 6 meter. Akibatnya, sebagian wilayah Bali pun terancam tenggelam pada 2030.



Wilayah yang terancam tenggelam itu memang terutama di bagian pinggir Bali seperti Kuta, Sanur, Nusa Dua, Tanah Lot, Candi Dasa, Tulamben, Nusa Lembongan, Lovina, dan seterusnya. Namun jika tidak diantisipasi, maka kenaikan air laut itu juga bisa sampai menenggelamkan kota-kota lain yang ada di pinggir pantai termasuk Denpasar dan Singaraja. Melalui sebuah peta, Hira menunjukkan titik-titik di pinggir Bali yang rentan tenggelam tersebut.



Pemanasan global, lanjut Hira, adalah peningkatan suhu rata-rata bumi. Mengutip data Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), peningkatan suhu bumi saat ini sekitar 0,6 derajat Celcius dibanding pada tahun 1750 lalu. “Kenapa perbandingannya tahun 1750 adalah karena itulah dimulainya Revolusi Industri yang mengakibatkan penggunaan energi secara besar-besaran,” kata alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut.



Peningkatan suhu itu akan terjadi antara 1 hingga 1,5 derajat Celcius. Karena itu ada kesepakatan bersama antara negara-negara di dunia yang tergabung dalam IPCC bahwa suhu harus dibatasi maksimal 2 derajat Celcius. “Kenyataannya, itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan,” kata Hira.



Perubahan iklim, lanjutnya, adalah perubahan pola iklim dalam waktu tertentu yang mengakibatkan perubahan komposisi atmosfer global. Perubahan itu terjadi pada suhu udara, pola air hujan dan salju yang jatuh dari udara, cuaca dan musim, serta naiknya permukaan air laut. Hal ini terjadi langsung maupun tidak langsung akibat kegiatan manusia.



Secara ilmiah, iklim berubah akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca antara lain karbon dioksida (CO2), nitrogen oksida (NOx), metan (CH4), HCFC, ozon troposferik (O3), dan uap air. Gas rumah kaca itu sendiri sebenarnya terjadi secara alami untuk menangkap radiasi matahari sehingga membuat suhu dan iklim bumi stabil. Namun akibat terlalu banyaknya gas rumah kaca, radiasi matahari pun makin banyak sehingga suhu bumi pun makin hangat.



“Gas rumah kaca meningkat akibat emisi dari penggunaan bahan bakar fosil untuk transportasi, industri, dan listrik serta perubahan dalam tata guna lahan dan penggundulan hutan,” kata Hira yang sekarang tinggal di Batubulan, Gianyar tersebut.



Mengutip data World Resources Institute Climate Analysis Indicator Tools, hingga tahun 2000 lalu, ada 42 giga ton gas CO2 di atmosfir. Listrik (24 persen) adalah sumber emisi gas rumah kaca paling besar disusul tata guna lahan (18 persen), industri (14 persen), transportasi (14 persen), pertanian (14 persen), bangunan (8 persen), terkait energi lain (5 persen), dan limbah (3 persen).



Secara per kapita, Amerika Serikat adalah negara yang paling banyak menghasilkan emisi gas rumah kaca. “Orang Amerika menggunakan pendapatan dan daya beli per kapita delapan kali lebih besar dan melepaskan proporsi CO2 lebih tinggi dibandingkan orang di tempat lain,” urai Hira. Setelah Amerika, negara lainnya adalah Australia, Kanada, Singapura, Korea Selatan, Jepang, Selandia Baru, Malaysia, Hong Kong, dan Thailand. Data ini hanya untuk emisi CO2.



Namun untuk keseluruhan emisi gas rumah kaca, negara paling banyak tetap Amerika Serikat. Berturut-turut setelah itu kemudian Uni Eropa, Cina, Indonesia, Brazil, Rusia, Jepang, India, Kanada, Meksiko, Korea Selatan, dan Afrika Selatan. “Kalau faktor kebakaran hutan tidak dihitung, pembuangan emisi gas rumah kaca di Indonesia sebenarnya kecil, mungkin di bawah Korea Selatan,” kata Hira.



Berangkat dari data-data di atas, menurutnya, saat ini sedang terjadi ketidakadilan iklim global. “Negara-negara maju adalah penghasil emisi gas rumah kaca paling besar di dunia saat ini. Namun dampaknya justru dirasakan negara-negara miskin,” tegas Hira.



Dampak itu bisa dilihat dari data di perusahaan Asuransi Swiss Re bahwa 90 persen bencana terkait perubahan iklim justru terjadi di Asia. Misalnya berupa banjir di India, gelombang besar di Jepang, dan badai di berbagai negara. Jika ini tidak diantisipasi, ada kemungkinan bahwa pada 2050 akan terjadi kebanjiran tiap tahun di Asia dan Afrika yang mengakibatkan pengungsian besar-besaran hingga 200 juta orang. “Itu pengungsi yang jauh lebih besar dibandingkan korban perang,” kata Hira.



Indonesia pun sudah mengalami dampak perubahan iklim tersebut. Misalnya kenaikan air di Teluk Jakarta setinggi 57 mm tiap tahun. Daerah lain di Indonesia, termasuk Bali, pun mengalami hal yang tak jauh berbeda.



Di Bali, daerah-daerah yang rentan mengalami dampak global warming itu terutama pada daerah pantai. Sebagai contoh, seperti pernah disebut Iwan Dewantama dari WWF Bali Barat, di perairan Pulau Menjangan dan Taman Nasional Bali Barat lainnya terjadi coral bleaching (pemutihan terumbu karang), yang salah satu sebabnya adalah kenaikan suhu air laut.



Jika terumbu karang sudah rusa, maka ekosistem pantai akan erosi. Atau tidak usah jauh-jauh lah. Sehari-hari pun cuaca sudah terasa tidak jelas. Bisa saja terjadi panas berlebihan pada bulan yang seharusnya sudah musim hujan. Atau sebaliknya, bisa hujan deras pada bulan yang seharusnya musim panas. Karena itu ada joke bahwa Indonesia pun saat ini punya empat musim: hujan, kemarau, hujan pada musim kemarau, dan kemarau pada musim hujan.



Lalu bagaimana Bali mengantisipasinya?



Ida Pedanda Tianyar Arimbawa mengatakan umat Hindu Bali sebenarnya sudah mampu menyikapi perubahan iklim secara sekala dan niskala. Secara sekala (alam nyata) melalui penghormatan terhadap alam. Sedangkan secara niskala (alam tak nyata) melalui upacara keagamaan sesuai sasih, tahun, serta situasi alam sesuai wariga (penanggalan) sebagai pedoman membaca perubahan cuaca dan musim.



“Namun dalam praktiknya, tidak sedikit pula upacara yang malah mendukung terjadinya kerusakan secara langsung maupun tidak,” katanya. Pedanda yang juga aktif menolak pembangunan geothermal di Bedugul itu memberi contoh bagaimana setelah upacara justru banyak sampah di sekitar lokasi upacara. Selain itu perilaku tidak hemat ketika upacara juga mendukung komersialisme sebagai salah satu sumber terjadinya kerusakan lingkungan.



Hal senada dikatakan I Nyoman Sadra, Kepala Ashram Gandhi Candi Dasa Karangasem. “Masa orang upacara saja harus pakai buah impor dari Selandia Baru dan Australia. Padahal transportasi untuk impor kan salah satu sumber pembuangan emisi gas rumah kaca,” kata mantan Kepala Desa Tenganan yang kini jadi penerus Ibu Gedong Bagoes Oka tersebut.



Sadra menambahkan bahwa kearifan budaya lokal Bali melalui konsep zonasi, ritual, dan awig-awig sudah menyadari perlunya menjaga keberlangsungan lingkungan. “Tapi kita yang justru sekarang merusaknya,” kata Sadra. [b]



(Sumber: http://www.balebegong.net)

Tuesday, September 18, 2007

Pemanasan Global Picu Konflik Antar Negara

Konsulat Bidang Politik Kedutaan Besar Inggris, Piers Cazalet, mengatakan pemanasan global tidak hanya menyebabkan bencana alam yang dahsyat, tapi juga dapat menyebabkan konflik besar di dunia."Perubahan iklim akan memperparah konflik yang sudah ada dan menciptakan konflik baru di dunia," katanya dalam Seminar Global Warming: Implikasi Sosial Ekonomi dan Keamanan Dunia di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, Selasa (15/05).Menurut dia, naiknya permukaan laut akibat pemanasan global dapat membuat batas antarnegara menjadi tidak jelas. Hal ini, katanya, berpotensi melahirkan konflik antarnegara. Selain itu, naiknya air laut juga mengakibatkan jutaan orang yang tinggal di wilayah pesisir akan bermigrasi. Perpindahan penduduk ini, dia menambahkan, sangat mungkin melahirkan konflik. "Tujuh tahun lalu di Bangladesh terjadi bencana besar. Banyak penduduk yang bermigrasi ke India sehingga melahirkan konflik di sana," katanya mencontohkan.Persediaan energi dan ketersediaan air bersih yang semakin menipis, katanya, sebagai akibat pemanasan global juga bisa menjadi sumber pemicu konflik. Dia kembali mencontohkan dalam beberapa tahun ke depan, kapasitas air Sungai Nil akan berkurang hingga 80 persen akibat pemanasan global. Meskipun masing-masing negara mengurangi emisi, katanya, pemanasan global tetap akan terjadi. "Kami melalui duta besar telah meminta Perserikatan Bangsa Bangsa untuk lebih fokus menangani masalah ini," katanya.
diposting dari Tempo interaktif,19 september 2007: 11.35

Thursday, September 13, 2007

Lembar Informasi No. 1

KETIKA SELIMUT BUMI MAKIN TEBAL:

Sekilas tentang Pemanasan Global dan Perubahan Iklim



Apa itu Pemanasan Global?

Pemanasan Global adalah proses kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi. Ada petunjuk hal itu terjadi akibat peningkatan jumlah emisi (buangan) Gas Rumah Kaca (GRK) di udara.

Panel antar pemerintah mengenai perubahan iklim atau Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)* melaporkan bahwa suhu rata-rata permukaan bumi meningkat sekitar 0.6°C pada abad ke-20 dibandingkan suhu pada tahun 1750, saat awal proses industrialisasi. Angka 0.6°C nampaknya merupakan perubahan yang kecil. Namun perubahan kecil itu mulai menimbulkan dampak yang merugikan bagi kehidupan kita.

Apa Penyebab Pemanasan Global ?

Pemanasan Global terjadi karena peningkatan jumlah Gas Rumah Kaca (GRK) di lapisan udara dekat permukaan bumi (atmosfer). Gas tersebut memperangkap panas dari matahari sehingga menyebabkan suhu bumi lebih panas daripada suhu normal.

Apa Itu Gas Rumah Kaca (GRK)?

Gas Rumah Kaca (GRK) adalah gas di udara pada lapisan permukaan bumi yang memungkinkan sebagian panas dari matahari ditahan di permukaan bumi. Secara alami gas-gas rumah kaca ini juga memancarkan kembali panas matahari agar tidak semuanya diserap bumi tetapi juga agar sebagian diserap bumi. Dengan demikian gas rumah kaca membuat suhu di bumi pada titik yang layak huni bagi makhluk hidup. GRK secara alami juga menjaga agar iklim menjadi stabil.

Namun meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca akan menyebabkan pemanasan global. GRK terdiri dari beberapa unsur, diantaranya :
• Karbon dioksida (CO2), dihasilkan terutama dari pembakaran bahan bakar fosil (seperti minyak bumi dan batubara) untuk mendapatkan energi, serta kebakaran hutan dan lahan.
• Nitrogen oksida (NOx), dihasilkan dari penggunaan pupuk kimia pada pertanian.
• Metan (CH4) dihasilkan dari pembusukan sampah yang tidak dikelola dengan baik, tanaman padi sawah dan ternak.


Mengapa Emisi Gas Rumah Kaca Meningkat?

Emisi GRK berasal dari kegiatan manusia, terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahan bakar fosil (seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam). Pembakaran bahan bakar fosil sebagai sumber energi untuk listrik, transportasi, dan industri akan menghasilkan karbondioksida dan gas rumah kaca lain yang dibuang ke udara. Proses ini meningkatkan efek rumah kaca. Emisi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil menyumbang 2/3 dari total emisi yang dikeluarkan ke udara. Sedangkan 1/3 lainnya dihasilkan kegiatan manusia dari sektor kehutanan, pertanian, dan sampah.

Pada tahun 2000 buangan total di atmosfer mencapai 42 miliar ton (Gigaton) setara karbondioksida. Satu liter bensin mengeluarkan buangan 2,4 kg setara CO2.

Siapa Penghasil Emisi terbesar?

Negara-negara maju adalah penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Menurut data dari PBB, urutan beberapa negara penghasil emisi karbondioksida per kepala per tahun sebagai berikut:
- Amerika Serikat 20 ton
- Kanada dan Australia 18 ton
- Jepang dan Jerman 10 ton
- China 3 ton
- India 1 ton
- Afrika >1 ton

Kebakaran hutan dan lahan juga melepaskan karbondioksida dalam jumlah cukup besar, seperti yang terjadi di Indonesia hampir setiap tahun terutama bila kebakaran sangat luas seperti pada tahun 1997.

Gambar 2 menunjukkan bahwa buangan dari sektor energi di negara berkembang jauh lebih kecil daripada di negara maju. Tetapi bila digabungkan dengan sektor non energi (perubahan tata guna lahan dan penggundulan hutan) maka angka buangan di negara berkembang juga cenderung tinggi walaupun tetap tidak setinggi di negara maju. Angka untuk sektor non energi masih jadi perdebatan. Indonesia, misalnya, memang menyumbangkan emisi yang cukup tinggi saat terjadi kebakaran hutan, tapi emisi ini terjadi secara musiman dan perhitungannya belum bisa dipastikan. Walaupun demikian, kebakaran hutan dan lahan tetap harus dicegah demi menjaga kelestarian ekosistem dan mencegah pencemaran udara untuk kepentingan masyarakat Indonesia sendiri.

Apa itu Perubahan Iklim?

Perubahan Iklim adalah perubahan pola perilaku iklim dalam kurun waktu tertentu. Ini bisa terjadi karena efek alami. Namun, saat ini yang terjadi adalah perubahan iklim akibat kegiatan manusia. Perubahan iklim adalah perubahan dalam kandungan gas-gas yang terkandung dalam atmosfer global akibat peningkatan emisi gas rumah kaca. Perubahan iklim mencakup perubahan dalam pola curah hujan, tekanan udara, pola angin dan suhu permukaan bumi.

Apa hubungan antara Pemanasan Global dan Perubahan Iklim ?

Salah satu akibat dari pemanasan global adalah pencairan gunung-gunung es di kedua kutub bumi. Hal ini berakibat langsung pada pola tekanan udara, volume air dan pergerakan ombak di laut sehingga mempengaruhi cuaca*. Pemanasan global juga meningkatkan radiasi matahari sehingga bisa mengganggu kestabilan iklim bumi.

Apa Dampak Perubahan Iklim?

Perubahan iklim menimbulkan perubahan pada pola musim sehingga menjadi sulit diprakirakan. Pada beberapa bagian dunia hal ini meningkatkan intensitas curah hujan yang berpotensi memicu terjadinya banjir dan tanah longsor. Sedangkan belahan bumi yang lain bisa mengalami musim kering yang berkepanjangan, karena kenaikan suhu.

Menurut perusahaan asuransi Swiss Re, 90% dari bencana terkait iklim terjadi di Asia. Pola cuaca akan menjadi ekstrim – kemungkinan cuaca panas sekali, gelombang panas, dan hujan lebat akan lebih sering terjadi. Selain itu, badai siklon tropis kemungkinan lebih intensif, disertai angin kencang dan hujan deras.

Selanjutnya perubahan iklim akan berdampak pada kehidupan kita seperti:
 Ketahanan Pangan Terancam – Produksi pertanian tanaman pangan dan perikanan akan berkurang akibat banjir, kekeringan, pemanasan dan tekanan air, kenaikan air laut, serta angin yang kuat. Perubahan iklim juga akan mempengaruhi jadwal panen dan jangka waktu penanaman. Diperkirakan 65 negara berkembang akan kehilangan sekitar 280 juta ton potensi produksi sereal. Peningkatan suhu 10C diperkirakan menurunkan panen padi 10%.

 Dampak Lingkungan – Banyak jenis makhluk hidup akan terancam punah akibat perubahan iklim dan gangguan pada kesinambungan wilayah ekosistem (fragmentasi ekosistem). Terumbu karang akan kehilangan warna akibat cuaca panas, menjadi rusak atau bahkan mati karena suhu tinggi. Para peneliti memperkirakan, melalui simulasi model komputer, bahwa 15% – 37% dari seluruh spesies dapat menjadi punah di enam wilayah bumi pada 2050. Keenam wilayah yang dipelajari mewakili 20% muka bumi.

 Risiko Kesehatan – Cuaca yang ekstrim akan mempercepat penyebaran penyakit baru dan bisa memunculkan penyakit lama. Badan Kesehatan PBB memperkirakan bahwa peningkatan suhu dan curah hujan akibat perubahan iklim sudah menyebabkan kematian 150.000 jiwa setiap tahun. Penyakit seperti malaria, diare, dan demam berdarah diperkirakan akan meningkat di negara tropis seperti Indonesia.

 Air – Ketersediaan air berkurang 10% – 30% di beberapa kawasan terutama di daerah tropik kering. Kelangkaaan air akan menimpa jutaan orang di Asia Pasifik akibat musim kemarau berkepanjangan dan intrusi air laut ke daratan.

 Ekonomi – Kehilangan lahan produktif akibat kenaikan permukaan laut dan kekeringan, bencana, dan risiko kesehatan semuanya mempunyai dampak pada ekonomi. Sir Nicolas Stern, ekonom dari Bank Dunia mengatakan bahwa dalam 10 atau 20 tahun mendatang perubahan iklim akan berdampak besar terhadap ekonomi. Walaupun tindakan mencegah dampak perubahan iklim sudah terlambat, Stern mengatakan bahwa dunia harus berupaya mengurangi emisi dan membantu negara-negara miskin untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim demi kelangsungan pertumbuhan ekonomi. Ia menjelaskan bahwa dibutuhkan investasi sebesar 1% dari total pendapatan dunia untuk mencegah hilangnya 5% - 20% pendapatan di masa mendatang akibat dampak perubahan iklim.

 Dampak sosial, budaya dan politik. Bencana terkait perubahan iklim akan meningkatkan jumlah pengungsi di dalam suatu negara maupun antar negara. Proses mengungsi ini membuat orang menjadi miskin dan tercerabut dari aka sosial dan budaya mereka, terutama hubungan dengan tanah leluhur dan kearifan budaya mereka. Di sisi lain, krisis pangan, air dan sumberdaya, serta peningkatan jumlah pengungsi akan menimbulkan konflik horizontal sehingga bisa memicu konflik politik di dalam negara maupun antar negara.

Siapa paling menderita?

Seluruh dunia akan merasakan dampak perubahan iklim. Tetapi negara dan masyarakat miskinlah yang paling rawan terkena dampaknya. Dampak perubahan iklim tidak dipikul dengan adil. Negara kepulauan kecil dan negara berkembang lain yang merupakan penyumbang terkecil pada emisi GRK, justru yang akan mengalami dampak paling besar dan paling tidak siap menghadapi perubahan iklim. Sebagai contoh, negara-negara pulau kecil di Pasifik hanya menyumbankgan 0,06 % dari total emisi seluruh dunia, tapi akan menjadi korban paling pertama akibat naiknya permukaan air laut. Demikian pula, masyarakat pesisir yang paling miskin yang akan menjadi korban terlebih dahulu. Diperkirakan 200 juta orang akan menjadi pengungsi akibat bencana iklim pada 2050, sebagian besar di antaranya adalah masyarakat miskin di pesisir dan kelompok petani di negara sedang berkembang.

Bagaimana di Indonesia?

Belum ada data komprehensif mengenai dampak perubahan iklim di Indonesia. Namun beberapa data menunjukkan bahwa:

 Suhu rata-rata tahunan menunjukkan peningkatan 0,30C sejak tahun 1990.

 Musim hujan datang lebih lambat, lebih singkat, namun curah hujan lebih intensif sehingga meningkatkan risiko banjir. Pada 2080 diperkirakan sebagian Sumatera dan Kalimantan menjadi 10-30% lebih basah pada musim hujan; sedangkan Jawa dan Bali 15% lebih kering.

 Variasi musiman dan cuaca ekstrim diduga meningkatkan risiko kebakaran hutan dan lahan, terutama di Selatan Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi (CIFOR 2004)

 Perubahan pada kadar penguapan air, dan kelembaban tanah akan berdampak pada sektor pertanian dan ketahanan pangan. Perubahan iklim akan menurunkan kesuburan tanah sekitar 2% sampai dengan 8%, diperkirakan akan mengurangi panen padi sekitar 4% per tahun, kacang kedelai sekitar 10%, dan jagung sekitar 50%.

 Kenaikan permukaan air laut akan mengancam daerah dan masyarakat pesisir. Sebagai contoh air Teluk Jakarta naik 57 mm tiap tahun. Pada 2050, diperkirakan 160 km2 dari kota jakarta akan terendam air, termasuk Kelapa Gading, Bandara Sukarno-Hatta dan Ancol (Susandi, Jakarta Post, 7 Maret 2007).

Di Bali kerusakan lingkungan pada 140 titik abrasi dari panjang panti sekitar 430 km. Laju kerusakan pantai di Bali diperkirakan 3,7 Km per tahun dengan erosi ke daratan 50-100 meter per tahun (Bali Membangun, 2004). Kerusakan ini ditambah potensi dampak dari perubahan iklim diduga akan menyebabkan muka air laut naik 6 meter pada 2030, sehingga Kuta dan Sanur akan tergenang (Bali Post, 16 Agustus 2007). Hal ini mengancam keberlangsungan pendapatan dari pariwisata yang mengandalkan kekayaan dan keindahan pantai dan laut di Bali.

 Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia menghadapi risiko kehilangan banyak pulau-pulau kecilnya dan penciutan kawasan pesisir akibat kenaikan permukaan air laut. Wilayah geografis Indonesia akan berkurang dan akan ada pengungsi dalam negeri.

 Dampak kenaikan muka air laut akan mengurangi lahan pertanian dan perikanan, yang pada akhirnya akan menurunkan potensi pendapatan rata-rata masyarakat petani dan nelayan. Kerusakan pesisir dan bencana yang terkait dengan hal itu akan mengurangi pendapatan negara dan masyarakat dari sektor pariwisata. Sementara itu, negara harus menaikkan anggaran untuk menanggulangi bencana yang meningkat, mengelola dampak kesehatan, dan menyediakan sarana bagi pengungsi yang meningkat akibat bencana. Industri di kawasan pesisir juga kemungkinan besar akan menghadapi dampak ekonomi akibat permukaan air laut naik. Kesemuanya ini akan meningkatkan beban anggaran pembangunan nasional dan daerah.

Dampak-dampak ini memang sering dikatakan sebagai ”diperkirakan”. Tetapi perubahan pola cuaca, intensitas hujan dan musim kering, serta peningkatan bencana sudah mulai kita rasakan sekarang, tidak perlu menunggu 2030 atau 2050. Kalau peningkatan suhu rata-rata bumi tidak tidak dibatasi pada 20C maka dampaknya akan sulit dikelola manusia maupun alam!

Ketika bumi mengalami suhu tinggi tapi selimutnya makin tebal, .... masa depan umat manusia terancam.


Sumber informasi

Bali Post, 16 Agustus 2007.
Climate Change, A CAP (Consumers Association of Penang) Guide.
Godrej, Dianyar. 2001.
The No-Nonsense Guide to Climate Change
Jakarta Post, 7 Maret 2007.
Stern Review on The Economics of Climate Change
PEACE, 2007.
Ringkasan Eksekutif. Indonesia dan Perubahan Iklim : Status Terkini dan Kebijakannya.
World Resources Institute. 2007. Climate Analysis Indicators Tool (WRI-CAIT) Version 4.0.

Catatan*:
IPCC – panel antar pemerintah tentang perubahan iklim, sebuah lembaga internasional, terdiri dari para ahli dan utusan pemerintahan, yang secara berkala mengkaji pemanasan global, perubahan iklim, dampaknya serta menyarankan langkah-langkah untuk mengatasinya. Ini adalah lembaga yang otoritasnya diakui sebagian besar negara di dunia.

Iklim : Pola cuaca yang terbentuk dalam jangka waktu panjang misalnya 30-100 tahun. Contoh: iklim tropis, sub-tropis, iklim panas, iklim dingin.

Cuaca : gejala alam yang terjadi dan berubah dalam waktu singkat. Contoh: suhu, angin, dll. Cuaca di kawasan tertentu sulit untuk diramalkan secara detail dari minggu ke minggu. Sementara, pola cuaca selama bertahun-tahun (iklim), lebih mudah untuk diketahui, dimengerti dan diramalkan


Jangan ketinggalan ... fact sheet selanjutnya:

Fact sheet NO. 2 MEMAHAMI KESEPAKATAN IKLIM INTERNASIONAL
Fact Sheet No. 3 Apa yang Bisa Dilakukan Menghadapi Dampak Perubahan Iklim?
Fact Sheet No. 4. Pesan Kearifan Bali untuk Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca

dirangkum oleh Hira Jhamtani dan Kadek Lisa masukan dari Agung Wardana untuk Kolaborasi Bali Climate Change.


Jika Anda tertarik dan ingin mengetahui informasi lebih lanjut tentang Perubahan Iklim dan Pemanasan Global, silakan menghubungi

Bali Kolaborasi Climate Change merupakan forum yang terdiri dari organisasi non-pemerintah dan eksponen masyarakat sipil yang berjuang untuk mengkampanyekan nilai-nilai Nyepi sebagai salah satu solusi yang adil dan murah untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Forum ini pertama kali dibentuk oleh empat organisasi non pemerintah, yakni: Yayasan WISNU, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bali, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali dan Bali Organic Association (BOA).

Tuesday, September 4, 2007

walhi bali events

Aktivis Lingkungan Goyang APEC


Para aktivis yang menaruh perhatian pada isu perubahan iklim mendobrak masuk ke sebuah stasiun pembangkit listrik Australia, Senin (3/9), seiring mulai dilancarkannya penyerbuan bergaya gerilya oleh para aktivis menjelang digelarnya Konferensi Tingkat Tinggi Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (Asia-Pacific Economic Cooperation/APEC),di Sydney, pada 8-9 September.[Sydney]

Empat aktivis lingkungan hidup bahkan nekat merantai tubuh mereka ke ban berjalan pengangkut batu bara di stasiun pembangkit listrik Loy Yang, di Negara Bagian Victoria, sehari setelah para aktivis menyerbu kapal NSS Endeavor yang mengangkut batu bara di sebuah pelabuhan dekat Sydney.Pembangkit listrik, yang memasok hampir sepertiga kebutuhan listrik di Victoria, mengurangi pasokan listriknya selama lima jam sebelum akhirnya rantai pengikat tubuh tiga laki-laki dan satu perempuan tersebut dilepaskan polisi. Empat aktivis itu pun ditahan, ungkap seorang juru bicara pemerintah negara bagian Victoria. Michaela Stubbs, juru bicara para aktivis, mengatakan sejumlah unjuk rasa yang lain juga telah direncanakan untuk menentang industri pengguna bahan bakar fosil. Aksi dilancarkan untuk menekankan kesadaran pentingnya pengurangan emisi gas rumah kaca yang dituding bertanggung jawab atas pemanasan global. Demonstrasi-demonstrasi itu dirancang untuk mengirimkan pesan kepada 21 pemimpin yang hadir dalam pertemu-an tahunan APEC di Sydney pekan ini.
"Kita ingin melihat tindakan nyata saat ini. Target-target mereka yang aspirasional dan tanpa komitmen benar-benar tidak memadai untuk menghentikan perubahan iklim yang membahayakan," kata Michaela. Pemanasan global merupakan isu yang menonjol dalam agenda KTT. Tetapi, Perdana Menteri Australia John Howard menegaskan, KTT kali ini tidak akan menghasilkan kesepakatan berupa target-target bersifat mengikat terkait pengurangan gas rumah kaca, meskipun tetap akan dibahas. APEC tampaknya akan menyetujui sasaran "aspirasional" jangka panjang tentang pengurangan emisi, untuk menggantikan perjanjian internasional tentang perubahan iklim, yakni Protokol Kyoto, yang habis masa berlakunya pada 2012. Tiga anggota APEC, yakni AS, Tiongkok, dan Rusia, selama ini dikenal sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Sedangkan Australia selama ini merupakan eksportir batu bara terbesar. Aksi protes semakin meningkat bersamaan mulai diperketatnya langkah-langkah keamanan, terutama menjelang kedatangan Presiden AS George W Bush ke Sydney, Selasa (4/9).
Sebelumnya, pada Minggu (2/9), 12 aktivis Greenpeace ditangkap bersamaan dibukanya rangkaian pertemuan APEC di Sydney. Terhadap sebelas demonstran, polisi menjatuhkan dakwaan mereka telah melakukan aksi pengrusakan karena mengecat tulisan "Australian Mendorong Ekspor Batubara (Australia Pushing Export Coal)", yang jika dicermati akronimnya berbunyi APEC, ke lambung kapal NSS Endeavor, ketika baru lepas sandar dari Newcastle, utara Sydney. Sedangkan demonstran yang ke-12 dijatuhi dakwaan melakukan navigasi yang membahayakan. Pemerintah Australia mengancam akan melakukan tindakan keras terhadap para pengunjuk rasa. Sejumlah pejabat pada Senin (3/9) membela tindakan polisi yang memaksa tiga turis Jerman menghapus foto-foto di kamera mereka yang mengabadikan dinding pengamanan yang dibangun di Sydney terkait penyelenggaraan KTT. Tindakan polisi itu mungkin "berlebihan", tetapi juga dianggap perlu karena para demonstran juga dilaporkan tengah mencari titik-titik kelemahan di tembok pengaman tempat mereka dapat melancarkan serangan. Demikian penjelasan Menteri Transportasi Negara Bagian New South Wales, John Watkins.Sekitar 3.500 polisi, yang didukung 1.500 personel militer dari pasukan khusus dan pasukan kontraterorisme, mulai memberlakukan zona tertutup di pusat Kota Sydney.


Perdagangan Bebas



Selain perubahan iklim, yang juga jadi agenda utama di KTT adalah perdagangan. Para pemimpin APEC direncanakan mendesak dihidupkannya kembali perundingan perdagangan dunia yang mengalami kebuntuan. Wakil Departemen Perdagangan Amerika Serikat Susan Schwab, Senin (3/9) mengungkapkan, keinginan membahas perdagangan global dapat membawa kembali pembicaraan itu ke jalur yang benar, jika negara-negara kaya dan miskin mau mempertimbangkan dua usul baru untuk menyelesaikan perbedaan pandangan mengenai hambatan-hambatan perdagangan. Schawb menjelaskan, usul yang diajukan WTO Juli lalu dimaksudkan untuk mengatasi kebuntuan mengenai subsidi AS, proteksi pertanian, dan tarif barang impor negara berkembang. Dia menolak menjelaskan terperinci usulan baru itu.
Tetapi menurut data yang ada, usulan tersebut salah satunya berbunyi, AS akan mengurangi subsidi pertanian antara US$ 13 miliar-US$ 16,4 miliar. Sementara negara berkembang, seperti Brasil, Tiongkok, dan India akan mengurangi tarif industri.
[AP/AFP/SMH/E-9/E-4]

Monday, September 3, 2007

Bali Principles of Climate Justice



Bali Principles of Climate Justice
International Climate Justice Network
August 28th, 2002

An international coalition of groups gathered in Johannesburg for the Earth Summit has released a set of principles aimed at "putting a human face" on climate change. The Bali Principles of Climate Justice redefine climate change from a human rights and environmental justice perspective. The principles were developed by the coalition -- which includes CorpWatch, Third World Network, Oil Watch, the Indigenous Environmental Network, among others -- at the final preparatory negotiations for the Earth Summit in Bali in June 2002.
Climate change may very well be the biggest threat facing humanity. Yet, the negotiations to find solutions have so far been mired mostly in the technical arena, and have been derailed by special interest groups such as large oil, coal and utility companies and governments such as the United States. The latest example are the efforts to sideline renewable energy plans at the Johannesburg Summit. For many, the issue of climate is a matter of life and death. The biggest injustice of climate change is that the hardest hit are the least responsible for contributing to the problem. The Bali Principles of Climate Justice seek to broaden the constituency providing leadership on climate change. They do so by linking local community issues to climate change.
The Climate Justice coalition -- together with its members from India -- the National Fishworkers Forum, the National Alliance of People's Movements and Mines, Minerals and People -- also extend an invitation to the international community to participate in the Climate Justice Summit slated for New Delhi from October 26-28, 2002- parallel to the COP8 meeting on the Kyoto Protocol. The Summit will consist of a series of events that will emphasize the real impacts of climate change on people, while exposing the special interests at work in derailing the efforts to genuinely address the problem.
The International Climate Justice Network includes: CorpWatch, Friends of the Earth International, Greenpeace International, groundwork, Indigenous Environmental Network, Indigenous Information Network, National Alliance of People's Movements, National Fishworkers Forum, OilWatch Africa, OilWatch International, Southwest Network for Environmental and Economic Justice, Third World Network and World Rainforest Movement.
________________________________________
Bali Principles of Climate Justice
29 August 2002
P R E A M B L E
Whereas climate change is a scientific reality whose effects are already being felt around the world;
Whereas if consumption of fossil fuels, deforestation and other ecological devastation continues at current rates, it is certain that climate change will result in increased temperatures, sea level rise, changes in agricultural patterns, increased frequency and magnitude of "natural" disasters such as floods, droughts, loss of biodiversity, intense storms and epidemics;
Whereas deforestation contributes to climate change, while having a negative impact on a broad array of local communities;
Whereas communities and the environment feel the impacts of the fossil fuel economy at every stage of its life cycle, from exploration to production to refining to distribution to consumption to disposal of waste;
Whereas climate change and its associated impacts are a global manifestation of this local chain of impacts;
Whereas fossil fuel production and consumption helps drive corporate-led globalization ;
Whereas climate change is being caused primarily by industrialized nations and transnational corporations;
Whereas the multilateral development banks, transnational corporations and Northern governments, particularly the United States, have compromised the democratic nature of the United Nations as it attempts to address the problem;
Whereas the perpetration of climate change violates the Universal Declaration On Human Rights, and the United Nations Convention on Genocide;
Whereas the impacts of climate change are disproportionately felt by small island states, women, youth, coastal peoples, local communities, indigenous peoples, fisherfolk, poor people and the elderly;
Whereas local communities, affected people and indigenous peoples have been kept out of the global processes to address climate change;
Whereas market-based mechanisms and technological "fixes" currently being promoted by transnational corporations are false solutions and are exacerbating the problem;
Whereas unsustainable production and consumption practices are at the root of this and other global environmental problems;
Whereas this unsustainable consumption exists primarily in the North, but also among elites within the South;
Whereas the impacts will be most devastating to the vast majority of the people in the South, as well as the "South" within the North;
Whereas the impacts of climate change threaten food sovereignty and the security of livelihoods of natural resource-based local economies;
Whereas the impacts of climate change threaten the health of communities around the world-especially those who are vulnerable and marginalized, in particular children and elderly people;
Whereas combating climate change must entail profound shifts from unsustainable production, consumption and lifestyles, with industrialized countries taking the lead;
We, representatives of people's movements together with activist organizations working for social and environmental justice resolve to begin to build an international movement of all peoples for Climate Justice based on the following core principles:
1. Affirming the sacredness of Mother Earth, ecological unity and the interdependence of all species, Climate Justice insists that communities have the right to be free from climate change, its related impacts and other forms of ecological destruction.
2. Climate Justice affirms the need to reduce with an aim to eliminate the production of greenhouse gases and associated local pollutants.
3. Climate Justice affirms the rights of indigenous peoples and affected communities to represent and speak for themselves.
4. Climate Justice affirms that governments are responsible for addressing climate change in a manner that is both democratically accountable to their people and in accordance with the principle of common but differentiated responsibilities.
5. Climate Justice demands that communities, particularly affected communities play a leading role in national and international processes to address climate change.
6. Climate Justice opposes the role of transnational corporations in shaping unsustainable production and consumption patterns and lifestyles, as well as their role in unduly influencing national and international decision-making.
7. Climate Justice calls for the recognition of a principle of ecological debt that industrialized governments and transnational corporations owe the rest of the world as a result of their appropriation of the planet's capacity to absorb greenhouse gases.
8. Affirming the principle of ecological debt, Climate Justice demands that fossil fuel and extractive industries be held strictly liable for all past and current life-cycle impacts relating to the production of greenhouse gases and associated local pollutants.
9. Affirming the principle of Ecological debt, Climate Justice protects the rights of victims of climate change and associated injustices to receive full compensation, restoration, and reparation for loss of land, livelihood and other damages.
10. Climate Justice calls for a moratorium on all new fossil fuel exploration and exploitation; a moratorium on the construction of new nuclear power plants; the phase out of the use of nuclear power world wide; and a moratorium on the construction of large hydro schemes.
11. Climate Justice calls for clean, renewable, locally controlled and low-impact energy resources in the interest of a sustainable planet for all living things.
12. Climate Justice affirms the right of all people, including the poor, women, rural and indigenous peoples, to have access to affordable and sustainable energy.
13. Climate Justice affirms that any market-based or technological solution to climate change, such as carbon-trading and carbon sequestration, should be subject to principles of democratic accountability, ecological sustainability and social justice.
14. Climate Justice affirms the right of all workers employed in extractive, fossil fuel and other greenhouse-gas producing industries to a safe and healthy work environment without being forced to choose between an unsafe livelihood based on unsustainable production and unemployment.
15. Climate Justice affirms the need for solutions to climate change that do not externalize costs to the environment and communities, and are in line with the principles of a just transition.
16. Climate Justice is committed to preventing the extinction of cultures and biodiversity due to climate change and its associated impacts.
17. Climate Justice affirms the need for socio-economic models that safeguard the fundamental rights to clean air, land, water, food and healthy ecosystems.
18. Climate Justice affirms the rights of communities dependent on natural resources for their livelihood and cultures to own and manage the same in a sustainable manner, and is opposed to the commodification of nature and its resources.
19. Climate Justice demands that public policy be based on mutual respect and justice for all peoples, free from any form of discrimination or bias.
20. Climate Justice recognizes the right to self-determination of Indigenous Peoples, and their right to control their lands, including sub-surface land, territories and resources and the right to the protection against any action or conduct that may result in the destruction or degradation of their territories and cultural way of life.
21. Climate Justice affirms the right of indigenous peoples and local communities to participate effectively at every level of decision-making, including needs assessment, planning, implementation, enforcement and evaluation, the strict enforcement of principles of prior informed consent, and the right to say "No."
22. Climate Justice affirms the need for solutions that address women's rights.
23. Climate Justice affirms the right of youth as equal partners in the movement to address climate change and its associated impacts.
24. Climate Justice opposes military action, occupation, repression and exploitation of lands, water, oceans, peoples and cultures, and other life forms, especially as it relates to the fossil fuel industry's role in this respect.
25. Climate Justice calls for the education of present and future generations, emphasizes climate, energy, social and environmental issues, while basing itself on real-life experiences and an appreciation of diverse cultural perspectives.
26. Climate Justice requires that we, as individuals and communities, make personal and consumer choices to consume as little of Mother Earth's resources, conserve our need for energy; and make the conscious decision to challenge and reprioritize our lifestyles, re-thinking our ethics with relation to the environment and the Mother Earth; while utilizing clean, renewable, low-impact energy; and ensuring the health of the natural world for present and future generations.
27. Climate Justice affirms the rights of unborn generations to natural resources, a stable climate and a healthy planet.
________________________________________
Adopted using the "Environmental Justice Principles" developed at the 1991 People of Color Environmental Justice Leadership Summit, Washington, DC, as a blueprint.
Endorsed by:
CorpWatch, US
Friends of the Earth International
Greenpeace International
groundwork, South Africa
Indigenous Environmental Network, North America
Indigenous Information Network, Kenya
National Alliance of People's Movements, India
National Fishworkers Forum, India
OilWatch Africa
OilWatch International
Southwest Network for Environmental and Economic Justice, US
Third World Network, Malaysia
World Rainforest Movement, Uruguay

Saturday, September 1, 2007

Bali Simpan 20 Ton Freon Perusak Ozon

Oleh Agustinus Wibowo
[Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian NusaBali]

Penggunaan bahan-bahan tak ramah lingkungan di Bali dalam sektor mesin pendingin masih terhitung tinggi. Diperkirakan sedikitnya masih ada sekitar 20 ton refrigeran atau freon jenis R12 yang mampu melubangi lapisan ozon, masih terus digunakan. Celakanya lagi, bahan penggantinya yang ramah lingkungan dan beredar di Bali, 90 persen juga palsu.
Hal ini disampaikan Hartawan Setjodiningrat, Project Manager PT Dasa Windu Agung yang bergerak dalam bidang koordinator dan pengawasan bahan perusak ozon (BPO) foam dan Mac Sector. Dari hasil penelitian badan itu, diketahui bahwa di Indonesia sedikitnya ada 915 ton bahan klorokarbon atau chlorofluorocarbon (CFC) jenis R12 yang biasa digunakan dalam mesin pendingin. “Dari jumlah ini, untuk Bali kita perkirakan konsumsinya masih mencapai 20 ton,” ujar Hartawan beberapa waktu lalu.
Jumlah ini didapatkan dari penghitungan penggunanya di berbagai bengkel servis peralatan mesin pendingin yang ada di Bali. Dari data yang ada diketahui sedikitnya ada 70 bengkel servis mesin pendingin yang resmi dan mempunyai ijin di seluruh Bali. Persebarannya meliputi Denpasar (32 bengkel), Tabanan (12), Gianyar (8), Jembrana (10), Karangasem (7), Jembrana (10), dan Bangli (1).
Untuk tahu, bahan CFC R12 yang biasa digunakan sebagai refrigeran pada mesin pendingin seperti AC besar maupun AC mobil ini, termasuk bahan yang dilarang karena tidak ramah lingkungan. Penggunaanya bisa menyebabkan kerusakan dan penipisan lapisan ozon yang bisa menimbulkan masalah kesehatan dan lingkungan .
Bahan perusak ozon lainnya yang juga dilarang adalah CFC-11, CFC-113, CFC-115 yang banyak digunakan dalam industri foam, tembakau, dan aerosol, halon pada pemadam api, dan metilbromida pada pembasmi hama. Sejatinya, bahan pengganti untuk freon CFC R12 yang berbahaya ini sudah ditentukan yakni diganti dengan bahan HFC 134a yang lebih ramah lingkungan.
Namun, dari sebagian besar freon HFC 134a yang beredar di Bali, ternyata sebagian besar palsu. Meski berlabel ramah lingkungan, diperkirakan sekitar 70-90 persen tabung bahan freon ramah lingkungan R134a yang beredar ini adalah palsu. “Meski labelnya bahan ramah lingkungan, namun isinya tetap saja R12 yang dicampur dengan bahan lainnya,” ujar Hartawan sambil menunjukkan contoh jenis tabung yang palsu itu.
Selain diketahui dari kemasannya yang tidak original, juga dapat diketahui dari harganya yang sangat murah. Sebagai gambaran, satu tabung orisinil freon 134a yang asli ukuran 13,6 kg harganya mencapai Rp 1,3 juta. Namun, di Bali untuk tabung palsu dengan ukuran yang sama, harganya hanya Rp 650 ribu. “Tabung ‘aspal’ ini juga hanya berselisih Rp 50 ribu dengan tabung R12 yang dilarang,” ujar Hartawan.
Hal serupa juga disampaikan oleh Ari Darmawan Pasek, peneliti dari Institut Teknologi Bandung yang pernah meneliti mengenai pemakaian BPO. Menurut Pasek, dari hasil survei di 35 bengkel servis pendingin yang berskala besar di Bali, diketahui bahwa 66 persen di antaranya masih menggunakan bahan perusak R12. Sementara, baru 34 persen saja yang sudah menggunakan bahan ramah lingkungan R134a.
Namun ternyata, papar Pasek, setelah diteliti lebih lanjut tabung R134a yang digunakan oleh 34 persen bengkel tadi, ternyata banyak yang palsu. “Kebanyakan yang dipakai merupakan bahan oplosan yang didominasi bahan R12 juga,” ujarnya. Lebih lanjut menurutnya, banyak orang tidak tahu membedakan produk asli CFC yang ramah lingkungan ini dengan palsunya. “Secara sekilas, tabung itu memang mirip dan susah dikenali perbedaannya. Untuk itu, masyarakat harus jeli dan kritis.” katanya.
Dia memberikan ilustrasi, pada tabung dengan kandungan R134a tertera merek, jenis refrigerant, nama serta alamat pabrik pembuat. Di antara tabung refrigerant R134a yang asli adalah Genetron produksi Honeywell, lalu Klea lansiran ICI, serta Suva keluaran DuPont. Selain itu bisa juga melihat warna tabung.” Semisal untuk tabung R134a berwarna hijau muda, dan R12 berkelir putih,” paparnya.
Sementara untuk mengatasi penggunaan bahan CFC yang masih marak di Bali, setidaknya 20 bengkel di Bali sudah mendapatkan bantuan peralatan daur ulang CFC secara cuma-cuma. Dengan mendaur ulang maka tidak perlu membeli CFC yang baru. Cukup yang lama didaur ulang untuk dipakai lagi. “Artinya tidak akan ada lagi CFC yang masuk dari impor lagi, cukup yang sudah ada digunakan sambil pelan-pelan diganti,”paparnya.


Diambil dari: www.balebengong.net