Sunday, December 30, 2007

Perlu Bahasa Universal Kampanyekan World Silent Day


Kampanye untuk menjadikan Nyepi sebagai upaya mengurangi emisi perlu dilakukan dengan menggunakan bahasa-bahasa yang universal. Demikian mengemuka pada diskusi akhir tahun yang diadakan Kolaborasi NGO Bali untuk Keadilan Iklim di Denpasar Bali Jumat (28/12).

Salah satu bahasa yang digunakan adalah dengan menggunakan istilah World Silent Day, bukan Nyepi, untuk kampanye di tingkat nasional maupun internasional. Ida Pedanda Sri Begawan Dwija Nawa Sandi, tokoh spiritual Bali, mengatakan bahwa harus dibedakan Nyepi yang selama ini sudah dilakukan masyarakat Bali dengan World Silent Day yang dikampanyekan. “Kalau Nyepi dimaknai sebagai aspek spiritual agama Hindu, maka world silent day tidak menyinggung aspek spiritual tapi ekologi,” kata Begawan.

Secara teknis pun dua hal ini berbeda meski memiliki tujuan yang sama. Nyepi di Bali dilakukan dengan rangkaian kegiatan seperti catur brata penyepian (empat hal yang tidak boleh dilakukan), maka world silent day tidak akan persis seperti itu. Kalau pakai istilah-istilah yang hanya dimengerti oleh orang Bali, lanjutnya, maka kampanye itu akan susah dipahami dan mendapat tentangan dari kelompok agama lain.

Menurut Begawan, world silent day bertujuan mengubah kebiasaan manusia. Misalnya bahwa pertumbuhan per kapita tidak harus diikuti pertumbuhan karbon per kapita. Orang yang meningkat kesejahteraannya tidak harus meningkat pula gaya hidupnya.

Nyoman Sri Widhiyanthi, Direktur Walhi Bali, mengatakan kampanye isu Nyepi sebagai upaya mengurangi emisi sudah melalui proses panjang. Misalnya melalui temu kampung, workshop, seminar, dan focus group discussion. “Kita ingin ada tindakan nyata untuk mengurangi emisi,” kata Aik, panggilan akrabnya.

Kampanye Nyepi sebagai upaya mengurangi emisi ini sendiri sudah dilakukan pada saat United Nation Framework Convention for Climate Change (UNFCCC) di Nusa Dua 3-15 Desember lalu. Pada saat itu beberapa delegasi dari Kolaborasi NGO Bali untuk Keadilan Iklim melakukan lobi-lobi secara formal maupun informal agar isu Nyepi bisa masuk pada konferensi yang diikuti sekitar 10 ribu peserta tersebut.

Hira Jhamtani, aktivis Kolaborasi NGO Bali, mengatakan lobi itu dilakukan misalnya agar film tentang Nyepi bisa diputar di pembukaan sidang UNFCCC. Lobi itu bisa berhasil dengan diputarnya film tentang Nyepi setelah sambutan gubernur Bali. “Sayangnya gubernur malah tidak menyinggung isu Nyepi sama sekali dalam pidatonya,” ungkap Hira.

Pemerintah Indonesia pun, lanjut Hira, terlmbat untuk merespon ide pelaksanaan Nyepi ini sebagai usaha mengurangi emisi terkait isu perubahan iklim. Sampai saat ini belum ada sikap resmi Indonesia untuk mengadopsinya. “Padahal kalau ide ini tidak diadopsi oleh satu negara, maka susah kalau UNFCCC akan mengadopsi juga,” lanjutnya.

Cara lain agar isu Nyepi bisa diadopsi UNFCCC adalah dengan dukungan tanda tangan 10 juta masyarakat. “Meski tidak diadopsi oleh negara mana pun, asal ada 10 juta kita bisa mendesak agar dibahas. Karena itu perlu dukungan massif dari masyarakat atau satu negara,” kata Hira.

Dalam rangka menggalang dukungan itu pula, maka kampanye tentang world silent day pun dilakukan melalui website. Arief Budiman, praktisi periklanan di Bali yang menggagas website ini, mengatakan website ini pada dasarnya merupakan usaha besar untuk mewujudkan ide besar. “Menurut saya lewat website lah kita bisa bagi ide ini secara mudah dan murah,” kata Ayip, panggilan akrabnya.

Website www.worldsilentday.org itu sendiri saat ini sudah berjalan. Dalam diskusi itu disepakati website ini sebagai bagian dari kampanye global internasionalisasi Nyepi.

“Dalam kampanye ini kita harus membuat impresi sehingga orang sadar bahwa ini adalah sesuatu yang benar (right thing),” kata Ayip. [+]

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi
Ni Nyoman Sri Widhiyanthi – 0818551297
Hira Jhamtani - 08123866063

http://www.balebengong.net/2007/12/28/perlu-bahasa-universal-kampanyekan-world-silent-day/

Tuesday, December 25, 2007

Sebuah Kemunafikan Dari Bali??



Oleh;

Agung Wardana

Bali menjadi sorotan masyakarat dunia saat berlangsungnya COP 13 UNFCCC, hingga konsensus yang dihasilkan pun diberi nama Bali Roadmap (Peta Jalan Bali) untuk mengingatkan semua orang akan apa yang terjadi di Bali untuk mengatasi perubahan iklim. Tapi mungkin tak banyak yang tahu, ditengah hiruk-pikuk dan sanjungan yang ditujukan kepada pemerintah Indonesia, ada kemunafikan yang sedang menunggu dan tak diketahui publik secara luas.

Antara Perubahan Iklim dan Eksploitasi SDA
Dampak perubahan iklim tidak akan berhenti dengan kita berhenti membicarakannya. Dampak perubahan iklim akan tetap mengancam kehidupan kita, jadi setiap saat kita harus mewacanakannya, memasukkannya pada agenda pembangunan.

Nama Bali, sebuah pulau kecil, menjadi catatan dalam sejarah manusia di bumi karena Bali menjadi saksi diputuskannya konsensus untuk menyelamatkan dunia dari perubahan iklim. Dan yang tak kalah penting, walaupun konsensus tersebut banyak mengandung kelemahan, paling tidak dapat menarik Amerika Serikat, negara maju yang selama ini skeptik dengan perubahan iklim, untuk bergabung dengan konsensus.

Untuk pertama kali pula, masyarakat Bali mempunyai posisi yang tegas dengan mengkampanyekan Nyepi (Silent Day for the Earth) dan mampu mempengaruhi wacana yang berkembang pada konferensi internasional tersebut. Mungkin apa yang telah dilakukan masyarakat Bali akan menjadi inspirasi bagi masyarakat belahan bumi lainnya, namun prilaku pemerintah Bali sendiri tidak sejalan dengan upaya pengatasi perubahan iklim.

Kita tahu bersama, perubahan iklim merupakan signal dari gagalnya sistem ekonomi global yang berbasiskan bahan bakar fosil. Pola produksi dan pola konsumsi yang boros energi dan bahan bakar fosil telah melepaskan emisi gas rumah kaca ke atmosfir sehingga memanaskan bumi kita. Ekstraksi dan eksploitasi sumber daya alam di negara selatan untuk kepentingan pasar di negara utara mempercepat laju kerusakan ekologis dan membawa negara berkembang menjadi sangat rentan terkena dampat perubahan iklim. Pola penghisapan negara berkembang oleh perusahaan negara maju tidak akan terjadi tanpa uluran tangan dari elit di negara berkembang itu sendiri.

Tahun 2003 lalu, pemerintah mengundang investor luar negeri untuk kembali menghisap cadangan migas Indonesia. Lewat penandatangan kontrak baru migas yang keseluruhannya bernilai US$ 170,269 juta, telah mulai babak lanjutan semangat ’obral murah’ dan ’jual habis’ sumber daya alam kita.

Menariknya, salah satu blok yang dikonsesikan terletak di Bali, yakni kurang lebih 4 mil dari Pantai Utara Bali (Blok Agung 1). Pemerintah Provinsi Bali, bersama Departemen ESDM dan Santos North Bali PTY Ltd telah melakukan penandatangan kontrak 14 Oktober 2003. Meski dikatakan Blok Agung 1 di Utara Bali menyimpan potensi migas yang besar, namun Santos PTY Ltd sebagai operator dalam eksploitasinya belum menemukan potensi yang dimaksud sehingga aktivitas kontrak dikembalikan kepada pemerintah.

Bukan berarti dengan cabutnya Santos PTY Ltd dari proyek ini kemudian kita bisa tenang kembali, mengingat pemerintah sendiri sedang menawarkannya kepada perusahaan-perusahaan lain.

Saatnya Menentukan Sikap
Hal ini harus menjadi pemikiran kita bersama, apakah kita sebagai masyarakat Bali akan menerima eksploitasi ini jika kelak dilanjutkan oleh perusahaan lain?? Mengingat Bali telah mengklaim diri telah berkontribusi positif untuk menurunkan emisi gas rumah kaca lewat Nyepi selama 24 jam.

Apa memang ini yang disebut Rwa-Bhineda, dimana kita telah terbukti mampu menurunkan emisi gas rumah kaca, kemudian kita punya hak untuk melepaskan emisi dari migas yang dihasilkan dari kedalaman 100 hingga 970 meter di perut ibu pertiwi kita???

Atau ini adalah sebuah kemunafikan???

Penulis,
Aktivis WALHI/ Friends of the Earth Indonesia
Tinggal di Tabanan

Wednesday, December 19, 2007

Aksi Bali Untuk Perubahan Iklim Harus Riil

Oleh Luh De Suriyani

Peta jalan Bali atau Bali Road Map yang dihasilkan dari konferensi PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC) yang berakhir 15 Desember kemarin, bukan solusi final untuk mengurangi pemanasan global. Negara-negara maju dinilai berhasil mengalihkan komitmen pengurangan emisi ke negara berkembang.

“Negara maju sudah berhasil mengalihkan dari komitmen mereka yang sebelumnya ke perundingan pasca 2012. Pertarungan baru akan dimulai. Ini bukan akhir. Ini baru awal proses untuk kebijakan perubahan iklim,” kata Hira Jhamtani, aktivis Third World Network yang fokus pada pemantauan sidang UNFCCC, pada diskusi media di Sloka Institute, Denpasar, Rabu (19/12) kemarin. Diskusi tersebut dilaksanakan oleh Walhi Bali, AJI Denpasar, dan Sloka Institute.

Karena itu Hira berharap masyarakat daerah yang bergerak untuk memulai program-program penyelamatan lingkungan karena komitmen pengurangan emisi dari negara-negara maju sulit diwujudkan dalam waktu dekat. “Kalau pemerintah Indonesia kurang serius, kita mulai dari dengan Rencana Aksi Provinsi (RAP) Bali,” tambah Hira yang mengadvokasi kampanye Nyepi untuk bumi (silent day for the earth) di UNFCCC Nusa Dua lalu.

Hira mengatakan pihaknya bersama Bali Kolaborasi untuk Climate Change akan terus mengadvokasi agar dunia internasional mengadopsi Nyepi untuk Bumi ini. “Kita harus terus membawa program ini ke forum-forum internasional sebagai aksi nyata pengurangan emisi yang sulit dilakukan negara maju. Bali sendiri sudah melakukannya walau sehari,” tambah Hira.

Harry Surjadi, Direktur eksekutif Society of Indonesian Environment Journalist (SIEJ), juga mengharapkan media dapat menulis upaya-upaya kearifan lokal untuk menjaga lingkungan. “Menunggu hasil konkrit UNFCCC akan sangat lama, sementara banyak masyarakat yang akan kena imbas pemanasan global seperti nelayan, petani, dan masyarakat adat,” ujar Harry yang juga aktif memberikan pendidikan lingkungan pada jurnalis.

Harry heran melihat fenomena diangkatnya isu climate change oleh politikus dengan sudut pandang yang menyesatkan. Misalnya poster atau spanduk pemilihan kepala daerah yang berisi seolah-olah kampanye global warming. “Semua hal disangkutkan climate change, padahal dia sendiri tidak mengerti soal itu,” kata Harry yang mantan wartawan Kompas ini.

Informasi salah ini membuat masyarakat melihat climate change sebagai isu politik yang semakin jauh dari konteks pelestarian lingkungan itu sendiri. Harry juga kecewa dengan skema transfer teknologi yang salah kaprah menjadi jual beli teknologi. Ia melihat indikasi ini dari proyek pembangkit listrik tenaga angin yang kini dirintis di Pulau Nusa Penida. “Itu bukan transfer teknologi tapi beli teknologi. Jadi transfer pengetahuannya kurang. Kalau alatnya rusak, apakah masyarakat bisa memperbaikinya?” tanya Harry.

Karena itu ia berharap masyarakat dan pemerintah tidak menggantungkan diri pada hasil UNFCCC. Mekanisme pembiayaan konservasi hutan dalam REDD (Reducing Emission of Deforestation and Degradassion) yang dihasilkan UNFCCC lalu juga jangan sampai mengabaikan kewajiban pemerintah untuk melestarikan hutan. “Jangan bilang belum ada duit dari REDD lalu pemerintah angkat tangan untuk mengawasi hutan,” imbuh Harry.

sumber: http://www.balebengong.net/2007/12/19/aksi-bali-untuk-perubahan-iklim-harus-riil/

Sunday, December 16, 2007

Fakta Krisis-Krisis di Bali


Bali termasuk pulau yang tidak begitu luas dan dikelilingi oleh laut. Berdasarkan penafsiran para ahli geografis bahwa luas Pulau Bali adalah 5.636,66 km2 atau kira-kira seperempat dari luas Pulau Jawa (138.793,6 km²), dan memiliki panjang garis pantai kurang lebih 450 km2. Meskipun Pulau Bali tidak begitu luas namun dilihat dari kepadatan penduduknya tergolong padat yakni rata-rata 576 jiwa per km2. Misalnya, sangat mencolok sekali perbedaannya kepadatan penduduk Propinsi Bali dibandingkan dengan Propinsi Kalimantan Tengah yang rata-rata hanya 12 jiwa per km2. Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) Bali tahun 2005, jumlah penduduk di Bali tercatat sebanyak 3.247.772 jiwa yang terdiri dari 1.623.426 jiwa (49,99%) penduduk laki-laki dan 1.624.346 jiwa (50,01%) penduduk perempuan.

Dilihat dari administrasi pemerintahan Propinsi Bali yakni terdiri dari: 8 kabupaten dan 1 kotamadya, dan membawahi 53 Kecamatan atau 678 desa. Dari 678 desa tersebut sebanyak 158 desa letaknya berbatasan dengan laut (22%), pinggir pantai atau disebut desa pesisir.

Sumber-sumber kehidupan di Bali yaitu: hutan, air, dan tanah di wilayah Bali tercatat sebagai berikut:
• Luas hutan ± 130.686,01 Ha, atau atau mencakup 23,20% dari luas Propinsi Bali. Kawasan hutan ini terdiri dari kawasan Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan kawasan Hutan Produksi.
• Jumlah seluruhnya diperkirakan ada sebanyak 500 mata air, 162 Sungai. Dari keseluruhan sungai teridentifikasi 34 sungai dalam kondisi kritis (kerusakan DAS). Selain itu terdapat empat danau, yakni: Beratan (370 ha), Batur (1,607 ha), Buyan (360 ha), dan Tamblingan (110 ha). Dan, telah dibangun sebanyak 128 Waduk/dam yang tersebar di Kabupaten; Jembrana (18), Tabanan (16), Badung (10), Gianyar (18), Klungkung (11), Bangli (13), Karangasem (13), Buleleng (24), dan Denpasar (5).

Pola pemanfaatan lahan:
1. Kegiatan pertanian; sawah, sawah kering, dan perkebunan.
2. Kegiatan wisata; perhotelan, restoran, perbelanjaan, taman rekreasi, parkiran, dan publik space.
3. Pemukiman; perumahan murah atau sederhana, perumahan sedang, dan perumahan mewah (Villa).
4. Tempat sembahyang (suci, sakral).
5. Pembangunan jalan-jalan by pass baru.
6. Kegiatan usaha skala besar; mall dan kompleks pertokoaan.


Kecenderungan ke depan masalah konversi lahan pertanian akan semakin meningkat sehubungan memenuhi kebutuhan kegiatan pariwisatan maupun permintaan dari kebutuhan rumah pemukiman dan kegiatan usaha. Kecenderungan investasi di bidang properti wisata cenderung naik. Sedang di sisi lain, nilai ekonomi di sektor pertanian sebaliknya cenderung turun. Yang terus mengalami kenaikan setiap tahun adalah harga tanah, sebagai contoh, di daerah yang dijadikan lokasi wisata rata-rata harga tanah paling murah 200 jutaan per are atau 100 m2. Jika dibandingkan dua puluh tahun lalu harganya rata-rata 100 jutaan per are. Dengan demikian, semakin sempit atau keterbatasan lahan peruntukan kegiatan wisata dan bisnis maka yang terjadi harga tanah akan cenderung semakin tinggi.

Hutan produksi di wilayah Bali tercatat lebih dari 8,000 ha, dan paling luas terdapat di bagian Barat. Tercatat sekitar tahun 70-an kawasan hutan produksi itu ditanami pohon kelapa dan pohon jati. Hutan produksi dikelola oleh pemerintah sendiri dan dikelola pihak swasta. Hak pemilikan kawasan hutan produksi adalah negara, sepenuhya berada dibawah pengawasan Departemen Pertanian kemudian beralih tangan kepada Departemen Kehutanan. Selanjutnya, atas nama pemerintah kawasan hutan produksi tersebut disewakan kepada swasta atau pengusaha perkebunan.

Model hutan kerakyatan, tanaman di kawasan hutan produksi telah dipanen massal oleh warga desa sekitar pada tahun 1998 lalu disusun rencana kerja baru pada tahun 2000-an antara pemerintah daerah dengan kelompok petani setempat, yang kemudian disebut hutan kerakyatan. Hak milik panen terutama tanaman utama di atas lahan produksi seperti pohon jati mas adalah milik pemerintah kabupaten, sedang petani hanya berhak atas tanaman sampingan yang berada di bawah pohon tegakkan. Rencana hasil panen dari hutan produksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi kayu-kayu pertukangan di Bali.

Perkebunan, rata-rata adalah pemilikan perorangan. Jenis pohon yang ditanam sangat terkait dengan komiditi pasar yang bernilai ekonomi tinggi seperti pohon vanilla, cengkeh, kopi, dan sayur-sayuran. Pola hubugan kerja dalam perkebunan tersebut yakni pemilik dan buruh.

Sawah basah dan sawah kering, sawah basah khusus untuk tanaman padi sedang sawah kering untuk tanam jenis sayuran dan palawija. Pola pengelolaan sawah basah khususnya berkaitan dengan pengelolaan air disebut Subak. Sedang sawah kering awalnya tidak dipraktekkan pengelolaan air, tetapi telah diadopsi pemikiran subak untuk sawah kering, disebut subak abian.

Dalam beberapa kasus ditemukan bahwa pola kerja di sawah basah sudah tidak dikerjakan oleh pemilik sawah tetapi sudah diserahkan pekerjaan pengelolahan sawah kepada buruh, mulai dari proses tanam sampai panen. Demikian juga proses penggilingan padi sudah diserahkan kepada jasa penggilingan padi. Masalah penjualan hasil panen, baik sawah maupun hasil pertanian lebih senang memilih sistem ijon.

Jika dilihat dari kesuluruhan hasil produksi sawah Bali, kalkulasi kasar angka-angka lahan dan produksi sawah kemungkinan sudah tidak mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat Bali. Penyelesaiannya adalah import beras dari luar Pulau Bali.

Kebutuhan sehari-hari masyarakat Bali dalam memenuhi pangan, air, dan energi disediakan dan dikelola oleh pemerintah dan pihak swasta, kecuali di desa masih ada keluarga-keluarga yang menggunakan sumber energi untuk kebutuhan masak dari alam langsung seperti kayu kering. Sementara bahan bakar minyak tanah masih menjadi kebutuhan utama bagi warga desa maupun kaum miskin di perkotaan. Rata-rata kebutuhan listrik rumah tangga menggunakan fasilitas yang dikelola pemerintah dalam hal ini perusahaan listrik negara. Sedang kebutuhan air di kota-kota di kelola pemerintah Perusahaan Air Minum (PAM), sedang di beberapa desa masih mengakses langsung dari sungai dan mata air. Desa yang kesulitan akses dari mata air atau sungai terpaksa membeli air mineral untuk kebutuhan minum sedang mandi dan cuci berharap dari air tanah. Daerah-daerah yang sering kesulitan air tawar terutama di wilayah pesisir dan daerah pegunungan kapur khususnya di daerah Bukit Jembrana.

Masalah krisis air terjadi merata di wilayah Bali, kecuali lokasi tertentu yang masih dekat danau, rata-rata debit air di sejumlah sungai, waduk, dan danau dilaporkan telah turun drastis setiap tahun khususnya bulan Agustus sampai Oktober. Menurut laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia bahwa telah terlihat sejak tahun 1995 defisit air di Bali sebanyak 1,5 miliar m³per tahun. Defisit terus meningkat hingga 7,5 miliar m³per tahun tahun 2000. Kemudian, diperkirakan pada tahun 2015 defisit air di Bali akan kekurangan air sebanyak 27,6 miliar m³per tahun. Kemudian lebih jelas lagi yang dilaporkan LP3B (Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Pembangunan Bali) bahwa satu keluarga Bali memerlukan air rata-rata 100 liter per hari, sedangkan kamar hotel membutuhkan, 200 liter per hari per kamar yang tercatat sebanyak 15.906 unit (1999) membutuhkan air rata-rata 3.181.200 liter per hari. Belum lagi jumlah kebutuhan rumah tangga mencapai 76.335.000 liter untuk 7763.550 Kepala Keluarga (KK).

Selanjutnya, menurut pengamatan Walhi Bali dari tahun 2006 – 2007 saja, sejumlah daerah tercatat mengalami krisis air, antara lain: Tirta Mas Mampeh di Kintamani, Denpasar, Negara, Batu Agung, Singaraja, Besakih (Karangasem), Semarapura (Klungkung), dan Nusa Penida. Perosalan krisis air di Bali berdampak pada kehidupan sosial. Krisis air di Bali telah memicu konflik antar warga dengan warga, petani dengan petani, petani dengan perusahaan air minum. Beberapa kasus konflik masalah air yang muncul di media lokal antara lain; ketegangan antara warga subak dengan pihak swasta di Jatiluweh, Kabupaten Tabanan. Warga subak dengan perusahaan air minum daerah (PDAM) di Yeh Gembrong, Kabupaten Tabanan. Dan, antara warga masyarakat dengan pemerintah kabupaten.Telaga Tunjung, Kabupaten Tabanan.


Masalah kelistrikan Bali. Keterbatasan energi listrik yang dimiliki Bali diatas kertas, bahwa kapasitas energi listrik Bali saat ini seluruhnya sebesar 450MW. Dari kapasitas itu sebesar 200 MW (44,14%) berasal atau dipasok dari Jawa, sedangkan kapasitas pemakaian energi listrik Bali pada saat beban puncak mencapai 332 MW. Hal itu berarti masih tersisa sebesar 118 MW, padahal keamanan dan keandalan pasokan listrik yang disalurakan ke rumah konsumen jika tersedia kapasitas dua kali lipat dari pemakaian atau beban puncak. Logikanya listrik Bali akan aman dan handal jika saat ini tersedia kapasitas sebesar 664 MW .

Persoalan dibalik keterbatasan pasokan listrik itu, angka pertumbuhan permintaan listrik di Bali tertinggi bila di bandingkan dengan daerah yang lain. Angka pertumbuhan permintaan itu mencapai rata-rata14,5% per tahun, bila mana kapasitas yang tersisa saat ini, sebesar 118 MW terus dijual kepada masyarakat maka pada tahun 2004 seluruh kapasitas itu (450 MW) akan habis terjual, sehingga pada tahun yang sama yakni 2004 jika menginginkan listrik yang aman dan handal di butuhkan listrik sebesar 900 MW. Ironisnya pada tahun 2004 Jawapun telah diprediksi akan mengalami krisis listrik sehingga ada dugaan listrik yang dipasok dari Jawa sebesar 200 MW akan ditarik. Lalu pada kondisi seperti ini pertanyaannya bagaimana Bali mempersiapkannya, sebab energi listrik dianggap kebutuhan utama untuk menggerakkan perekonomian khususnya pariwisata Bali.


(Data Base WALHI Bali; diolah dari berbagai sumber)

Saturday, December 15, 2007

Penurunan Emisi DIbahas 2009


15/12/2007 19:38 WIB

Gede Suardana - detikcom

Nusa Dua - Bali Road Map dipastikan tidak menetapkan angka penurunan emisi karbon 25-40 persen. Penurunan emisi itu dibahas dalam pertemuan di Kopenhagen tahun 2009 nanti.

"Di Bali (Road Map) tidak ada pematokan range (25-40 persen) itu karena memang tidak diusahakan. Kita jaga agar itu menjadi porsi pada tahun 2009," ungkap Presiden COP 13 Rachmat Witoelar dalam jumpa pers di auditorium BICC, Nusa Dua, Badung, Bali, Sabtu (15/12/2007).

Bali Road Map hanya berisi jalur-jalur menuju perundingan yang berikutnya. Target penurunan emisi, menurut Rachmat, perlu waktu untuk menghitungnya. "Tidak bisa dalam waktu singkat kita menghitung penurunan emisi. Diperlukan waktu tahunan. Untuk menghitungnya pun perlu niat dan kesepakatan," kata Menneg Lingkungan Hidup itu.

Bagi Indonesia, Road Map ini memiliki 4 poin. Road Map memberikan arahan untuk pelaksanaan reducing emission from deforestation and degradation (REDD), transfer teknologi, keuangan dan adaptation plan.

"Kita punya Bali Road Map dan National Action Plan. Intinya menggalang kekuatan negara maju untuk mendukung kerjasama dengan negara berkembang untuk menjaga alam akibat perubahan iklim," pungkas Rachmat. ( aba / aba )

Poin-poin Bali Road Map


15/12/2007 22:06 WIB

Arfi Bambani Amri - detikcom

Jakarta - The United Nations Climate Change Conference (UNCCC) 2007 berhasil melahirkan Bali Road Map. Road Map ini menghasilkan kesepakatan aksi adaptasi, jalan pengurangan emisi gas rumah kaca, transfer teknologi dan keuangan yang meliputi adaptasi dan mitigasi.

Berikut poin-poin Bali Road Map, seperti disampaikan juru bicara the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) John Hay dalam pernyataan tertulis yang diterima detikcom, Sabtu (15/12/2007).

Adaptasi
Negara peserta konferensi sepakat membiayai proyek adaptasi di negara-negara berkembang, yang ditanggung melalui clean development mechanism (CDM) yang ditetapkan Protokol Kyoto. Proyek ini dilaksanakan oleh Global Environment Facility (GEF).

Kesepakatan ini memastikan dana adaptasi akan operasional pada tahap awal periode komitmen pertama Protokol Kyoto (2008-2012). Dananya sekitar 37 juta euro. Mengingat jumlah proyek CDM, angka ini akan bertambah mencapai sekitar US$ 80-300 juta dalam periode 2008-2012.

Namun negara-negara peserta belum sepakat mengenai pelaksanaan praktis adaptasi, misalnya bagaimana cara menyatukan dalam kebijakan nasional. Isu ini diagendakan untuk dibahas di pertemuan selanjutnya yang disebut Badan Tambahan untuk Saran Ilmiah dan Teknis di Bonn (Jerman) pada tahun 2008.

Teknologi
Peserta konferensi sepakat untuk memulai program strategis untuk alih teknologi mitigasi dan adaptasi yang dibutuhkan negara-negara berkembang. Tujuan program ini adalah memberikan contoh proyek yang konkret, menciptakan lingkungan investasi yang menarik, termasuk memberikan insentif untuk sektor swasta untuk melakukan alih teknologi. GEF akan menyusun program ini bersama dengan lembaga keuangan internasional dan perwakilan-perwakilan dari sektor keuangan swasta.

Peserta juga sepakat memperpanjang mandat Grup Ahli Alih Teknologi selama 5 tahun. Grup ini diminta memberikan perhatian khusus pada kesenjangan dan hambatan pada penggunaan dan pengaksesan lembaga-lembaga keuangan.

REDD
Reducing emissions from deforestation in developing countries (REDD) merupakan isu utama di Bali. Para peserta UNCCC sepakat untuk mengadopsi program dengan menurunkan pada tahapan metodologi.

REDD akan fokus pada penilaian perubahan cakupan hutan dan kaitannya dengan emisi gas rumah kaca, metode pengurangan emisi dari deforestasi, dan perkiraan jumlah pengurangan emisi dari deforestasi. Deforestasi dianggap sebagai komponen penting dalam perubahan iklim sampai 2012.

IPCC
Peserta sepakat untuk mengakui Laporan Assessment Keempat dari the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sebagai assessment yang paling komprehensif dan otoritatif.

CDM
Peserta sepakat untuk menggandakan batas ukuran proyek penghutanan kembali menjadi 16 kiloton CO2 per tahun. Peningkatan ini akan mengembangkan angka dan jangkauan wilayah negara CDM ke negara yang sebelumnya tak bisa ikut mekanisme ini.

Negara Miskin
Peserta sepakat memperpanjang mandat Grup Ahli Negara Miskin atau the Least Developed Countries(LDCs) Expert Group. Grup ini menyediakan saran kritis untuk negara miskin dalam menentukan kebutuhan adaptasi. UNCCC sepakat negara-negara miskin harus didukung karean kapasitas adaptasinya yang rendah. ( aba / aba )

(sumber; detiknews.com)

AS, Jepang & Kanada Sempat Tolak Turunkan Emisi 25-40%


15/12/2007 17:41 WIB

Gede Suardana - detikcom

Nusa Dua - Alotnya perundingan UNCCC disebabkan oleh sikap keras negara-negara maju seperti AS, Jepang, dan Kanada. Mereka sebelumnya bersikeras tidak bersedia menurunkan emisi karbon sampai pada tingkat 25-40 persen.

Demikian disampaikan ketua Delegasi Indonesia Emil Salim usai AS menyatakan menyetujui konsensus yang dihasilkan UNCCC pada persidangan di BICC, Nusa Dua, Badung, Bali, Sabtu (15/12/2007).

"Negara -negara ini keberatan untuk mengurangi emisi karbon 25-40 persen hingga tahun 2020 di bawah emisi tahun 1990. Itu mengganggu kepentingan ekonomi mereka,” ungkap Emil.

Emisi karbon yang dihasilkan AS, Jepang dan Kanada saja sudah mencapai 50 persen. Rinciannya, AS menghasilkan emisi karbon sebanyak 36 persen, Jepang 18 persen dan Kanada 8 persen.

Dengan kondisi seperti itu, UNCCC tidak mungkin untuk tidak mengikutsertakan negara maju ini dalam konsensus. "Itu berarti upaya-upaya lain untuk mencegah suhu bumi tetap di bawah 2 derajat celcius tidak akan ada artinya. Jadi, mereka harus ikut dalam kesepakatan kalau tidak mau pertemuan ini gagal," ujarnya.

Perundingan antara negara maju dan negara berkembang pun menjadi alot. Untuk mencari jalan keluar, negara berkembang mengambil langkah sehingga AS melunak.

Amerika Serikat, menurut Emil, akhirnya menerima konsensus dengan syarat agar negara berkembang juga bertanggung jawab menurunkan karbon melalui pembangunan yang berkelanjutan. Untuk itu, diperlukan transfer teknologi, funding, investasi. "Sehingga lahirlah kesepakatan adaptasi fund," katanya.

Terkait teknologi transfer, dibentuk lembaga eksekutif group on teknologi transfer dan sustainable forest manajemen (SFM). Teknologi ini didasarkan atas peran hutan Indonesia yang difungsikan sebagai penyerap karbon melalui dana kompensasi reducing emission from deforestation and degradation (REDD).

AS Cs pun akhirnya sepakat mengurangi emisi di bawah 40 persen pada tahun 2020 nanti di bawah emisi tahun 1990. ( gds / aba )

(sumber: detiknews.com)

UNCCC Usai, RI Sukses Terima Dana Kompensasi REDD


15/12/2007 17:48 WIB

Fitraya Ramadhanny - detikcom

Nusa Dua - Indonesia berhasil melakukan kerja sama dana kompensasi kehutanan melalui Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD). Inggris misalnya siap mengucurkan dana untuk Indonesia.

"REDD mendapat dukungan penuh. Kita mengajak negara hutan tropis bersatu dan dapat kompensasi yang adil," kata Presiden SBY dalam jumpa pers menjelang berakhirnya Konferensi Perubahan Iklim (UNCCC) 2007 di Bali International Convention Center (BICC), Nusa Dua, Bali, Sabtu (15/12/2007).

Dengan REDD, lanjut SBY, terjadi mekanisme yang adil. Negara hutan tropis menjaga hutannya untuk menyerap emisi karbon dari negara maju, sebaliknya negara maju memberikan bantuan dana kepada negara hutan tropis. "Ada hitungan ekonominya, transfer teknologi. Kita mendapat untung dari pengaturan reforestasi ini," kata SBY yang terlihat gembira, meski tampak lelah. Menurut SBY, negara Inggris menjadikan Indonesia sebagai kandidat kuat mendapatkan US$ 30 juta melalui Forest Carbon Partnership Facility (FCPF). Inggris juga telah menyiapkan US$ 1,6 miliar melalui Environmental Transformation Fund (ETF) untuk mendukung mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang. Sedangkan Inggris pada 2007 telah memberikan US$ 500.000 untuk mendukung kerja Indonesia Forest Climate Alliance dan memberikan komitmen US$ 10 juta untuk mendukung multistakeholder forestry program.

Dengan suksesnya REDD, pemerintah akan menjalankan manajemen pengolahan hutan dengan lebih baik. "Hutan tanahamn industri (HTI) tetap ada, namun konservasi tetap dilakukan. Para gubernur telah melaporkan kepada saya konsep untuk menjaga hutan. Hutan tidak dirusak, tapi tetap bisa digunakan," jelas SBY.

Konferensi Perubahan Iklim masih menggelar pertemuan hingga pukul 18.45 Wita. Pertemuan hanya menyusun redaksi deklarasi Bali Road Map. Konferensi akan ditutup secara resmi malam ini. ( asy / asy )

(sumber: detiknews.com)

Friday, December 14, 2007

Deklarasi Masyarakat Sipil Untuk Keadilan Iklim


Kami masyarakat sipil percaya bahwa alam ini menghasilkan cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang tetapi tidak akan pernah cukup untuk memenuhi keserakahan satu orang saja. Perubahan iklim merupakan hasil dari konsumsi yang berlebihan atas sumberdaya alam dan energi yang tidak berkelanjutan dan tidak adil. Perubahan Iklim adalah bukti nyata dari gagalnya model pembangunan yang menggunakan pendekatan ekonomi dengan mengabaikan aspek sosial dan juga aspek lingkungan hidup.

Bahwa selama ini sumber daya alam di negara berkembang dikeruk untuk memenuhi pasar di negara maju sehingga melahirkan kerentanan-kerentanan ekologi di negara bersangkutan.

Bahwa kami masyarakat sipil di negara berkembang menjadi korban dari dampak perubahan iklim, sebaliknya negara maju kurang cukup bertanggung jawab untuk menurunkan emisi gas rumah kacanya dan justru menyerahkan penyelesaian masalah perubahan iklim dengan berbagai skema yang berbasis pasar. Sudah barang tentu skema ini tidak akan menjawab permasalahan, karena pasar hanya tahu bagaimana mendapatkan keuntungan ditambah lagi sistem perdagangan global saat ini sangat tidak setara dan tidak adil.

Untuk itu, kami masyarakat sipil menyerukan:

Kepada delegasi dalam Konferensi PBB Mengenai Perubahan Iklim untuk kembali pada akar permasalahan perubahan iklim yakni dengan jalan menuntut negara maju menurunkan emisi secara signifikan;

Dalam melakukan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim setiap negara harus menghormati hak asasi manusia dan keadilan lingkungan khususnya hak masyarakat adat, perlindungan sumber kehidupan petani, nelayan dan perajin, keadilan gender, hak pemuda untuk bersuara.

Negara maju berdasarkan perjalanan sejarah emisi pencemarannnya wajib untuk memberikan kompensasi dan dana adaptasi kepada negara-negara berkembang berdasarkan tanggungjawab atas hutang ekologis, sosio cultural dan bukan sebagai bentuk ’kedermawanan’ ataupun mendapatkan ’surat ijin’ untuk tetap mencemari atmosfir;

Mengajak seluruh umat manusia mendukung dan menghargai upaya kearifan masyarakt Bali yang bersumber dari filosofi Tri Hita Karana dan satu bentuk kegiatan kolektif yang berkaitan dengan pemeliharaan lingkungan dengan menetapkan tanggal 21 Maret sebagai Hari Nyepi (Hari Hening, the Silent Day), dimana seluruh masyarakat dunia bisa berkontribusi mengurangi emisi gas rumah kaca dengan menghentikan kegiatan serta konsumsi energi dan sumber daya alam selama satu hari penuh.

Bali, 8 Desember 2007

Thousands March Against REDD


National News - December 09, 2007
Luh De Suryani, Contributor, Denpasar, Bali

More than 2,000 members of local and international civil society organizations gathered at Bajra Sandhi park in Puputan Renon, Denpasar, on Saturday morning to protest against the proposed carbon trade scheme known as REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation).

"REDD no, climate justice yes," shouted Nyoman Sri Widhiyanti, director of the Bali branch of the Indonesian Forum for the Environment (Walhi), as she lead the march.
Nyoman said the carbon trading scheme would only benefit developed countries and large-scale corporations.

"This is an unjust scheme for indigenous communities in developing countries," she said.
"Stop talking about business, think and talk about the fate of the local people," said a representative from the Indonesian Alliance for Indigenous Communities (AMAN).
The Saturday gathering involved AMAN members, as well as farmers, craftsmen and fishermen, and members from traditional communities, an international farmer's network, the Korean youth forum, Greenpeace, Via La Campasina and many others.
The group marched from the Bajra Sandhi Monument in Renon, Denpasar, for almost an hour to reach the Bali Provincial Legislative Council building.
Hildebrando Velez G, a speaker from Via La Campesina, said climate justice was a more important issue than climate change.

"The Latin American countries and other developing countries in the world must wake up ... and fight against capitalism, which endangers people's rights," Velez said.

Chalid Muhammad, executive director of Walhi, said talks, discussions and negotiations at the current UN conference on climate change in Nusa Dua had so far only focused on trade issues rather than climate justice.

Taufiqurohman, a 72-year-old farmer from Bandung, took part in the activity.
"I lost 26 family members in the landslide at Leuwigajah dump site in Bandung, West Java, which claimed 153 lives," he said.

The Bandung administration and other provincial administrations in Indonesia have failed to successfully manage garbage disposal.

"They don't care about people living adjacent to dump sites," he said.
Taufiqurohman and others questioned the ability of the Indonesian government to handle the delicate and complicate carbon trade scheme.

"How can Indonesia deal with such a difficult thing?" argued Chalid, adding the garbage issue alone was a never-ending problem for many cities in Indonesia.
Kartini, a lecturer from Udayana University, criticized the Indonesian government's agriculture policy, which she said affected farmers, and more importantly, the environment.

"The government has long been pushing farmers to use chemicals to boost their harvests," she said.
As a result, she said, the once fertile farming lands in many parts of Indonesia are now saturated with heavily toxic substances that can adversely affect people's health and the ecosystem.
The gathering involved numerous public figures such as actress-turned-activist Rieke Dyah Pitaloka, presenter Tantowi Yahya, singer Franky Sahilatua and other celebrities.

"This is the right moment for Balinese people and other people around the country to voice their opinions," Widhiyanti said.

Chalid added the aim of the gathering was to put strong public pressure on all leaders and policy makers at the UN conference.

Monday, December 3, 2007

Konferensi Perubahan Iklim
Nyepi 1 Menit Saat Konferensi


Gede Suardana - detikcom

Jakarta - Video berisi rekaman prosesi perayaan Nyepi di Bali diputar dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB/United Nations Climate Change Conference (UNCCC). Delegasi dari asing banyak yang terkaget-kaget. Namun ada juga yang terinspirasi untuk mengaplikasikan di negaranya.

Tayangan tentang nyepi tersebut diputar selama 1 menit di Bali International Convention Center (BICC), Nusa Dua, Bali, Senin (3/12/2007). Saat tayangan diputar, suasana BICC, tempat berlangsungnya konferensi, menjadi hening. Para delegasi larut menyaksikan tayangan yang menampilkan suasana Nyepi di Bali.

Video memperlihatkan betapa sunyinya Bali saat perayaan Nyepi. Suasana jalan raya, laut dan perkotaan sepi. Tidak ada aktivitas warga dan kendaraan yang lalu lalang.

Rupanya delegasi asing tertarik dengan tayangan Nyepi tersebut. Mereka pun menanyakan lebih jauh soal nyepi yang saat ini diusulkan Bali agar diputuskan konferensi sebagai salah satu solusi untuk mengurangi emisi Co2. I Made Suwarnata, delegasi dari LSM Wisnu misalnya, banyak ditanya delegasi asing soal Nyepi tersebut. Delegasi asing dari Brazil, Afrika dan Perancis memberikan tanggapan beragam. Ada delegasi yang belum bisa membayangkan bagaimana jika Nyepi diterapkan di negaranya. "Mereka bertanya, jika itu terjadi di negara saya, apa yang harus saya lakukan selama sehari?" tutur Suwarnata.

Seperti diketahui, dalam perayaan Nyepi ada empat larangan yang tidak boleh dilakukan. Larangan itu yaitu, tidak keluar atau bepergian, tidak nonton atau tidak menikmati hiburan, tidak makan dan tidak menyalakan api atau listrik.

Sementara delegasi Brazil setuju dengan Nyepi dijadikan sebagai salah satu solusi untuk mengurangi emisi Co2. "Oh saya suka dengan ide nyepi itu," ucap Suwarnata menirukan pernyataan delegasi Brazil. Ada juga delegasi yang tidak setuju dengan Nyepi. Mereka berpendapat negaranya bisa rugi besar jika dalam satu hari memberlakukan Nyepi. Atas ketakutan akan kerugian tersebut, Suwarnata menjawab, "tidak apa rugi satu hari, daripada dunia kiamat akibat efek climate Change. (iy/iy)

sumber : www.detiknews.com

UNFCCC Korbankan Kawasan Bebas Polusi

NUSA DUA, SENIN - Konferensi PBB tentang perubahan iklim (UNFCCC) di Hotel Westin, Nusa Dua, Bali, yang dimulai Senin (3/12) pagi, mengorbankan kawasan bebas polusi demi kenyamanan tamu. Mobil-mobil peserta dan pengantar delegasi dibolehkan masuk ke kawasan yang semula direncanakan sebagai kawasan bebas polusi.
Ribuan peserta dan delegasi UNFCCC dari 185 negara, semula hanya akan diturunkan di pintu masuk utama dan melanjutkan perjalanan ke tempat konferensi menggunakan sepeda pancal.
Namun, rencana itu batal dan panitia mengizinkan kendaraan melaju hingga gerbang Hotel Westin dan BICC/Nusa Dua Beach, dan para delegasi cukup berjalan kaki beberapa ratus meter.
Menurut panitia, pemberlakuan konsep itu demi kemudahan peserta dan merespon kekhawatiran terjadinya keluhan tamu hotel di Nusa Dua. "Mau bebas polusi bagaimana? Yang penting sudah ada gerakan moral untuk itu. Di dalam kawasan ini banyak peralatan menghasilkan polusi, seperti AC, listrik dan di mana-mana merokok," komentar Dirjen Sarana Komunikasi & Desiminasi Informasi Depkominfo, Freddy H Tulung. (ANTARA/IMA)

Nyepi sebagai Tawaran Mengurangi Emisi secara Global
Oleh : Anton Mujahir / http://rumahtulisan.wordpress.com/

United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) memang digelar di Nusa Dua, Bali. Namun, masyarakat Bali hanya jadi penonton. Tidak banyak yang bisa disuarakan masyarakat Bali dalam konferensi yang dihadiri sekitar 10.000 orang dari 180 negara itu. “Karena itu kita perlu merebut perhatian dalam konferensi itu,” kata Ngurah Karyadi, salah satu aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Bali.
Sejumlah aktivis LSM kemudian bertemu. Secara simultan mereka berdiskusi tentang apa yang bisa dilakukan agar suara Bali terdengar, tidak hanya sekadar tempat bertemunya berbagai kepentingan. Dari situ, muncullah ide LSM-LSM dari berbagai latar belakang itu untuk membentuk kolaborasi.
Kolaborasi itu dimulai dari diskusi tentang perubahan iklim yang diadakan Walhi Bali, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, Bali Organic Association (BOA), dan Yayasan Wisnu Oktober lalu. Salah satu usul yang terus didiskusikan adalah upaya untuk mengangkat local genius Bali dalam konferensi di Nusa Dua tersebut sebagai antisipasi pemanasan global.
Kearifan lokal Bali yang dianggap bisa mengurangi pemanasan global itu misalnya konsep Tri Hita Karana dan hari Nyepi di dalamnya. “Nyepi terbukti bisa mengurangi emisi gas rumah kaca,” kata Direktur Walhi Bali Ni Nyoman Sri Widhiyanti.
Upaya memasukkan Nyepi sebagai salah satu agenda pebicaraan di UNFCCC dilakukan melalui jalur formal. Beberapa LSM yang bisa masuk dalam perundingan itu telah dilobi untuk membahas usulan tersebut. Salah satunya adalah Third World Network (TWN) yang mempunyai satu sesi khusus di konferensi tersebut.
Hira Jhamtani, aktivis TWN yang juga bergabung dalam Kolaborasi LSM untuk Perubahan Iklim menyampaikan usulan itu pada Side Event UNFCCC di Grand Hyatt Nusa Dua Senin (3/12). Menurut Hira, secara matematis Nyepi di Bali bisa menurunkan emisi hingga 20 ribu ton.
Data itu diperoleh dari perhitungan berikut. Pada tahun 2005 di Bali ada terdapat sekitar 1.008.000 sepeda motor. Jika diasumsikan 1 sepeda motor mengkonsumsi 4 liter bensin sehari, berarti bensin yang digunakan adalah 4.032.000 liter. Jika pembakaran satu liter bensin menghasilkan 2,4 kg CO2, maka emisi yang dihasilkan 9.676.800 kg CO2. Diperkirakan ada 200.000 mobil rata-rata mengkonsumsi 10 liter bensin, jadi 2 juta liter bensin seluruhnya. Artinya emisi yang dikeluarkan adalah 4,8 juta kg CO2.
Selain itu, sekitar 80 pesawat terbang beroperasi setiap hari di bandara Ngurah Rai Bali, dan mengkonsumsi bahan bakar avtur 1600 kiloliter. Dengan asumsi bahwa 1 liter avtur melepaskan 2,4 kg CO2, maka emisi yang dihasilkan adalah 3,840 ton CO2.
Jadi pelepasan karbon dari mobil, sepeda motor dan avtur pesawat di Bali per hari sekitar 17.316 ton CO2. ”Ini perkiraan terendah sehingga diperkirakan minimum penghematan emisi adalah 20 ribu ton. Itu belum termasuk penghematan emisi dari kapal-kapal feri di dua pelabuhan penyeberangan, dan penggunaan energi untuk industri serta pembangkit listrik,” lanjut Hira.
Selain jalur resmi, upaya mengangkat Nyepi sebagai hari internasional mengurangi emisi juga dilakukan melalui jalur informal. “Salah satunya adalah parade budaya ini,” ujar Aik, panggilan akrab Sri Widhiyanti.
Agar lebih besar gaungnya, kolaborasi kemudian diperlebar dengan melibatkan lebih banyak LSM. Parade itu akan menampilkan berbagai bentuk kesenian dari tradisional hingga rock and roll.
Dalam acara sehari penuh ini akan dibacakan Deklarasi Masyarakat Sipil Bali yang salah satunya menawarkan agar Hari Raya Nyepi bisa digunakan sebagai momen internasional untuk mengistirahatkan bumi.
Selain deklarasi, acara yang rencananya akan dihadiri 1000 orang dari berbagai latar belakang seperti buruh, tani, nelayan, aktivis LSM, mahasiswa, dan masyarakat lain itu juga diisi berbagai bentuk kesenian.
Ada kesenian tradisional Bali seperti joget bumbung dan bondres. Ada pula band-band seperti Naviculla, Ed Eddy & Resedivis, Joni Agung, Nanoe Biroe, Balawan, dan lain-lain yang mewakili berbagai aliran musik dari rock, pop, jazz, hingga reggae.
Tidak hanya kesenian lokal Bali. Sejumlah seniman dari berbagai daerah di Indonesia pun akan hadir. Bahkan ada pula penampilan khusus dari Indian Cultural Center di Bali.
Parade itu semakin lengkap karena akan diikuti pula dengan Pasar Rakyat yang akan diisi berbagai produk murah yang dihasilka berbagai kelompok masyarakat.
“Parade ini sekaligus sebagai tempat alternatif bagi seluruh kelompok sipil di Bali yang ingin berkontribusi pada isu perubahan iklim,” kata Aik.
Di luar isu Nyepi, Parade Budaya juga menampilkan sejumlah kegiatan yang relevan dengan isu lingkungan. Misalnya Pasar Rakyat sebagai upaya untuk memperkenalkan produk lokal. “Makin banyak orang menggunakan produk lokal, maka akan makin sedikit ketergantungan kita pada negara maju penghasil emisi terbesar di bumi,” kata Komang Adi, dari Yayasan Mitra Bali yang mengurusi pameran tersebut
(http://www.balebengong.net/2007/12/03/nyepi-sebagai-tawaran-mengurangi-emisi-secara-global/)