Thursday, November 29, 2007

Indonesia Jangan Sekadar Jadi "Penjaga Hutan"

Denpasar (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia diingatkan untuk tidak sekadar memanfaatkan kesempatan meraih dana "penjaga hutan" pada konferensi internasional perubahan iklim (UNFCCC) di Nusa Dua, Bali, 3-14 Desember 2007.Demikian salah satu pembahasan yang mencuat pada "Workshop Meliput Isu Perubahan Iklim" di Desa Budaya Kertalangu, Denpasar, Sabtu, yang diikuti jurnalis dari berbagai media di Bali. Kegiatan itu menyambut penyelenggaraan UNFCCC yang akan diikuti delegasi dari 168 negara di dunia.Salah satu pemateri, Torry Kuswardono, Koordinator Tim Substansi Perubahan Iklim Walhi Nasional, bahkan secara tegas meminta Indonesia tidak turut "memperdagangkan" emisi karbon dengan memanfaatkan berbagai bantuan maupun yang sifatnya investasi.Kesediaan Indonesia untuk sekedar berperan sebagai "penjaga hutan", dengan imbalan memperoleh bantuan dana pengamanan hutan maupun investasi, hanya akan memperparah percepatan perubahan iklim ekstrim yang justru akan menimbulkan kerugian lebih besar."Kalau kita bersedia menerima 20 juta dolar AS dari Australia untuk `menjaga` hutan, sebagai kompensasi negara itu menjadi salah satu penghasil gas buang (emisi) terbesar, berarti sama saja akan membebaskan Negeri Kanguru itu untuk terus merusak lapisan ozon," katanya.Menurut Torry, dengan membayar mahal, Australia juga akan semakin mulus dalam melakukan perluasan penambangan batu bara di Kalimantan, padahal energi tersebut menjadi pencemar terbesar kedua setelah minyak yang kini dikuasai Amerika Serikat."Batu bara memang menjadi energi pengganti dari minyak yang akan semakin habis. Karena itu pemberian peluang investasi penambangan batu bara sama saja mendukung peningkatan jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) di udara," ucapnya.Peningkatan emisi GRK yang semakin mempertebal terjadinya pelapisan pada atmosfir bumi sebagai penyaring suhu panas matahari, akan semakin mempercepat perubahan iklim secara ekstrim di dunia.Diskusi pada workshop itu juga mempertanyakan delegasi Indonesia pada konferensi nanti yang akan dipimpin Prof Emil Salim, akan melibatkan Menko Kesra Aburizal Bakrie sebagai ketua tim ekonomi.Mendengar itu, peserta pelatihan secara spontan berteriak "huuu....hhhh" karena khawatir akan lebih mengutamakan kepentingan bisnis/ekonomi, ketimbang upaya yang benar-benar untuk mengendalikan pemanasan global yang semakin mengancam kehidupan manusia.Direktur Eksekutif Walhi Bali, Ni Wayan Sri Widhiyanti, juga berharap pemerintah Indonesia nantinya memiliki sikap tegas dalam menjalankan komitmen Protokol Kyoto, yakni negara-negara industri maju benar-benar menurunkan gas emisi lima persen dalam setahun.Tanpa upaya nyata dalam mengendalikan pemanasan global dan menerapkan komitmen penurunan gas buang, akan sangat membahayakan kehidupan manusia di bumi, kata Aik, panggilannya.(*)

Copyright © 2007 ANTARA

PETANI DAN NELAYAN, KORBAN PALING BANYAK PERUBAHAN IKLIM
posted in Agenda, Teknologi, Budaya, Kabar Anyar contributor : Penunggu Bale Bengong Sumber Press Release

Eksekutif Daerah Walhi Bali memaparkan temuan lapangan berkaitan dengan perubahan iklim di Bali. Walhi melakukan Temu Kampung di sepuluh tempat yang mewakili sektor pesisir dan nelayan, rural dan pertanian, serta sektor masyarakat hutan. Dalam temu kampung yang fokus pada empat kelompok masyarakat yaitu petani, nelayan, pinggir hutan, dan kalangan pariwisata itu, Walhi menemukan bahwa petani dan nelayan adalah kelompok yang paling terkena dampak perubahan iklim tersebut.
Nelayan Bali Barat di Pemuteran, Kabupaten Singaraja kini sangat sulit melaut karena perubahan iklim yang sulit diprediksi. Suhu udara makin panas dan suu air laut berubah-ubah. “Pendapatan nelayan menurun karena berbagai kendala termasuk biaya operasional yang tinggi,” kata Ni Nyoman Sri Widiyanthi, Direktur Walhi Bali di sela workshop Meliput Isu Perubahan Iklim di Denpasar. Workshop dua hari tersebut diadakan Walhi Bali, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar, dan Sloka Institute.
Demikian juga dialami petani. Misalnya petani Desa Kedisan, Kintamani, Kabupaten Bangli. Difasilitatori Made Nurbawa, petani saat ini sangat sulit menentukan masa tanam bawang sehingga panen seringkali gagal.
Salah seorang petani, I Ketut Geden menuturkan, dulu ia selalu tepat menentukan musim tanam. Beberapa tahun terakhir, musim berubah dan panennya sering gagal. Pola tanam juga bergeser. Ia juga mengeluhkan curah hujan yang seddikit dari tahun ke tahun. “Sekarang menyiram tanaman dua kali sehari, kan biaya makin banyak,” kata Nyoman Rima, petani lain.
Selain soal perubahan musim, strategi pembangunan lingkungan yang tidak terkonsep di Bali juga memperburuk masa depan lingkungan Bali. Hal ini dikatakan Made Suarnatha, Direktur Yayasan Wisnu, lembaga pemerhati lingkungan.
Misalnya di kawasan Seminyak, Kuta, sebagian sawah berubah menjadi villa yang tak terkontrol. Padahal di kawasan itu adalah daerah hijau. “Jangan sampai isu global warming ini melupakan kesalahan Bali karena pemerintah lokal melalaikan kelestarian lingkungan,” kata Suar.

KTT Iklim kian Teguhkan Dominasi Negara Maju

DENPASAR--MEDIA: Walhi mengkhawatirkan konferensi PBB tentang kerangka kerja perubahan iklim atau United Nation Framework
Convention for Climate Change (UNFCCC), hanya menjadi forum seremonial meneguhkan dominasi negara-negara maju.
Kekhawatiran itu disampaikan Pantoro Kuswardono, Koordinator Kampanye
Perubahan Iklim Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), pada workshop Meliput isu
perubahan iklim yang berlangsung dua hari hingga Minggu (25/11), di Desa Budaya
Kertalangu, Denpasar Timur.
"Kita patut khawatir mengingat kecenderungan negara maju untuk memaksakan kehendaknya. Apalagi Indonesia tidak memiliki banyak pilihan untuk bersikap. Pemerintah kita terlalu pragmatis," kata Tori, panggilan
Pantoro Kuswardono.
Pelatihan diikuti sekitar 20 jurnalis, menyambut UNFCCC di Nusa Dua, 3-14 Desember 2007 itu, diselenggarakan Walhi Bali, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar, dan Sloka Institute, 24-25 Nopember.
Menurut Tori, berdasarkan informasi yang didapat dari tim Menteri Lingkungan Hidup, pemerintah Indonesia akan lebih banyak bicara
tentang uang dalam konferensi yang akan diikuti sekitar 180 negara tersebut. "Delegasi pemerintah Indonesia tidak akan banyak membahas masalah penurunan emisi sebagai jalan keluar menekan pemanasan global. Pemerintah kita akan cenderung memanfaatkan apa yang bisa didapat secara ekonomi," ucapnya.
Dalam konferensi tersebut ada empat isu besar yang sebenarnya akan dibawa Indonesia, meliputi penurunan emisi, transfer teknologi, adaptasi, dan mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanisme/CDM). "Tapi pemerintah Indonesia sepertinya akan fokus pada upaya jual beli karbon," lanjutnya.
Dari situ akan banyak proyek yang bisa diperjualbelikan. Misalnya pelestarian hutan yang nantinya akan dikapling oleh negara-negara penghasil emisi. "Jadi hutan kita nanti bukan lagi milik masyarakat setempat tapi seolah-olah milik negara maju yang sudah membayar konsekuensi pembuangan
emisi mereka," kata Tori.
Parahnya lagi, harga hutan itu sangat murah. Hanya US$5 hingga US$20 per hektare, atau setara dengan sekitar Rp5 per meter persegi. "Karena itu kita akan menyuarakan bahwa atmosfer bukan barang dagangan. Jadi tidak semua orang punya hak untuk memperjualbelikan. Sebab perdagangan karbon adalah perdagangan hak meng-emisi orang," ujarnya.
Aktivis Walhi ini memberikan contoh saat berada di ruangan, ada yang merokok cerutu hingga asapnya banyak. Kemudian perokok kaya raya itu akan terus merokok dengan memberikan kompensasi membayar orang lain yang ada. Si
perokok akan terus merokok dan orang lain tidak boleh merokok.
"Praktik jual-beli emisi seperti itu yang akan didesakkan negara emitor terbesar Amerika Serikat di Nusa Dua nanti," kata Tori.
Menurut dia, perubahan iklim sering dilihat sebagai masalah lingkungan semata. Padahal harus dilihat ada konteks politik ekonomi di belakangnya. Ada model ketidakadilan yang tumbuh berkembang selama hampir 4-5 abad.
"Industrialisasi itu beralas darah. Ini akar cerita perubahan iklim," tambahnya, seraya mengingatkan, bahwa global warming atau pemanasan global tidak akan terjadi secara mendadak, dampaknya akan perlahan.(Ant/OL-03)

Thursday, November 22, 2007

Parade Budaya untuk Keadilan Iklim

posted in Agenda, Teknologi, Budaya, Kabar Anyar | contributor : Penunggu Bale Bengong
Sumber Press Release

Koalisi Masyarakat Sipil Bali akan gelar Parade Budaya untuk Keadilan Iklim. Parade yang akan digelar pada Sabtu (8/12/07) itu menampilkan berbagai bentuk kesenian dari tradisional hingga rock and roll. Parade itu diharapkan bisa memberi suara alternatif di tengah gegap gempita Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Nusa Dua, Bali pada 3-14 Desember nanti.

Menurut Direktur Eksekutif Daerah Walhi Bali Ni Nyoman Sri Widiyanti, kegiatan tersebut dilakukan sebagai upaya untuk menyuarakan aspirasi masyarakat Bali terkait isu yang akan dibahas sekitar 10.000 hingga 15.000 orang itu. Konferensi itu sendiri akan diikuti sekitar perwakilan pemerintah dan swasta dari 180 negara untuk membahas isu paling hangat saat ini yaitu perubahan iklim.

”Karena itu masyarakat Bali agar turut memberi suara pada konferensi tingkat dunia tersebut,” kata Aik, panggilan akrabnya.

Koalisi Masyarakat Sipil sendiri merupakan gabungan dari berbagai kelompok sipil di Bali seperti Walhi Bali, Mitra Bali, Yayasan Wisnu, Kalimajari, PPLH, Sloka Institute, Taman 65, mahasiswa, pelajar, dan berbagai kelompok lain. Koalisi ini dibentuk untuk memberi suara pada hiruk pikuk Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim nanti.

Salah satu cara untuk menyampaikan suara masyarakat Bali tersebut adalah melalui Parade Budaya untuk Keadilan Iklim yang akan digelar di Lapangan Puputan Renon Denpasar. Dalam acara sehari penuh ini akan dibacakan Deklarasi Masyarakat Sipil Bali yang salah satunya menawarkan agar Hari Raya Nyepi bisa digunakan sebagai momen internasional untuk mengistirahatkan bumi.

Selain deklarasi, acara yang rencananya akan dihadiri 1000 orang dari berbagai latar belakang seperti buruh, tani, nelayan, aktivis LSM, mahasiswa, dan masyarakat lain itu juga diisi berbagai bentuk kesenian.

Ada kesenian tradisional Bali seperti joget bumbung dan bondres. Ada pula band-band seperti Naviculla, Ed Eddy & Resedivis, Joni Agung, Nanoe Biroe, Balawan, dan lain-lain yang mewakili berbagai aliran musik dari rock, pop, jazz, hingga reggae. ”Kami hanya belum dapat dari aliran dangdut,” kata IB Anom Wiadnyana, Koordinator Parade Budaya.

Tidak hanya kesenian lokal Bali. Sejumlah seniman dari berbagai daerah di Indonesia pun akan hadir. Bahkan ada pula penampilan khusus dari Indian Cultural Center di Bali.

Parade itu semakin lengkap karena akan diikuti pula dengan Pasar Rakyat yang akan diisi berbagai produk murah yang dihasilka berbagai kelompok masyarakat.

“Parade ini sekaligus sebagai tempat alternatif bagi seluruh kelompok sipil di Bali yang ingin berkontribusi pada isu perubahan iklim,” kata Aik. [*]

Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi
Ni Nyoman Sri Widhiyanti, Direktur ED Walhi Bali (Telp 0818551297)
Ngurah Termana, Humas Koalisi Masyarakat Sipil (08156574080)


Lokakarya Perubahan Iklim Digelar di Bali
oleh Risalah MQ

Denpasar - Lokakarya (workshop) yang khusus membahas tentang pola dan penajaman penulisan mengenai perubahan iklim, akan digelar di Denpasar Bali, menyongsong diselenggarakannya Konferensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) awal Desember mendatang.

"Workshop digelar untuk memberi ketajaman bagi setiap wartawan yang akan menulis masalah lingkungan hidup, khususnya perubahan iklim berkenaan dengan penyelenggaraan UNFCCC di Nusa Dua," kata Direktur Eksekutif Walhi Bali, Ni Nyoman Sri Widhiyanti, di Denpasar, Senin.

Ia menyebutkan, penyelenggaraan konferensi dunia yang akan membahas perubahan iklim global, merupakan peristiwa penting yang memerlukan ketajaman tersendiri bagi setiap jurnalis yang hadir di arena kegiatan.

"Karenanya, para jurnalis yang akan terjun melakukan peliputan, perlu telebih dahulu dibekali sejumlah pola dan teknik tersendiri dalam menggali materi, untuk kemudian menuangkan tulisan mengenai lingkungan," ucapnya.

Dengan demikian, para peliput kegiatan nantinya diharapkan dapat menungkankan karya-karyanya yang lebih tajam, baik menyangkut lingkungan secara keseluruhan maupun khusus tentang perubahan iklim global, ujar Widhiyanti.

Mengingat itu, Direktur Walhi Bali selaku penyelenggara kegiatan, mengharapkan para jurnalis yang akan terjun meliput UNFCCC, dapat ambil bagian dalam Workshop yang akan digelar dua hari, yakni 24-25 Nopember mendatang di Sanur, Denpasar.

Workshop yang diselenggarakan atas kerja sama Walhi dengan Sloka Institut dan Aliansi Jusnalis Independen (AJI) Denpasar itu, akan menampilkan sejumlah pembicara dari kalangan ahli, baik dari perguruan tinggi maupun LSM yang khusus membidangi masalah lingkungan.

Konferensi badan dunia yang dijadwalkan berlangsung sejak 3 sampai 14 Desember 2007 itu, akan dihadiri sekitar 15 ribu delegasi dari 168 negara.(

Wednesday, November 7, 2007

Tuesday, November 6th, 2007...3:40 am

Ironi Konferensi Perubahan Iklim di Bali

Desember nanti, Bali akan dipenuhi 10 ribu hingga 15 ribu orang. Ribuan orang: aktivis LSM, pejabat, penjahat (lingkungan), menteri, sampai presiden dari 180 negara akan tumplek blek di Nusa Dua, bagian selatan Bali. United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) alias Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim itu akan berpusat di Bali International Convention Centre (BICC).

Banyak suka cita, terutama masyarakat Bali. Ini ibarat rezeki nomplok karena konferensi besar itu akan jadi promosi gratis buat pariwisata Bali. Ya, tentu saja. 10 ribu orang tidaklah sedikit. Apalagi isu pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change) sedang laris manis jadi wacana global. Maka, itu tadi, Bali pun akan mendapat imbas pencitraan.

Bali akan dicitrakan sebagai tempat konferensi yang menyenangkan. Lalu akan makin banyak wisatawan datang ke Bali. Karena itulah, nyaris tidak ada yang bersikap kritis pada masalah ini.

Tapi, tetap saja ada catatan yang harus diingatkan, terutama dari sisi lingkungan. Sebab isu yang akan didiskusikan nanti kan soal lingkungan.

Sebagai tempat konferensi, Bali jelas akan kena dampak. Kita lihat dari soal-soal sepele saja. Misalnya sampah sisa makanan, sampah isi perut dan kantung kencing :), air yang dihabiskan untuk mandi para peserta, bahan bakar minyak kendaraan (pesawat, mobil, sepeda motor) yang dihabiskan dst, dst. Saya bukan ahli hitung menghitung. Tapi saya yakin jumlahnya tidak sedikit.

Ironi paling jelas adalah soal rencana kompensasi atas dampak buruk konferensi itu. Dari dua teman aktivis LSM di Bali, saya mendapat info kalau panitia dari Jakarta akan melakukan penghijauan di Taman Nasional Bali Barat sebagai bentuk timbal balik dampak buruk konferensi. Kabarnya panitia akan membangun toilet dan menebang hutan untuk jalan masuk ke hutan.

Ini sih sepertinya sinting. Tapi sangat mugkin memang terjadi. Coba pikir: 10 ribu orang datang ke tengah hutan? Atau ya paling sedikit lah 1000 orang. Jelas susah. Gimana kalau 1000 orang itu pengen kencing? Tidak enak kan kalau semua lalu membuka celana dan cuuur di tengah hutan seenaknya. Maka dibuatlah toilet itu tadi.

Begitu juga dengan menebang hutan. Kalau hanya satu dua orang yang masuk sih gampang saja. Tidak usah menebang hutan. Cukup lewati jalan setapak atau di sela semak-semak. Lha kalau 1000 orang masuk hutan, meski lewat sela semak-semak ya tetep saja hutan akan rusak. Mungkin karena itu pohonnya ditebang untuk bikin jalan. Sebab hutan yang gundul itu adanya memang di tengah, bukan di pinggir.

Inilah puncak dari semua logika yang tidak logis. Hehehe. Masa mereka menebang pohon untuk menanam pohon baru. Gimana kalau pohon barunya tidak tumbuh? Rusak sih pasti, perbaiki belum tentu.

Kata temanku sih rencana ini memang masih kontroversi. Dinas Kehutanan Bali konon menolak ide gila ini. Tapi aku sendiri belum pernah cek langsung ke pihak-pihak terkait. Masih sebatas ide untuk jadiin bahan liputan. Seperti biasa, masih banyak kerjaan lain yang numpuk. Huh!(rumahtulisan.wordpress.com)

Monday, November 5, 2007

Aksi Langsung Kaum Muda Pembela Lingkungan

Singaraja- Green Student Environmentalist (GSE) Bali bersama Mapala Widya Wahana IHDN Denpasar dan Magma Adventure Team mengadakan aksi langsung dalam membela hutan di kawasan Danau Buyan dan Tamblingan, sabtu (03/11/07). Dalam aksi langsung tersebut, belasan partisipan juga membuat tenda untuk bermalam.

”Saat ini, kawasan hutan danau buyan dalam kondisi kritis yang kemudian berdampak pada turunnya debit air di danau” ungkap Dek Gus dari GSE Bali.

Dengan membentangkan dua spanduk yang berbunyi, ”Stop Merusak Lingkungan” dan “Hutan Kita Bukan Toilet Karbon Negara Maju“, partisipan bermaksud untuk mengajak masyarakat untuk bersama-sama menjaga Hutan Bali yang masih tersisa. (*)