Monday, October 29, 2007

Rock Against Warming II : Walhi Bali Menggandeng Band - Band Peduli Lingkungan Untuk Menyuarakan Keadilan Iklim



Perubahan iklim saat ini merupakan permasalahan lingkungan hidup yang paling serius dekade ini. Namun, permasalahan perubahan iklim ini hanya menjadi pembicaraan ditingkat kelas menengah atau bahkan dilakangan environmentalis saja. Masyarakat umum, walaupun sudah merasakan dampaknya di konteks lokal, tetapi mereka relatif belum paham dan tidak mempunyai kesadaran dalam ikut melakukan advokasi kebijakan yang terkait dengan perubahan iklim. Menuju Konferensi PBB Mengenai Perubahan Iklim yang akan dilaksanakan di Bali Desember nanti, WALHI Bali mengadakan beberapa kegiatan yang dimaksudkan untuk menyebarluaskan isu perubahan iklim dan memperkenalkan perspektif hak asasi manusia dan keadilan lingkungan dalam melihat masalah perubahan iklim ini. Dengan harapan bahwa masyarakat Bali nantinya tidak hanya menjadi saksi bisu saja, melainkan ikut mengangkat suara untuk mempengaruhi perhelatan yang sangat menentukan bagi kelanjutan hidup di bumi.

”WALHI Bali mengajak anak muda khusus nya band-band peduli lingkungan untuk ikut menyuarakan perubahan iklim ini lewat kegiatan musik yang bertajuk ’Rock Against Warming’. Kegiatan musik ini sekarang sudah yang kedua.” kata Bayu Mandala, Kordinator Acara.

Hari Minggu, 30 September 2007 lalu di gelar ”Rock Against Warming I” yang diisi 14 band, yakni: Kalahhari, Fuzz Clan, Something Like Crazy, Nymphea, Born By Mistake, Syailendra, Republik Enemy, Cordial Army, Psychofun, Foreplay, The Audio Kills, The Brews, Molotov, Bad Ramirez.

Pentas musik kedua diadakan pada hari minggu, 28 Oktober 2007 di Peanut Club Kuta Bali dengan 17 band pengisi acara, yakni: Kost Oi, Devil Killer, School Devil, Timah Panas, De’ Buntu, WNG, Bad Animal, Romeo Rocker’s, NCV-RU, Ed Eddy & Residivis, Ritual Ceremony, Cyber Machine’s, Scared Of Bums, Infectus Arteries, De’ Roaster, Antipop, Rest In Pain.

”Dengan menggelar musik secara gratis diharapkan partisipasi generasi muda dapat meningkat untuk meramaikan pentas musik tersebut. Dengan demikian tujuan dari penyebarluasan isu perubahan iklim dan keadilan iklim ini dapat tercapai dan tersampaikan secara universal sehingga keperdulian generasi muda terhadap lingkungan dan sesama dapat terbangun dengan baik.” tambah Bayu.

”Kami dari WALHI Bali mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya bagi band-band yang sudah bersedia berpartisipasi dalam acara ini tanpa di bayar sepeser pun” ungkap Ni Nyoman Sri Widhiyanti, Direktur WALHI.

”Tingginya antusisme kaum muda Bali untuk berpartisipasi dalam acara ini, membuktikan bahwa generasi muda Bali sudah sadar akan hak-haknya untuk ikut bersuara mengenai masalah lingkungan. Semoga event ini bisa membangunkan kita bahwa kita sedang ada dalam ancaman perubahan iklim” tambah Aik, panggilan akrabnya.(*)

Lembar Informasi No. 3

Berubah atau Diubah:
Tindakan Bersama Demi Keberlanjutan Hidup di Bumi


Mengapa Kita Harus Berubah?

Dalam Lembar Informasi no. 1 ”Ketika Selimut Bumi Makin Tebal” dan Lembar Informasi no. 2 ”Dari Rio ke Bali via Kyoto” telah dijelaskan mengenai perubahan iklim dan peraturan-peraturan yang telah dibuat dalam rangka menurunkan gas rumah kaca yang ada di lapisan udara kita. Meski telah ada peraturan-peraturan tersebut, ternyata tidak berjalan cukup efektif dalam memenuhi target. Jadi diperlukan langkah bersama untuk mendorong sebuah perubahan yang lebih baik. Perubahan gaya hidup sangat diperlukan karena kita sedang berada dalam ancaman perubahan iklim. Jika kita tidak mengubah gaya hidup, maka tidak mustahil bumi akan menjadi tempat yang tidak dapat dihuni oleh makhluk hidup.

Apa Yang Bisa Kita Lakukan?

• Menyadarkan diri sendiri dengan mendapatkan informasi yang lebih baik dengan membaca, mencari tahu, mempelajari informasi yang ada

• Mengubah gaya hidup

• Mencoba mempengaruhi orang lain untuk melakukan hal yang sama

• Mencoba mempengaruhi kebijakan pemerintah agar lebih ramah lingkungan.

Apa Yang Bisa Dilakukan Untuk Mempengaruhi Sekitar Kita?

Setelah mempunyai informasi yang cukup tentang perubahan iklim, cobalah untuk merubah gaya hidup kita. Kemudian lanjutkan untuk mempengaruhi orang-orang yang ada disekitar kita, seperti keluarga, sekolah maupun di tempat kerja, untuk:

A.Hemat Sumber Daya Alam
• Hemat air di rumah tangga, saat anda mandi, mencuci ataupun menyiram tanaman
• Buatlah penampungan air hujan sehingga dapt digunakan untuk menyiram tanaman
• Hemat penggunaan kertas dengan menggunakan kedua sisinya (bahan baku kertas berasal dari kayu)
• Gunakan tissue secukupnya

B.Hemat Energi
 Matikan listrik (jika tidak digunakan, jangan tinggalkan alat elektronik dalam keadaan standby. Cabut charger telepon genggam dari stop kontak. Meski listrik tak mengeluarkan emisi karbon, pembangkit listrik PLN menggunakan bahan bakar fosil penyumbang besar emisi)
 Ganti bola lampu yang bisa menghemat listrik
 Bersihkan lampu (debu bisa mengurangi tingkat penerangan hingga 5%)
 Jika terpaksa memakai AC (tutup pintu dan jendela selama AC menyala. Atur suhu sejuk secukupnya, sekitar 21-24º C)
 Gunakan pengatur waktu / timer (untuk AC, microwave, oven, magic jar, dll)
 Buat jadwal/ batas waktu penggunaan listrik.
 Tanam pohon di lingkungan sekitar Anda untuk menyerap pencemaran dan mengatur air tanah
 Jemur pakaian di luar. Angin dan panas matahari lebih baik ketimbang memakai mesin pengering (dryer) yang banyak mengeluarkan emisi karbon
 Lebih sedikit gunakan kendaraan dalam perjalanan singkat atau dekat. Jalan kaki, kayuh sepeda, naik mobil beramai-ramai, dan kendaraan umum, selain akan menghemat pengeluaran transportasi kita, tentu saja mengurangi karbon dioksida
 Gunakan tangga daripada lift (bila memungkinkan) di tempat kerja

Apa yang bisa kita lakukan sebagai konsumen?

Sebagai konsumen kita mempunyai hak untuk memilih barang-barang yang akan kita konsumsi. Jadi gunakan pertimbangan-pertimbangan perubahan iklim dalam memilih barang, seperti:

• Menghindari untuk beli produk dengan bungkus yang berlapis-lapis. Setiap kita bisa mengurangi 10% sampah, kita berarti sudah mengurangi 600 kg karbon dioksida.
• Bawalah tas sendiri ketika kita sedang berbelanja sehingga tidak menggunakan plastik untuk membawa barang belajaan. Karena hampir semua sampah plastik menghasilkan gas berbahaya ketika dibakar.
• Belilah produk lokal untuk mendukung bergeraknya ekonomi lokal. Selain itu produk lokal lebih hemat energi daripada produk import yang memerlukan pengangkutan yang jauh dan mengeluarkan emisi lebih banyak.
• Dukung pertanian organik karena tidak menggunakan pupuk kimia yang dibuat dari bahan bakar fosil.


Apa yang Bisa Kita Lakukan Di Masyarakat?

Setelah kita melakukan hal tersebut diatas, mulailah untuk berbagi informasi kepada masyarakat yang ada di sekitar kita. Kemudian ajaklah masyarakat untuk:
 Mengelola sampah di banjar, desa, atau komunitas secara swadaya
 Mengelola sumber daya alam di sekitar kita (sungai, tanah, danau, hutan) dengan tetap menjaga kelestariannya
 Membentuk kelompok pelestari lingkungan hidup dan relawan siap siaga bencana di masyarakat
 Membuat komunitas hijau untuk menciptakan karya-karya kreatif dari produk daur ulang
 Membentuk pasukan kebersihan dalam setiap kegiatan yang masyarakat adakan
 Budayakan nebeng dengan jalan satu kendaraan bersama-sama tanpa harus membawa kendaraan sendiri-sendiri.
 Tanam pohon di ruang-ruang milik umum untuk menjaga kesejukan udara dan cadangan air tanah.
 Memilih kepala desa, bupati, gubernur maupun anggota wakil rakyat dengan jalan melihat jelas latar belakang, visi-misi yang peduli iklim dan mempunyai program yang membela lingkungan dan masyarakat.

Apa Yang Bisa Kita Lakukan Sebagai Pembayar Pajak

Buatlah kelompok atau perkumpulan para pembayar pajak (tax-payer club) untuk mendorong negara (pemerintah) melakukan hal sebagai berikut:
- mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada lingkungan hidup dan masyarakat
- membangun fasilitas umum yang dapat dimanfaatkan dalam merubah gaya hidup masyarakat, seperti angkutan umum, jalur pengendara sepeda dan pejalan kaki, ruang terbuka hijau dan lain-lain
- memberikan insentif kepada masyarakat yang berhasil mengembangkan energi terbarukan di wilayahnya desanya
- menyediakan tempat dan penampungan sampah plastik yang terpisah dari sampah organik. Sehingga sampah organik dapat dimanfaatkan sebagai kompos oleh masyarakat
- menghentikan kebakaran hutan dan lahan
- Mengakui hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayahnya.

Apa Yang Harus Segera Dilakukan Negara?

Negara harus segera mungkin memberikan informasi tentang perubahan iklim dan informasi adaptasi untuk masyarakat yang rentan sebagai tindakan kesiap-siagaan dini dan peningkatan kesadaran tentang bencana iklim yang semakin meningkat.

Bagaimana Dalam Konteks Indonesia?

Karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat rentan terhadap dampak dari perubahan iklim, maka Pemerintah Indonesia harus membangun sistem informasi dan pusat data (data base) mengenai dampak-dampak perubahan iklim, termasuk didalamnya:
- Identifikasi dampak-dampak perubahan iklim yang telah ada dan potensi dampak yang dapat terjadi di Indonesia;
- Menetapkan daerah-daerah yang kritis dan rentan terkena dampak perubahan iklim sebagai prioritas untuk melakukan tindakan adaptasi;
- Karena perubahan iklim dapat meningkatkan intensitas bencana, maka perlu untuk mengembangkan sistem peringatan dini akan bencana alam dan lingkungan yang dapat terjadi, seperti kebakaran hutan, banjir, badai, pemutihan karang (coral bleaching), dsb;
- Manajemen yang dilakukan secara multipihak untuk menanggulangi dampak-dampak perubahan iklim yang dapat terjadi;
- Pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan ketahanan ekonomi masyarakat ketika dampak perubahan iklim terjadi.

Langkah Adaptasi yang Harus Dilakukan Pemerintah

a. Pembangunan Sarana dan Prasarana
- Pembuatan sistem drainase dan sumur resapan untuk mengantisipasi curah hujan yang tinggi dan kekeringan
- Pembangunan jalan untuk pejalan kaki dan pengguna sepeda serta penanaman pohon peneduh sehingga mendorong masyarakat untuk menggunakan kendaraan tanpa motor ataupun berjalan kaki
- Pembuatan desain gedung perlu memperhatikan ketahanan terhadap badai tropis, intensitas hujan yang tinggi, dan kekeringan.
o Pembangunan jalan perlu memperhatikan tata ruang dan prediksi kenaikan permukaan air laut.
- Meningkatkan daya dukung DAS (Daerah Aliran Sungai) dengan mencegah kerusakan dan memperbaiki daerah tangkapan (catchment area) sebagai daerah resapan air melalui upaya konservasi lahan, baik dengan metode mekanis (misal: pembuatan terasering dan sumur resapan) mapun vegetatif

b.Kelautan dan Perikanan
- Sosialisasi kepada nelayan tentang cara pemanfaatan informasi cuaca dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG)
- Memfasilitasi nelayan dengan perahu yang lebih tahan terhadap goncangan gelombang besar
- Perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh perubahan iklim terhadap budidaya ikan. Diperkirakan bahwa perubahan iklim bisa mengurangi jenis ikan sampai 20-30%.
- Perlu dibangun pemukiman nelayan yang desainnya telah mengantisipasi kenaikan permukaan air laut (termasuk sistem sanitasi dan air bersih).
- Perlu dibangun sistem peringatan dini dan tempat evakuasi bilamana terjadi kenaikan air laut dan gelombang pasang yang tinggi.

c. Pangan dan Pertanian
- Menentukan awal musim tanam setelah menyesuaikan dengan perubahan siklus alam
- Adanya kebijakan keragaman pangan (diversifikasi) dan intensifikasi pangan yang disesuaikan dengan kondisi sumber daya alam lokalnya
- Perlu adanya perencanaan penyediaan air untuk kegiatan pertanian untuk mengantisipasi kekeringan di musim kemarau
- Perencanaan yang mendetail tentang kebijakan pengembangan pertanian, dengan memperhatikan kelestarian ekosistem agar dapat dilaksanakan sistem pertanian terpadu dan berkelanjutan
- Mengembangkan teknologi hemat air dengan mengintensifkan lahan basah maupun lahan kering yang disesuaikan dengan iklim
- Perlu dilakukan pembahasan tentang peningkatan pendapatan petani dan upaya pemasaran produk pertanian.
- Sosialisasi penelitian mengenai varietas-varietas tanaman yang tahan terhadap banjir, kekeringan, dan salinitas

d. Kesehatan
- Penyuluhan kesehatan kepada masyarakat mengenai upaya pencegahan penyakit dan perbaikan sanitasi lingkungan.
- Melakukan penelitian untuk mengidentifikasi jenis-jenis penyakit yang bisa ditimbulkan sebagai dampak perubahan iklim serta mengembangkan alternatif upaya pencegahan.
- Pengembangan obat-obatan menggunakan bahan baku yang memanfaatkan keanekaragaman hayati lokal untuk pengobatan penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh perubahan iklim

e. Pendidikan
- Pengembangan pendidikan berbasis lingkungan hidup
- Pengembangan isu perubahan iklim dalam kurikulum sekolah menengah dan perguruan tinggi.

Langkah Mitigasi yang harus dilakukan pemerintah, yakni:
a. Energi
Pemerintah harus mengeluarkan Kebijakan-kebijakan untuk mendukung sektor energi yang berkelanjutan, antara lain:

- Penyediaan akses energi bagi semua orang.
Saat ini baru 58% rumah tangga di Indonesia yang telah dialiri listrik, terdiri dari 59% untuk Pulau Jawa dan 36% untuk luar Jawa. Sementara jumlah desa yang telah teraliri listrik baru sekitar 67% dari total desa di Indonesia. Oleh karena itu peningkatan jangkauan pelayanan yang berbasiskan swadaya masyarakat melalui program listrik mandiri atau pembangkit skala kecil harus digalakkan oleh pemerintah.

- Pelaksanaan efesiensi energi
Pembangkit listrik di Indonesia saat ini lebih banyak menggunakan bahan bakar dari energi fosil (batubara, minyak bumi, gas alam) yang dapat melepaskan karbon. Sehingga dengan mengefisiensikan energi berarti mengurangi pelepasan karbon ke permukaan udara.

- Penyebarluasan penggunaan energi bersih dan terbarukan
Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya energi terbarukan. Namun pemerintahnya sendiri belum memfasilitasi masyarakat untuk mengembangkan teknologi pembangkit listrik bersih dan terbarukan yang dapat dikembangkan pada skala-skala kecil.

- Penggunaan bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan
Terbatasnya persediaan energi fosil (minyak, gas, dan batubara) harusnya dapat memicu Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati dan tanahnya yang subur untuk mengembangkan penyediaan energi berbahan bakar hayati. Selain akan mengurangi dampak lingkungan secara signifikan, penggunaan bahan bakar hayati juga akan membantu pengembangan sektor pertanian di Indonesia.

- Mengembangkan sarana angkutan umum yang ramah lingkungan di perkotaan
Angkutan umum yang ramah lingkungan, seperti kereta listrik ataupun bus ber-bahan bakar gas, mendesak untuk dikembangkan di perkotaan guna mengurangi emisi gas rumah kaca (baik yang ditimbulkan oleh kendaraan pribadi ataupun peningkatan emisi akibat kemacetan lalu lintas karena kepadatan kendaraan pribadi dan umum). Selain itu, perlu dibangun fasilitas jalur bagi pengendara sepeda.

b. Kehutanan
- Penanggulangan penebangan yang merusak, yang akan berkontribusi dalam pengurangan emisi;
- Rehabilitasi maupun konservasi hutan dan lahan oleh masyarakat sehingga meningkatkan kapasitas penyerapan karbon
- Pengakuan terhadap hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan dan sumberdaya alamnya;
- Melakukan jeda tebang (moratorium logging) untuk melakukan penataan ulang sektor kehutanan

c. Sumber Daya Air
- Pelaksanaan pembangunan infrastruktur air, jalan dan jembatan, permukiman serta prasarana dan sarana umum dan milik perorangan harus berdasarkan kajian/studi AMDAL yang komprehensif mencakup aspek teknis, ekonomi, sosial dan ekologis. Selain itu kriteria pengeluaran ijin kegiatan harus memasukkan analisa pelepasan gas rumah kaca (GRK) akibat pelaksanaan kegiatan.
- Kegiatan pemulihan kuantitas dan kualitas aliran sungai pada DAS-DAS (Daerah Aliran Sungai) kritis melalui penghijauan dan pengelolaan kualitas air secara konsisten
- Inventarisasi daerah irigasi dan tempat pengambilan air baku untuk air minum (intake) yang akan terkena dampak kenaikan muka air laut dan mencarikan upaya penanganannya
- Pengelolaan dampak kenaikan muka air laut dan pengelolaan abrasi pantai yang terpadu;
- Pengelolaan daerah rawa dan lahan gambut yang ramah lingkungan (menekan emisi Gas Rumah Kaca);
- Pengkajian ulang “design criteria” perencanaan semua bangunan air dan drainase.

Apa yang Bisa Dilakukan Masyarakat internasional?

Masyarakat internasional, terutama negara maju, harus mempengaruhi pemerintah mereka agar menjalan kebijakan dalam negeri untuk menurunkan emisi dan kebijakan luar negeri yang mendorong keadilan iklim.

Apa itu Keadilan Iklim?

Keadilan iklim adalah prinsip-prinsip yang memasukkan hak asasi manusia dan keadilan lingkungan dalam rangka mengatasi perubahan iklim. Prinsip-prinsip tersebut antara lain :
- hak setiap orang untuk bebas dari dampak perubahan iklim dan kerusakan ekologis;
- hak masyarakat adat, perempuan, dan pemuda yang setara dalam mengeluarkan pendapat dan akses terhadap teknologi bersih dan energi terbarukan yang dapat dikelola secara lokal;
- negara maju telah mengeksploitasi sumber daya alam di negera berkembang dan mencemari permukaan udara sehingga mengakibatkan negara berkembang mengalami kerusakan lingkungan. Selain itu negara berkembang menjadi korban akibat dampak perubahan iklim karena tidak mempunyai sumber daya (finansial dan teknologi) yang cukup untuk menyesuaikan diri. Oleh karena itu, negara maju bertanggung jawab membayar akibat yang telah ditimbulkannya dengan cara memberikan kompensasi dan pemulihan kepada negara berkembang;
- menuntut negara maju untuk menurunkan emisi mereka dan mendorong keharusan untuk mengurangi kegiatan yang dapat mengeluarkan gas rumah kaca;
- Mengakui hak masyarakat adat untuk memilih pola kehidupan dan mempertahankan budayanya; hak mereka atas penguasaan lahan, termasuk permukaan, kawasan dan sumber daya alam; dan hak atas perlindungan dari setiap tindakan yang dapat merusak kawasan, budaya serta pola hidup mereka;
- melawan campur tangan perusahaan multinasional untuk mempengaruhi pengambilan kebijakan nasional dan internasional yang berakibat pada pola produksi, pola konsumsi dan gaya hidup yang tidak berkelanjutan;
- Memasukkan masalah iklim, energi, sosial, lingkungan, pengalaman hidup dan penghormatan pada keragaman budaya ke dalam sistem pendidikan;
- Hak untuk mendapatkan udara bersih, sumber daya alam, iklim yang stabil dan planet yang sehat untuk ditempati, untuk generasi sekarang dan generasi mendatang

Apa yang Bisa Dilakukan Untuk Mewujudkan Keadilan Iklim?

Untuk mewujudkan keadilan iklim adalah merupakan tanggung jawab negara dan komunitas internasional (pemerintah). Namun, masyarakat juga perlu mengetahui hak-hak nya sehingga dapat menyuarakan dan menuntut haknya tersebut kepada pemerintah untuk dibicarakan di pertemuan internasional mengenai perubahan iklim yang diselenggarakan di Nusa Dua – Bali, Desember 2007.

Catatan :


Sumber:
- www.wwf.or.id/index.php?fuseaction=press.detail&language=i&id=PRS1178125126
- http://www.pelangi.or.id/press.php?persid=30
- http://www.walhi.or.id/kampanye/energi/iklim/
http://larassejati.multiply.com/journal/item/383/Mitigasi_dan_Adaptasi_dalam_Perubahan_Iklim_Global
- Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim (RAN MAP) Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia
- Bali Principles of Climate Justice
- Friends of the Earth International Position for COP/MOP in Bali
- “How to save the Climate” Greenpeace

Lembar Informasi No. 3 ditulis oleh Hira Jhamtani, Kadek Lisa dan Agung Wardana, dan di layout oleh Atiek, diterbitkan Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim, didukung Third World Network.

Bali Kolaborasi Climate Change merupakan forum yang terdiri dari organisasi non-pemerintah dan eksponen masyarakat sipil yang berjuang untuk mengkampanyekan nilai-nilai Nyepi sebagai salah satu solusi yang adil dan murah untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Forum ini pertama kali dibentuk oleh empat organisasi non pemerintah, yakni: Yayasan WISNU, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bali, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali dan Bali Organic Association (BOA).

Tuesday, October 23, 2007


Pernyataan Sikap

“Hutan Kita Bukan Toilet Karbon Negara Maju”

Salam Adil dan Lestari!!!


Perubahan Iklim saat ini menjadi pembicaraan yang serius karena merupakan ancaman bagi kehidupan di bumi. Perubahan iklim terjadi akibat naiknya suhu bumi yang merupakan hasil dari aktivitas manusia dan menjadi bukti gagalnya model pembangunan global yang bersandar pada eksploitasi dan ektraksi sumber daya alam secara berlebihan.Kenaikan suhu bumi 0,6º C saat ini menyebabkan banyak pihak mencari cara untuk membuat keadaan tidak menjadi lebih buruk lagi (mitigasi). Akibat konsentrasi karbon yang bertambah secara signifikan di permukaan udara (atmosfir) pasca Revolusi Industri, kenaikan suhu bumi ini tidak dapat dihindari sehingga kenaikannya harus dibatasi dibawah 2º C. Jika tidak mengambil langkah nyata ( business as usual) maka diperkirakan suhu bumi akan naik 5º C yang berakibat pada kekacauan iklim di semua belahan bumi.

Walaupun telah ada Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) maupun Protokol Kyoto, ternyata konsentrasi gas rumah kaca tidaklah berkurang secara signifikan. Malah banyak pakar yang menyatakan, bahwa Protokol Kyoto tidak berjalan efektif akibat Amerika Serikat dan Australia sebagai negara yang memiliki kontribusi besar dalam pelepasan karbon, tidak mau tunduk pada komitmen protokol. Kemudian negara berkembang yang harus menjadi korban pertama atas prilaku negara-negara maju tersebut, karena negara-negara berkembang tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk menyesuaikan diri (adaptasi).

Pertemuan Para Pihak Konvensi Perubahan Iklim yang akan diadakan di Indonesia desember nanti membuat pemerintah Indonesia melihat peluang besar untuk menggalang dana-dana dari negara maju. Baik dana adaptasi maupun mitigasi dalam bentuk mendorong mekanisme Carbon Sink masuk kedalam CDM (Clean Development Machanism). Mekanisme Penyerapan Karbon (Carbon sink) adalah mekanisme penyerapan atau perosot karbon dengan menggunakan pohon, tanah, dan laut untuk menyerap karbon yang ada di atmosfir. Saat ini pemerintah Indonesia berencana ’mengontrakkan’ hutan tropis Indonesia untuk dijadikan hutan penyerap karbon dari emisi yang dikeluarkan negara maju. Hutan dengan luas 91 juta hektar ini ditawarkan dengan harga 5 – 20 dollar Amerika per hektar, mekanisme ini bukanlah jawaban atas akar permasalahan perubahan iklim. Negara maju yang mengeluarkan uangnya untuk mekanisme penyerapan karbon di negara berkembang akan mendapatkan ’surat ijin’ untuk tetap berhak mencemari atmosfir tanpa harus menurunkan emisi mereka (membayar untuk mencemari).

Untuk itu, kami Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Eksekutif Daerah Bali menyatakan bahwa:

  1. Menolak mekanisme Carbon Sink masuk kedalam CDM. Karena bukan merupakan jawaban atas akar masalah perubahan iklim melainkan sebagai alat penebus dosa negara maju yang telah mencemari bumi kita sejak Revolusi Industri dan tidak mau menurunkan emisi mereka; Mekanisme ini justru akan mengambil alih hak-hak masyarakat adat atas hutan, lahan dan sumber daya alam mereka atas nama penyelamatan hutan tropis. Dan hutan Indonesia belumlah bersih dari berbagai masalah, seperti konflik penguasaan antara masyarakat adat dengan negara maupun dengan swasta, jadi mekanisme ini justru akan menambah kompleks permasalahan yang akhirnya akan meminggirkan dan memiskinkan masyarakat adat.
  2. Menuntut pertanggung jawaban negara maju (Annex 1) untuk memberikan kompensasi bagi negara-negara berkembang sebagai bentuk hutang sejarah dan hutang ekologis. Karena telah mengeksploitasi sumber daya alam di negara berkembang untuk kepentingan konsumsi negara maju sehingga menyebabkan negara berkembang mengalami kerentanan ekologis. Selain itu, negara maju memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, karena 85 % emisi total dunia berasal dari negara-negara maju.
  3. Menyerukan kepada Pemerintah Indonesia sebagai tuan rumah Pertemuan Para Pihak Konvensi Perubahan Iklim (COP 13 UNFCCC) mengambil posisi strategis untuk menjadi pemimpin bagi negara-negara berkembang dalam mengangkat posisi tawar dan menegosiasikan hak-haknya kepada negara maju; bukan justru menjadi calo ’real estate’ hutan Indonesia.

Demikian pernyataan sikap ini kami buat, dalam rangka menuntut keadilan atas atmosfer kita yang saat ini di dominasi oleh segelintir kelompok istimewa.

Denpasar, 23 Oktober 2007

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

Eksekutif Daerah Bali

Walhi Bali Tolak Kontrak Hutan oleh Negara Maju
Denpasar, 23 Oktober 2007

Menjelang dilaksanakannya pertemuan PBB tentang perubahan iklim di Bali Desember nanti, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali melakukan aksi pada Selasa (23/10) di perempatan Matahari Denpasar. Dalam aksinya, sekitar 30 aktivis Walhi tersebut menolak rencana pemerintah Indonesia untuk mengontrakkan hutan pada negara maju.
Aksi damai Walhi Bali berlangsung selama sekitar satu jam. Mereka berangkat dari depan kampus Universitas Udayana di Jl PB Sudirman, Sanglah. Dengan beriringan ke arah perempatan, mereka membawa spanduk besar bertuliskan Hutan Kita Bukan Toilet Karbon Negara Maju. Selain itu massa juga membawa poster-poster berisi tulisan 1 Hekter = Rp. 50.000 + penebusan dosa?
NO WAY!!, Stop Jadi Calo Real Estate Hutan Indonesia!, dan Carbon Sink = Perampasan Hak Masyarakat Adat.

Dalam aksi tersebut para aktivis lingkungan itu juga melakukan aksi teatrikal yang menggambarkan pohon (hutan) dijaga blokade partisipan (rakyat) dari upaya negara maju untuk menguasainya dalam rangka dijadikan toilet karbon (penyerap karbon).

Koordinator Lapangan Agung Wardana mengatakan aksi damai itu memang dilakukan sebagai bagian dari kampanye penyadaran tentang pemanasan global. ”Jika kita tidak mengambil langkah nyata untuk mengatasi masalah ini maka akan terjadi kekacauan iklim di semua belahan bumi,” tegas Agung di depan massa.

Menurut Agung, aksi tersebut dilakukan bersamaan dengan dilaksanakannya Pertemuan Menteri Lingkungan Hidup negara-negara peserta pertemuan PBB tentang perubahan iklim di Bogor pada 23-24 Oktober. ”Pertemuan itu tidak lebih adalah upaya negara maju untuk memaksakan kemauan mengatur negara berkembang termasuk Indonesia,” kata Agung.

Selain itu, negara maju juga bertangungjawab karena dua di antara negara maju tersebut yaitu Amerika Serikat dan Australia tidak bersedia menandatangani Protokol Kyoto sebagai bentuk komitmen bersama negara-negara di dunia untuk menghentikan pemanasan global.

”Malah, negara berkembang yang harus menjadi korban pertama atas prilaku negara-negara maju tersebut, karena negara-negara berkembang tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk menyesuaikan diri (adaptasi),” ujar Direktur Walhi Bali Ni Nyoman Sri Widhiyanti (Aik).

Menurut Aik, saat ini pemerintah Indonesia berencana ’mengontrakkan’ hutan tropis Indonesia untuk dijadikan hutan penyerap karbon dari emisi yang dikeluarkan negara maju. Hutan dengan luas 91 juta hektar ini ditawarkan dengan harga 5–20 dollar Amerika per hektar, mekanisme ini bukanlah jawaban atas akar permasalahan perubahan iklim. Negara maju yang mengeluarkan uangnya untuk mekanisme penyerapan karbon di negara berkembang akan mendapatkan ’surat izin’ untuk tetap berhak mencemari atmosfir tanpa harus menurunkan emisi mereka (membayar untuk mencemari).

Karena itu aksi damai tersebut menyatakan tiga sikap. Pertama menolak mekanisme Carbon Sink masuk kedalam CDM. Karena bukan merupakan jawaban atas akar masalah perubahan iklim melainkan sebagai alat penebus dosa negara maju yang telah mencemari bumi kita sejak Revolusi Industri dan tidak mau menurunkan emisi mereka. Kedua, menuntut agar-agara negara maju bertanggung jawab memberikan kompensasi bagi negara-negara berkembang sebagai bentuk hutang sejarah dan hutang ekologis. Karena negara maju telah mengeksploitasi sumber daya alam di negara berkembang untuk kepentingan konsumsi negara maju. Ketiga, menyerukan agar Pemerintah Indonesia sebagai tuan rumah bagi Pertemuan Para Pihak Konvensi Perubahan Iklim (COP 13 UNFCCC) bisa mengambil posisi strategis untuk menjadi pemimpin bagi negara-negara berkembang dalam mengangkat posisi tawar dan menegosiasikan hak-haknya kepada negara maju; bukan justru menjadi calo ’real estate’ hutan Indonesia.

Info lebih lanjut hubungi

Agung Wardana 081916606036 (Korlap)

Ni Nyoman Sri Widhiyanti 0818551297 (Direktur Walhi Bali)

Saturday, October 20, 2007

Lembar Informasi 2

Dari RIO ke BALI via KYOTO:
MEMAHAMI PERATURAN INTERNASIONAL
TENTANG PERUBAHAN IKLIM


Mengapa harus ada peraturan internasional tentang perubahan iklim?

Dalam Lembar Informasi No. 1 ”Ketika Selimut Bumi Makin Tebal” telah dijelaskan bahwa peningkatan suhu dunia harus dibatasi 2ºC agar kehidupan di bumi tetap dapat berlanjut. Jika negara-negara penghasil gas rumah kaca tidak diikat dengan peraturan internasional, maka konsentrasi gas rumah kaca di lapisan udara bumi akan meningkat sehingga diperkirakan suhu bumi juga akan naik menjadi 5ºC.

Kapan dunia internasional mulai membahas perubahan iklim?

Dunia mulai membahas perubahan iklim pada 1979 pada Konferensi Iklim Dunia Pertama yang diadakan Badan Meteorologi Dunia (WMO – World Meteorological Organization). Ketika itu bukti-bukti ilmiah tentang pengaruh kegiatan manusia terhadap sistem iklim mulai terlihat.

Pada 1985, WMO bersama Program Lingkungan PBB (UNEP - United Nations Environment Programme) mengadakan pertemuan di Austria untuk melihat dampak karbondioksida dan gas rumah kaca lain terhadap iklim. Pertemuan ini kemudian menyimpulkan bahwa ”meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca dipercaya akan menaikkan suhu bumi melebihi peningkatan yang pernah terjadi dalam sejarah umat manusia”.

Kemudian dalam pertemuan Badan Pengurus WMO (WMO Executive Council) ke-40 dibentuklah Panel Antar-pemerintah Mengenai Perubahan Iklim (IPCC - Intergovernmental Panel on Climate Change) yang bertugas melakukan identifikasi dan pendalaman pengetahuan mengenai perubahan iklim serta dampaknya.

Apa itu IPCC?

IPCC adalah sebuah panel antar-pemerintah yang terdiri dari ilmuwan dan ahli dari berbagai disiplin ilmu di seluruh dunia. Tugasnya menyediakan data-data ilmiah terkini yang menyeluruh, tidak berpihak dan transparan mengenai informasi teknis, sosial, dan ekonomi yang berkaitan dengan isu perubahan iklim. Termasuk informasi mengenai sumber penyebab perubahan iklim, dampak yang ditimbulkan serta strategi yang perlu dilakukan dalam hal pengurangan emisi, pencegahan, dan adaptasi.

IPCC bersekretariat di Jenewa (Swiss) dan bertemu satu tahun sekali di sebuah rapat pleno yang membahas tiga hal utama: (1) informasi ilmiah mengenai perubahan iklim,(2) dampak, adaptasi dan kerentanan (3) mitigasi perubahan iklim.

Apa Hasil IPCC?

Pada 1990, IPCC menerbitkan hasil penelitian yang pertama (First Assessment Report). Laporan tersebut menyebutkan bahwa perubahan iklim dipastikan merupakan sebuah ancaman bagi kehidupan manusia. IPCC menyerukan pentingnya sebuah kesepakatan global untuk menanggulangi masalah perubahan iklim, mengingat ini adalah sebuah proses global dengan dampak pada seluruh dunia

Majelis umum PBB menanggapi seruan IPCC dengan secara resmi membentuk sebuah badan negosiasi antar pemerintah, yaitu Intergovernmental Negotiating Committee (INC) untuk merundingkan sebuah konvensi mengenai perubahan iklim.


Laporan IPCC terakhir tahun 2007 secara garis besar terdiri dari :

• Laporan Kelompok Kerja I dikeluarkan pada Februari 2007, menekankan bahwa manusia adalah penyebab utama peningkatan gas rumah kaca (GRK) di lapisan udara.

• Laporan Kelompok Kerja II mengenai dampak dan adaptasi perubahan iklim dikeluarkan awal April 2007, membeberkan perkiraan ancaman bencana di banyak negara apabila tidak dilakukan upaya segera untuk mengurangi kegiatan yang dapat menyebabkan pemanasan global.

• Laporan Kelompok Kerja III yang dikeluarkan Mei 2007 menganalisis proses pengurangan emisi karbon yang sudah dan harus dilakukan, dan strategi adaptasi untuk bertahan terhadap dampak perubahan iklim yang tidak bisa dihindari.

Apakah Konvensi Perubahan Iklim atau UNFCCC?

Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC - United Nations Framework Convention on Climate Change) adalah kesepakatan internasional tentang penanganan perubahan iklim. Kesepakatan yang biasa disebut Konvensi Perubahan Iklim ditetapkan pada 1992 sebagai salah satu hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil. Konvensi ini terdiri dari 26 pasal dan dua lampiran atau Annex.

Apa Tujuan Konvensi Perubahan Iklim?

Tujuan UNFCCC adalah menstabilkan konsentrasi GRK di lapisan udara pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim global (Pasal 2).

Apa prinsip yang mendasari Konvensi Perubahan Iklim?

Pasal 3 Konvensi Perubahan Iklim mencantumkan Prinsip-prinsip dasar, yaitu:

1. Kesetaraan (Equity)

Iklim global dan sistem iklim dimiliki secara adil dan setara oleh semua umat manusia, termasuk generasi mendatang.

2. Tanggung jawab bersama tapi berbeda (Common but differentiated responsibilities)

Semua negara pihak mempunyai tanggung jawab yang sama namun dalam tingkat yang berbeda dalam hal target pengurangan emisi gas rumah kaca. Karena sampai sekarang sebagian besar emisi dihasilkan negara maju, dan mempunyai kemampuan paling besar untuk mengurangi emisi GRK, maka mereka harus mengambil porsi tanggung jawab paling besar dalam menangani perubahan iklim.

3. Tindakan kehati-hatian (Precautionary measure)

Apabila ada ancaman kerusakan yang serius, ketiadaan kepastian ilmiah tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk menunda tindakan pencegahan. Dunia tidak bisa menunggu hasil kajian ilmiah yang mutlak tanpa melakukan sesuatu untuk mencegah dampak pemanasan global lebih lanjut.

4. Pembangunan Berkelanjutan

Meski secara mendasar prinsip pembangunan berkelanjutan ini masih dalam perdebatan, namun dapat digambarkan sebagai ”Pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka pula”. Semua negara mempunyai hak dan kewajiban untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan.

Apa itu Negara Annex I dan Negara Non-Annex I?

Negara-negara yang meratifikasi Konvensi ini dibagi dalam 2 kelompok, yaitu Negara Annex I dan Negara Non-Annex I.

Negara Annex I adalah negara-negara yang telah menyumbangkan pada GRK akibat kegiatan manusia sejak revolusi industri tahun 1850-an, yaitu: Amerika Serikat, Australia, Austria, Belanda, Belarusia, Belgia, Bulgaria, Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Federasi Rusia, Jerman, Hongaria, Irlandia, Italia, Inggris, Islandia, Jepang, Kanada, Kroasia, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxemburg, Monako, Norwegia, Polandia, Portugal, Perancis, Rumania, Selandia Baru, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Ukraina, Uni Eropa dan Yunani.

Sedangkan Negara Non-Annex I adalah negara-negara yang tidak termasuk dalam Annex I, yang kontribusinya terhadap GRK jauh lebih sedikit serta memiliki pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih rendah. Indonesia termasuk dalam negara Non-Annex I.

Selain itu UNFCCC mencantumkan Annex II yaitu negara-negara maju yang diwajibkan menyediakan sumberdaya keuangan guna membayar biaya adaptasi yang dikeluarkan negara berkembang untuk menghadapi perubahan iklim (Pasal 4(3)).


Kapan Konvensi Perubahan Iklim mulai berlaku?


Konvensi Perubahan Iklim berkekuatan hukum sejak 21 Maret 1994 setelah diratifikasi 50 negara. Hingga Agustus 2007 Konvensi tersebut telah diratifikasi 195 negara dan Masyarakat Uni Eropa (European Union Community). Negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi disebut Para Pihak atau Parties, dan terikat secara hukum pada ketentuan dalam Konvensi.

Bagaimana Cara Kerja Konvensi Perubahan Iklim?

Untuk menjalankan kegiatan, UNFCCC membentuk badan pengambilan keputusan tertinggi yaitu Pertemuan Para Pihak (COP -- Conference of the Parties) yang mengadakan pertemuan rutin sekali setahun, atau ketika dibutuhkan.

Fungsi dari Pertemuan Para Pihak adalah mengkaji pelaksanaan Konvensi, memantau pelaksanaan kewajiban para Pihak sesuai tujuan Konvensi, mempromosikan dan memfasilitasi pertukaran informasi; membuat rekomendasi kepada Para Pihak; mendirikan badan badan pendukung jika dipandang perlu.

Selain itu, dibentuk dua badan pendukung yaitu Badan Pendukung Untuk Nasehat Ilmiah dan Teknologi (SBSTA - Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice) dan Badan Pendukung Untuk Pelaksanaan (SBI - Subsidiary Body for Implementation). Dua badan pendukung ini mengadakan pertemuan dua kali setahun atau ketika dibutuhkan. SBSTA memberikan informasi dan rekomendasi ilmiah serta teknologis secara tepat waktu kepada COP. SBI membantu COP mengkaji pelaksanaan dari Konvensi.

Apa itu Protokol Kyoto?

Protokol Kyoto dari Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Perubahan Iklim (Kyoto Protocol to The United Nations Framework Convention on Climate Change) adalah kesepakatan yang mengatur upaya penurunan emisi GRK oleh negara maju, secara individu atau bersama-sama. Protokol ini disepakati pada Konferensi Para Pihak Ketiga (COP III) yang diselenggarakan di Kyoto pada Desember 1997

Protokol Kyoto adalah sarana untuk mencapai tujuan Konvensi Perubahan Iklim dengan menetapkan sasaran penurunan emisi keseluruhan oleh negara industri sebesar 5% di bawah tingkat emisi 1990 dalam periode 2008-2012.

Apa perbedaan Protokol Kyoto dengan Konvensi Perubahan Iklim?

Konvensi adalah seperti Undang-undang dan Protokol adalah penjabaran langkah-langkah lebih rinci dan spesifik untuk mencapai tujuan dari undang-undang layaknya sebuah peraturan pemerintah. Jadi Protocol Kyoto adalah penjabaran sebagian ketentuan dalam Konvensi Perubahan Iklim. Negara yang meratifikasi sebuah protokol akan terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan di dalamnya.

Apa yang diatur Protokol Kyoto?

Protokol Kyoto terdiri dari 28 pasal dan dua lampiran (annex) serta menetapkan penurunan emisi GRK akibat kegiatan manusia, mekanisme penurunan emisi, kelembagaan, serta prosedur penataan dan penyelesaian sengketa. Annex A mencantumkan jenis GRK yang diatur protokol yaitu : karbondioksida (C02), metana (CH4), nitrogen oksida (N20), hidrofluorokarbon (HFC), Perfluorokarbon (PFC) dan sulfur heksaflourida (SF6) beserta sumber emisinya seperti energi, proses industri, pertanian dan pengolahan limbah.

Negara berkembang tidak diwajibkan menurunkan emisi tetapi bisa melakukannya secara sukarela dan diminta melaksanakan pembangunan industri yang lebih bersih dan lebih ramah iklim. Untuk itu, negara maju diwajibkan memfasilitasi alih teknologi dan menyediakan dana bagi program pembangunan berkelanjutan yang ramah iklim.

Apa Saja Mekanisme Protokol Kyoto?

Protokol Kyoto menyatakan bahwa negara Annex 1 pada Konvensi Perubahan Iklim harus mengurangi emisi melalui kebijakan dan langkah-langkah di dalam negeri, antara lain meningkatkan efisiensi penggunaan energi, perlindungan perosot (peresap) GRK, teknologi yang ramah iklim dsb. Selain itu, untuk memudahkan negara maju memenuhi sasaran penurunan Emisi, Protokol Kyoto juga mengatur mekanisme fleksibel, yakni:

1. Implementasi Bersama (Joint Implementation);

Yaitu mekanisme penurunan emisi dimana negara-negara Annex satu dapat mengalihkan pengurangan emisi melalui proyek bersama dengan tujuan mengurangi emisi akibat kegiatan manusia atau yang meningkatkan peresapan GRK (Pasal 6). Hal ini dapat dilaksanakan dengan beberapa persyaratan, yang terpenting adalah bahwa kegiatan tersebut hanya bersifat tambahan dari langkah-langkah yang diambil di tingkat nasional untuk memenuhi target pengurangan emisi. .

2. Perdagangan Emisi (Emission Trading);

Ini adalah mekanisme perdagangan emisi yang hanya dapat dilakukan antar negara industri untuk memudahkan mencapai target. Negara industri yang emisi GRK-nya di bawah batas yang diizinkan dapat menjual kelebihan jatah emisinya ke negara industri lain yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Namun, jumlah emisi GRK yang diperdagangkan dibatasi agar negara pembeli emisi tetap memenuhi kewajibannya.

3. Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism--CDM)

Pasal 12 Protokol Kyoto menguraikan prosedur penurunan emisi GRK dalam rangka kerja sama negara industri dengan negara berkembang. Mekanisme ini diharapkan membantu negara Annex 1 mencapai target pengurangan emisi dan negara non Annex 1 dapat melaksanakan program pembangunan berkelanjutan. Caranya adalah negara Annex 1 melakukan investasi dalam program pengurangan emisi atau program yang berpotensi mengurangi emisi dan/atau menyerap GRK di negara berkembang. Hasilnya akan dihitung sebagai pengurangan emisi di negara Annex 1 yang melakukan investasi tersebut. Mekanisme ini melibatkan berbagai persyaratan dan diawasi oleh sebuah badan operasional (Executive Board) yang ditunjuk COP. Dalam pelaksanaannya CDM adalah murni bisnis jual beli emisi.

Ketiga mekanisme fleksibilitas ini mengutamakan cara-cara yang paling murah dan mudah untuk mengurangi emisi GRK. Dalam kenyataannya, justru mekanisme ini yang berjalan sementara komitmen untuk pengurangan emisi di tingkat nasional negara Annex 1 tersendat-sendat. yang paling menguntungkan.

Kapan Protokol Kyoto mulai berlaku?

Ada dua syarat utama agar Protokol Kyoto berkekuatan hukum:
1. Protokol harus diratifikasi oleh sedikitnya 55 negara yang sudah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim

2. Jumlah emisi total dari negara-negara Annex I yang meratifikasi protokol minimum 55% dari total emisi mereka pada 1990.

Pada 23 Mei 2002, syarat pertama dipenuhi ketika Islandia menandatangani protokol tersebut. Kemudian pada 18 November 2004 Rusia meratifikasi Protokol Kyoto dan menandai jumlah emisi total dari negara Annex I sebesar 61.79%. Ini berarti semua syarat telah dipenuhi dan Protokol Kyoto akhirnya berkekuatan hukum 90 hari setelah ratifikasi Rusia, yaitu pada 16 Februari 2005.

Kenapa Amerika Serikat dan Australia tidak meratifikasi Protokol Kyoto?

Pemerintah AS dan Australia menolak meratifikasi Protokol kyoto karena khawatir akan mengganggu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi lapangan pekerjaan. Mereka juga tidak sepakat apabila negara berkembang, terutama yang dianggap sebagai berpotensi menjadi penyumbang emisi GRK (India, China dan Brazil, misalnya) tidak diwajibkan menurunkan emisi. Hal ini membuat Protokol Kyoto ”agak pincang” terutama karena usulan mekanisme fleksibilitas terutama perdagangan emisi justru berasal dai AS.

Apakah Protokol Kyoto bisa memenuhi target?

Banyak pakar berpendapat walaupun sudah ada prosedur untuk implementasinya, Protokol Kyoto dapat dikatakan belum efektif dapat mengurangi emisi GRK. Hal ini karena , jumlah negara maju yang meratifikasi belum memenuhi persyaratan. Saat ini 109 negara sudah meratifikasinya, tetapi emisi 24 negara maju yang terdapat di dalamnya baru mencapai 43 %. Padahal, baru dapat dikatakan efektif apabila pengurangan emisi minimum 55%. Dalam salah satu pertemuan di PBB, wakil dari Brazil mengatakan bahwa emisi justru meningkat dua kali lipat dibandingkan ketika Konvensi Perubahan Iklim ditandatangani pada 1992.

Alasan utama mengapa kesepakatan iklim tidak efektif adalah karena kedua perjanjian ini sebenarnya tidak merundingkan secara lugas pengurangan emisi. Sebaliknya keduanya adalah bagian dari tawar-menawar yang lebih luas antara negara-negara kaya dan negara miskin, perebutan sumberdaya dan hak untuk menggunakan energi, dan persaingan ekonomi (Sonia Boehmer – Christiansen, 1994). Mekanisme fleksibilitas memberikan ruang bagi negara maju untuk tidak melaksanakan langkah berarti dalam menurunkan emisi dalam negeri, tetapi justru menggunakan instrumen pasar dan menjadikan persoalan penting ini komoditi di pasar internasional.

Bagaimana Dengan Indonesia?

Indonesia telah meratifikasi kedua kesepakatan iklim melalui Undang-Undang No. 6/1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) dan Undang-Undang No 17/2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to The United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan). Setelah meratifikasi, pemerintah Indonesia kemudian menyusun Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. Tetapi seperti banyak UU lain di Indonesia, pelaksanaan kedua UU ini juga lemah.

Ada Apa di Bali Desember 2007?

Bali menjadi tempat Konferensi Para Pihak atau COP 13 UNFCCC dan pertemuan para pihak atau meeting of the Parties (MOP) ke 3 Protokol Kyoto (disingkat COP13/CMP3). Konferensi ini amat penting karena diharapkan menghasilkan semacam Bali Mandate yang menjadi pedoman bagi pembahasan mengenai pengurangan emisi GRK di masa mendatang karena kesepakatan pengurangan emisi periode pertama dalam Protokol Kyoto akan berakhir pada 2012. Dunia mengharapkan para pemimpin negara-negara akan menyepakati butir-butir perundingan yang menjadi landasan bagi perundingan kesepakatan pengurangan emisi di masa datang. Hal ini diperlukan demi keselamatan bumi dan seluruh isinya. Karena itu Bali akan menjadi sorotan dunia pada Desember 2007 ini.

Isu penting lain yang akan dibahas di Bali?

Walaupun kesepakatan pasca 2012 dianggap sebagai yang terpenting COP13/CMP3 di Bali akan membahas banyak isu penting lain, diantaranya:

1. Dana dan Pelaksanaan Program Adaptasi Perubahan Iklim

Negara berkembang perlu melaksanakan program adaptasi terhadap perubahan iklim dengan mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan bencana seperti badai tropis, banjir, kekeringan, longsor, abrasi, erosi, dan gangguan kesehatan akibat perubahan iklim. Program tersebut memerlukan dana, sementara negara berkembang juga masih dalam proses melaksanakan pembangunan. Karena itu, perlu dirundingkan penyediaan dana tambahan oleh negara maju serta mekanisme yang adil untuk mengakses dana tersebut.

2. Pengurangan Emisi dari Kerusakan Hutan di Negara Berkembang/ Reducing Emission from Deforestation in Developing Country (REDD)

Selama ini, upaya pelestarian hutan tidak diperhitungkan sebagai upaya mengurangi emisi, tetapi perusakan hutan, terutama melalui kebakaran, dihitung sebagai peningkatan emisi. Karena itu diperlukan pengaturan yang lebih adil bagi negara-negara yang kaya hutan dalam memperhitungkan sumberdaya hutan sebagai aset untuk mitigasi emisi GRK. Beberapa hal penting adalah:

a.Memasukkan AD (Avoided Deforestation atau pencegahan kerusakan hutan) agar dipertimbangkan sebagai program pengurangan emisi.

b.Mekanisme pendanaan oleh pasar (dibiayai oleh swasta) dan non-pasar (dibiayai pemerintah)

c.Pengelolaan Hutan Berkelanjutan/ Sustainable Forest Management (SFM) baik pada hutan buatan maupun hutan alami, dan rehabilitasi lahan melalui aforestasi dan reforestasi agar diperhitungkan sebagai program pengurangan emisi.


3. Transfer Teknologi
Negara maju berkewajiban melaksanakan alih teknologi yang ramah lingkungan kepada negara berkembang sesuai ketentuan dalam kedua kesepakatan iklim ini. Namun hal itu belum diwujudkan sama sekali. Bila negara berkembang diminta berpartisipasi dalam pengurangan emisi GRK, maka salah satu alat penting adalah teknologi yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar di negara maju. Tanpa alih teknologi negara berkembang akan kesulitan melaksanakan kewajibannya sesuai kesepakatan iklim.

Mengapa kita perlu memahami kesepakatan mengenai perubahan iklim?

Dampak perubahan iklim akan mempunyai pengaruh pada kehidupan kita sehari-hari. Pada Lembar Informasi No.1, disebutkan bahwa masyarakat yang paling miskin, yang tidak menyumbangkan pada GRK secara berarti, justru yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kesepakatan perubahan iklim dirundingkan oleh para pejabat pemerintah mewakili negara dalam kerangka PBB. Sebagai warga negara kita berhak mengetahui apa yang dirundingkan dan bahkan memberikan masukan kepada pemerintah untuk merumuskan posisi yang mementingkan kepentingan nasional dan rakyat. Apabila tidak, maka dikhawatirkan kesepakatan yang diambil pemerintah justru merugikan kepentingan masyarakat.

Sebagai contoh, saat ini beberapa mekanisme baru diusulkan dalam dalam upaya menurunkan GRK misalnya melalui penyerapan karbon oleh hutan (carbon sinks). Namun usulan ini ditentang aktivis lingkungan dan masyarakat adat karena dikhawatirkan merupakan upaya pengambilalihan sumberdaya masyarakat adat dan lokal. Seperti dicetuskan peserta Forum Internasional Masyarakat Adat mengenai Perubahan Iklim Pertama (The First International Forum Of Indigenous Peoples on Climate Change) menyatakan bahwa “sinks (penyerapan) ”mekanisme CDM akan mengandung strategi skala dunia dalam rangka pengambilalihan tanah-tanah dan hutan-hutan kami.”

Masyarakat berhak mengetahui mekanisme apa yang akan disepakati dan memastikan bahwa pemerintah menyepakati mekanisme baru penurunan emisi karbon yang lebih adil Yang lebih penting, mekanisme baru tersebut harus mampu menjawab permasalahan dasar dari perubahan iklim ini yakni kerakusan negara maju) dalam mengkonsumsi energi dan sumber daya alam.


Catatan:

Aforestasi adalah pengalihan fungsi dari lahan bukan hutan menjadi lahan hutan melalui kegiatan penanaman (biasa disebut penghijauan) dengan menggunakan jenis tanaman asliatau dari luar. Menurut Kesepakatan Marrakesh pada 2001 kegiatan penghijauan tersebut dilakukan pada kawasan yang 50 tahun sebelumnya bukan merupakan hutan.

Carbon Sink adalah penyerapan atau perosot karbon. Penyerapan disini mengacu pada penggunaan pohon, tanah, dan laut untuk menyerap karbon dari permukaan udara.

GRK adalah gas rumah kaca yang ada di lapisan udara bumi (lihat Lembar Informasi No.1).
Mitigasi adalah upaya untuk membuat keadaan tidak menjadi lebih buruk
Ratifikasi adalah adalah proses adopsi/legalisasi sebuah perjanjian internasional, atau konstitusi atau dokumen yang bersifat internasional melalui mekanisme hukum nasional.

Reforestasi berarti penanaman kembali pada lahan hutan yang rusak. Menurut Kesepakatan Marrakesh pada 2001, kegiatan penanaman kembali ini dilakukan pada hutan yang telah rusak sebelum 31 Desember 1989.


Sumber:
1. Carbon Justice, Friends of The Earth International
2. Climate Change a Cap Guide, Consumer Association of Penang
3. Kementrian Lingkungan Hidup, JICA, Pelangi. 2004. Bumi Makin Panas : Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia. Jakarta
4. The Politics of Climate Change, Friends of The Earth International
5. http://www.wwf.or.id/climate
6. http://www.ri.go.id/ UU RI No. 17 Tahun 2004
7. http://unfccc.int/ kyoto protocol
8. http://www.climnet.org
9. http://satudunia.oneworld.net
10. http://www.menlh.go.id/unccc/web/UntitledFrameset-50.htm
11. http://www.fiskal.depkeu.go.id/bapekki/klip/
12. http://kompas.com/kompas-cetak/0306/10/iptek/358855.htm
13. www.carbontradewatch.org


Lembar informasi ditulis Untuk Kolaborasi Bali Climate Change oleh Agung Wardana dan Kadek Lisa, dengan tambahan dan penyuntingan oleh Hira Jhamtani, tata letak oleh …… dst.


Jangan ketinggalan ... fact sheet Lainnya :


Fact sheet NO. 1 Sekilas tentang Pemanasan Global dan Perubahan Iklim
Fact Sheet No. 3 Apa yang Harus Dilakukan Menghadapi Dampak Perubahan Iklim?
Fact Sheet No. 4. Pesan Kearifan Bali untuk Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca



Bali Kolaborasi Climate Change merupakan forum yang terdiri dari organisasi non-pemerintah dan eksponen masyarakat sipil yang berjuang untuk mengkampanyekan nilai-nilai Nyepi sebagai salah satu solusi yang adil dan murah untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Forum ini pertama kali dibentuk oleh empat organisasi non pemerintah, yakni: Yayasan WISNU, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bali, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali dan Bali Organic Association (BOA).

Wednesday, October 17, 2007

Hutan Kita Bukan ’Toilet Karbon’ Negara Maju

Oleh;
Agung Wardana

”Masuknya Carbon sinks (penyerapan karbon) dalam mekanisme CDM akan mengandung strategi skala dunia dalam rangka pengambil alihan tanah-tanah dan hutan-hutan kami.”

Forum Internasional Masyarakat Adat mengenai Perubahan Iklim Pertama
(The First International Forum of Indigenous Peoples on Climate Change)

Kenaikan suhu bumi 0,6º C saat ini menyebabkan banyak pihak mencari cara untuk membuat keadaan tidak menjadi lebih buruk lagi (mitgasi). Akibat konsentrasi karbon yang bertambah secara signifikan di permukaan udara (atmosfir) pasca Revolusi Industri, kenaikan suhu bumi ini tidak dapat dihindari sehingga kenaikannya harus dibatasi dibawah 2º C. Jika tidak mengambil langkah nyata ( business as usual) maka diperkirakan suhu bumi akan naik 5º C yang berakibat pada kekacauan iklim di semua belahan bumi.

Untuk menjawab permasalahan itu di buatlah Konvensi Perubahan Iklim yang kemudian dilanjutkan dengan Protokol Kyoto. Pertanyaannya, apakah aturan internasional tersebut berjalan efektif?

Ternyata banyak pakar menyatakan Protokol Kyoto tidak berjalan efektif. Protokol Kyoto mempunyai target untuk mengurangi emisi sebesar 55 % dari total emisi semula (baseline; tahun 1990) ternyata dibuat tidak berdaya oleh Amerika Serikat dan Australia yang tidak mau tunduk terhadap aturan tersebut. Bahkan salah seorang delegasi Brazil dalam Pertemuan PBB menyatakan emisi justru meningkat dua kali lipat.

Akal-akalan Negara Maju
Memang sejak awal banyak aktivis lingkungan dan ahli yang skeptik dengan efektifitas kesepatakan perubahan iklim yang sebenarnya tidak pernah membicarakan pengurangan emisi secara tegas dan lugas. Kesepakatan ini hanya menjadi ajang tawar menawar (pasar) yang lebih luas antara negara-negara kaya dan negara miskin, perebutan sumberdaya dan hak untuk menggunakan energi, dan persaingan ekonomi (Sonia Boehmer – Christiansen, 1994).

Prinsip-prinsip Konvensi Perubahan Iklim seperti Kesetaraan (equity) justru dilanggar oleh negara maju sendiri. Negara Maju (Eropa dan Amerika Utara) merupakan kontributor terbesar yakni 85% dari total emisi dunia ditambah emisi sejarah mereka yang dampaknya kita rasakan saat ini. Namun negara pulau kecil dan negara-negara miskin yang menjadi korban pertama karena negara-negara ini tidak sumber daya yang cukup untuk menyesuaikan diri (adaptasi).

Bantuan-bantuan yang diberikan negara maju kepada negara miskin ini pun dianggap sebagai sebuah kedermawanan negara maju sehingga memposisikan negara miskin tetap sebagai pengemis. Padahal konteks pemberian dana adaptasi seharusnya merupakan tanggung jawab negara maju yang menyebabkan negara miskin yang rentan secara ekologi akibat sumber daya alamnya diekspoitasi terus-menerus untuk memenuhi konsumsi negara maju.

Bali dan Pasca 2012
Di Bali akan dibahas mengenai kesepakatan baru setelah berakhinya Protokol Kyoto 2012 nanti. Indonesia sebagai tuan rumah, diharapkan menjadi pemimpin bagi negara-negara selatan untuk mengambil tindakan yang lebih strategis untuk mengangkat posisi tawar negara selatan ketika bernegosiasi dengan negara maju.

Namun posisi Indonesia justru malah menjadi ’calo’ dengan jalan ‘mengkontrakkan’ hutan yang ada sebagai penyerap karbon bagi negara maju. Hal ini menunjukkan posisi pemerintah yang masih menggunakan mainset pasar dalam menyelesaikan permasalahan perubahan iklim.

Mekanisme Penyerapan Karbon (Carbon sink) adalah mekanisme penyerapan atau perosot karbon dengan menggunakan pohon, tanah, dan laut untuk menyerap karbon yang ada di atmosfir. Hutan maupun lahan yang digunakan hanya dihargai sebesar 5 – 20 US dollar per hektar dan tidak boleh digangu oleh aktivitas apapun juga. Harga ini dibangun atas asumsi kemampuan setiap hektar hutan dalam menyerap karbon. Sangatlah naif jika hutan hanya dinilai dari penyerapan kabonnya, tanpa mempertimbangkan jasa layanan lingkungannya (ecosystem services) sebagai daerah tangkapan air, keanekaragaman hayati, dan sumber kehidupan bagi masyarakat adat yang ada disekitarnya.

Negara maju yang mengeluarkan uangnya untuk mekanisme penyerapan karbon di negara berkembang akan mendapatkan ’surat ijin’ untuk tetap berhak mencemari atmosfir tanpa harus menurunkan emisi mereka (membayar untuk mencemari).

Hutan Indonesia merupakan salah satu komoditas yang seksi untuk dijadikan ’real estate’ negara maju bagi penyerapan karbon yang mereka hasilkan. Padahal kenyataannya, hutan Indonesia sendiri penuh dengan permasalahan yang belum selesai, seperti konflik penguasaan antara masyarakat adat dengan negara maupun dengan perusahaan HPH, HTI dan perkebunan sawit. Jika kemudian masuk upaya menjadikan hutan Indonesia sebagai penyerap karbon, dikhawatirkan akan menyebabkan bertambah kompleksnya konflik yang terjadi. Akibatnya, masyarakat adat akan kembali terusir dari sumber kehidupan mereka karena hutan tidak boleh disentuh dan sudah dikapling-kapling oleh negara maju. Posisi pemerintah Indonesia saat ini sama saja seperti orang yang mengontrakkan sebidang tanah, namun tanah tersebut masih dalam sengketa.
Berubah atau dirubah
Pertemuan di Bali, desember nanti merupakan ajang yang penting untuk melahirkan kesepakatan baru yang lebih adil dan efektif untuk merubah gaya hidup negara maju yang rakus akan energi dan sumber daya alam yang merupakan pola pembangunan yang dominan saat ini. Kesepakatan tersebut haruslah berbicara lebih menukik pada akar permasalahan perubahan iklim bukan justru menjadi ajang tawar-menawar lewat mekanisme pasar, kemudian emisi karbon yang dihasilkan tetap saja meningkat konsentrasinya di atmosfir kita. Maka kita juga harus ikut bersuara karena Bali juga rentan menjadi korban perubahan iklim ini, karena apa yang dihasilkan dalam pertemuan itu akan menentukan keberlanjutan hidup kita di bumi ini.

Penulis, Aktivis WALHI/
Friends of the Earth Indonesia
Tinggal di Tabanan

Tuesday, October 16, 2007

JAKARTA, Oct 8 (Reuters) - Indonesia wants to be paid $5-$20 per hectare

not to destroy its remaining forests, the environment minister said on Monday, for the first time giving an actual figure that he wants the world's rich countries to pay.Participants from 189 countries are expected to gather in Bali for global climate talks at a U.N.-led summit in December.They will hear a report on Reduced Emissions from Deforestation (RED) -- a new scheme that aims to make emission cuts from forest areas eligible for global carbon trading.But apart from carbon trading, Indonesia also wants big emitters such as the United States and the European Union to pay the country to preserve its pristine rainforests."We will ask for a compensation of $5-20 per hectare. It's not fixed; it is open to negotiation," Environment Minister Rachmat Witoelar told reporters after a cabinet meeting at the presidential palace on Monday.With a total forest area of 91 million ha (225 million acres), Indonesia could receive as much as $1.8 billion for preserving its forests under the proposal.Indonesia will also negotiate a fixed price for other forms of biodiversity, including coral reefs, Witoelar added.He later told Reuters that the figure matches the amount needed for preservation efforts and to create alternative employment for the local communities.However, some critics say it is not clear how the funds would be supervised to ensure they are used properly.Under the Kyoto Protocol's first round, which runs through 2012, about 35 rich nations are obliged to cut emissions by 5 percent below 1990 levels by 2008-12 to fight global warming.The Bali meeting in December will initiate talks on clinching a new deal by 2009.Kyoto focused on reducing emissions from industry and capturing greenhouse cases, but did not include a scheme to cut emissions from forestry or to protect existing forests, which could reduce global emissions by 20 percent.The sprawling archipelago is also home to 60 percent of the world's threatened tropical peatlands -- dense tropical swamps that release big amounts of carbon dioxide when burnt or drained to plant crops such as palm oil.Indonesia is one of the world's top three carbon emitters when peat emissions are added in, according to a report sponsored by the World Bank and Britain's development arm."So far we have not received anything for what we have done," Witoelar said. "Now that there is a price tag for preservation, the amount of money we get will increase multifold."(Writing by Adhityani Arga; editing by Jeremy Laurence; Reuters Messaging sugita.katyal@reuters.com@reuters.net; +6221 384 6364)

Indegenous People Dilupakan Konvensi Perubahan Iklim

Bonn - Indegenous people yang biasanya diterjemahkan sebagai masyarakat adat di Indonesia, adalah kelompok yang dilupakan di dalam negosiasi COP 6 bagian kedua UNFCCC di Bonn.
"Dari lima juta kata di dalam teks negosiasi yang disepakati para pihak, tidak ada satu pun kata yang menyinggung hak masyarakat adat," kata Hector Huertas, Indegenous Lawyer untuk Kuna People di Panama, mengungkapkan kekecewaannya saat jumpa pers hari Kamis (26/7), di Bonn. Huertas juga adalah koordinator Indegenous People on Climate Change untuk Meso-American.
"Keputusan yang diambil di Bonn bertentangan dengan instrumen legal internasional lainnya," kata Jocelyn Therese, Wakil Koordinator Indegenous Poeple of Amazon Basin, Karina People of French Guyana. Seharusnya instrumen internasional seperti UNFCCC tidak bertentangan dengan instrumen internasional lainnya yang menjamin hak masyarakat adat.
Therese menyebutkan paling tidak ada tiga instrumen internasional yang mengakui hak masyarakat adat yaitu Konvensi Keanekaragaman Hayati, Konvensi Desertifikasi, dan aturan No 169 dari International Labour Organisation.
Salah satu dari butir keputusan COP 6 yang akan mengancam hutan dan masyarakat adat adalah dimasukkannya sink ke dalam CDM (Clean Development Mechanism). "Masuknya sink ke dalam CDM akan berdampak pada masyarakat adat, gaya hidup, pelestarian keanekaragaman hayati, dan melanggar hak azasi manusia," kata Huertas dalam bahasa lokal, yang kemudian diterjemahkan.
Tawaran proyek sink akan mendorong lebih banyak hutan tropis ditebang untuk ditanami pinus, eukaliptus, dan pohon cepat tumbuh lainnya. Semua keuntungan akan didapat oleh pengusaha, masyarakat adat yang akan tergusur.
"Ada tanggung jawab moral bagi semua ORNOP dan pemerintah untuk memastikan hak indegenous people dimasukkan ke dalam ketentuan pelaksanaan CDM," kata mereka meminta.
Salah satu ketentuan yang bisa melibatkan indegenous people adalah mereka meminta inform concern sebelum pelaksanaan proyek CDM. Mudah-mudahan proyek sink tidak menenggelamkan hutan Indonesia dan masyarakat hutan. (Harry Surjadi)
(http://pelangi.or.id)