Teman-teman ED and anggota WALHI,
Saya yakin sebagin besar teman2 tau bahwa Indonesia akan menjadi tuan
rumah bagi pertemuan PBB mengenai Climate Change (Perubahan Iklim) di
Bali tanggal 3-14 Desember nanti.
Selain semakin parahnya dampak dari krisis iklim saat ini, pertemuan
ini juga sangat penting karena pertemuan ini akan membahas
kesepakatan2 baru paska 2012-- setelah kesepakatan yang diatur oleh
Protokol Kyoto selesai.
Kecenderungan utama dari rencana kesepakatan2 ini adalah 'perdagangan
emisi', penggunaan kawasan hutan sebagai penstabil iklim, adaptasi
dari perubahan iklim dan lain2. Semua ini akan sangat berdampak pada
negara2 Selatan, khususnya Indonesia, dalam jangka panjang, dan akan
memberi keleluasaan atau hak bagi negara2 industri untuk melanjutkan
pencemaran atmosfir.
Pemerintah, media, dan ornop sedunia akan mencurahkan perhatiannya
pada pertemuan ini nanti, dan hanya hanya ada satu cara untuk
membendung kecenderungan ini, yaitu membangun sebuah blok global yang
menuntut bahwa hanya melalui pengurangan emisi yang lebih
progresif-lah katastropi (bencana) perubahan iklim dapat dicegah,
bukan melalui berbagai skema2 manipulatif yang menempatkan negara2
Selatan sebagai penyerap karbon global, sementara negara2 industri
terus dapat menikmati tingkat konsumtif mereka sambil terus mencemari
atmosfir.
Aksi global ini juga menuntut negara2 industrilah yang mengeluarkan
paling banyak gas rumah kaca-lah yang harus paling bertanggung- jawab
untuk mengatasi masalah perubahan iklim ini.
Berbagai organisasi gerakan lingkungan dan sosial sedang menyiapkan
sebuah hari aksi internasional pada hari Sabtu 8 Desember 2007! Aksi
ini akan berlangsung di kota2, desa2, di jalan2 di seluruh dunia
(www.globalclimatec ampaign.org )
Mudah2an teman tertarik untuk mengorganisir aksi serupa di kota2, dan
ingin agar aksi tersebut menjadi bagian dari aksi global. Kita
sedang berupaya agar seluruh aksi lokal ini menjadi sebuah kekuatan
global yang sangat kuat. Kita ingat bahwa seluruh gerakan lingkungan
yang utama hanya berhasil bila seluruh aktivis dan orang2 melakukan
aksi di jalan.
Aksi ini tidak perlu memobilisasi ratusan orang, tetapi cukup dengan
aksi kecil tetapi yang sangat kreatif dan mampu mengirim pesan yang
jelas bagi media. Dengan strategi media yang baik dan aksi yang
kreatif, kita bisa (melalui media) menjangkau orang dan politis,
pengambil keputusan.
Bila teman2 tertarik, silahkan menghubungi saya (ginting@foei. org).
Salam hormat,
Ginting
Friends Of The Earth International
Wednesday, August 29, 2007
Seruan: BERSIAP UNTUK GLOBAL DAY OF ACTION!!!
Posted by WALHI BALI at 6:52 PM 0 comments
Indonesia Akan Mengalami Kegagalan Technology Untuk Kedua Kalinya??
Oleh:
Ketut S Astawa
Energi, kebutuhan dan kenyataan
Kebutuhan akan Energi saat ini menjadi perhatian serius masyarakat dan Pemerintah Indonesia sebab dengan biaya produksi yg tinggi menyebabkan mahalnya harga energy (listrik, gas dll) yang dibebankan kepada pemakai (pelanggan). Masalah ini sebenarnya terjadi diseluruh dunia, khususnya di negara2 Eropa dan Amerika yang memakai energi lebih banyak dari belahan dunia yg lain. Namun disamping itu ada beberapa masalah yg lebih serius yg dihadapai masyarat dunia dewasa ini, yakni masalah global warming (pemanasan iklim gobal ) yakni iklim dunia yg sangat ekstrem dan level Emisi Carbon yg sudah sangat tinggi dari penggunaan Fosil energy selama ini.
Para ahli bersama organisasi-organisasi dunia beserta badan-badan PBB telah berusaha menghambatnya dgn berbagai kebijakan-kebijakan lingkungan, yg salah satunya (sangat penting di bidang Energi) adalah ‘Kiyoto Protocol’. Kebijakan ini memberikan ketegasan yang luarbiasa kepada Negara-negara dunia utk mengurangi secara keras produksi serta penggunaan Fosil energi di dunia, dan menggantikannya dengan energi yang betul betul ramah lingkungan dan keberadaannya sangat melimpah di dunia.
Potensi Solar Cell sebagai energi terbaharukan
Eropa telah mencanangkan pengunaan renewable energi sekitar 25% dari seluruh kebutuhan energinya pada tahun 2025, begitu pula Amerika dan Canada yg tengah gencar mengkampanyekan penggunaan renewable Energi untuk masyarakatnya. Kebijakan ini telah menjadikan produksi berskala besar akan power plan2 berbasis renewable energi. Perusahaan2 otomotif sedang berlomba lomba mencipkan mesin berbasis power gen. Inggris misalnya terus berlomba membangun wind farm di pesisir barat pantai Wales sampai Scotland, disamping tengah membangun tower lepas pantai utk energy gelombang laut. Sedangkan German dgn Amerika menjalankan program 1juta roof (install solar cell). Mei lalu misalnya Goesol dan SWE-Scotts (salah satu solar cell manufactur terbesar di German) bersama Germany government telah menginstall 20MW solar cell power plan di Leipzig German, dan akan dikembangkan sampai 50MW. Jepang sebagai negara terdepan didunia dalam hal memproduksi dan memakai solar cell bahkan telah mengambil pajak keuntungan mulai 2003 lalu dari setiap penggunaan solar cell masyarakatnya, setelah bertahun-tahun semenjak tahun 80-an mensubsidi bear-besaran untuk penggunaan solar cell, baik untuk research maupun menyebaran informasi pada masyarakatnya.
Di kawasan asia (selain jepang yg telah memiliki puluhan solar cell manufacture besar) pertumbuhan solar cell manufacture seperti jamur dimusim hujan, di China tidak kurang puluhan solar cell manufacture yg tengah pemproduksi rata-rata 20-50 MW solar panel pertahunnya, India memiliki tidak kurang 8 solar cell manufature yang telah berproduksi mulai pertengahan tahun 90-an. Di Asia Tenggara Indonesia termasuk yg paling terbelakang, sebab tercatat Thailand telah mengembangkan Solar cell dan memiliki 3 manufature dgn capasitas produksi 15-20 MW pertahun, Philipina mendapat kesempatan mengembangkan Solar cell, dimana UNI Solar USA, telah memindahkan salah satu cabang manufacture dari Amerika dan mulai pertengahan tahun ini telah diharapkan mampu memproduksi 25-30 MW solar cell pertahun. Malaysia tidak mau ketinggalan satu manufacture solar cellnya telah memproduksi 15MW per tahun dan satu manufacture lainnya tengah dikerjakan untuk produksi sekitar 30MW pertahun. Indonesia sangat jauh dalam hal ini, dengan kebijakan pemanfaatan renewable yg hanya 4% dari total kebutuhan energynya oleh kementrian Energy dan Sumber daya mineral, tampak jelas kita seakan kurang peduli akan hal ini.
Potensi dan posisi Indonesia
Dimana posisi kita?, hal ini telah dikawatirkan Prof. Welson Wenas, staff pengajar physic department ITB, bahwa Indonesia akan kembali kehilangan kesempatan untuk mengembangkan technology, setelah di tahun 80-an dimana putra2 bangsa telah mampu menguasai mobile technology (cellular mobile phone technology), namun karena kebijakan pemerintah yg kurang berpihak di bidang ini maka kita akhirnya hanya menjadi target market mobile phone, sehingga sampai sekarang kita hanya bisa konsumtif di bidang ini. Kini, Technology Solar cell kembali akan perpeluang menjadi kegagalan bangsa Indonesia setelah seluruh negara2 tetangga kita mengembangkannya. Akan sangat menyedihkan bila ahli2 dan putra2 bangsa terbaik yg telah mendapat menghargaan international seperti prof. Welson Wenas mendapat paten atas penemuan performance Amorphous-Sillicon (kerjasama dgn Kaneka Jepang, dimana sebagai salah satu manufacture solar cell terbesar di dunia), serta banyak ahli2 serta putra2 bangsa yang handal di bidang ini yg sampai saat ini justru dimanfaatkan kemampuannya oleh negara2 tetangga kita.
Sebetulnya Kita bisa memulainya dengan penyebaran luasan informassi yg benar akan potensi ini. Seperti yg telah dilakukan di Jepang di awal tahun 80-an. Dinama masyarakatnya akhirnya sadar dan mengerti bagaimana akan manfaat solar cell ini, sehingga kini masyarakat Jepang menggunakan solar cell untuk perumahannya sebagai suatu hal yg wajib. Gedung-gedung pemerintahan, sekolah2 serta pusat2 pelayanan masyarakat menggunakan solar cell sebagai sumber pembangkit listrik yg handal, sangat umum kita saksikan gedung2 dengan technology BIPV (building intergrated photovoltaic) yang menginstall solar panel sebagai pengganti kaca untuk, dinding, jendela2 serta kaca2 pintunya.
Tuhan Maha adil, bila di Kutub Utara dan selatan di ciptakan hembusan angin diatas 3.5m/dt yang memungkinkan negara2 di belahan ini mengoptimalkannya sebagai pembangkit listrik, maka untuk daerah2 dikawasan dekat dengan equator (sedikit hembusan anginnya /dibawah 3 m/dt) Irradiance matahari lah yang melimpah. Indonesia berada di kawasan ini dimana Irradiance sebesar rata-rata 200-250 W/m2 selama setahun, atau sebesar rata2 800-1100 W/m2 dalam masa penyinaran, dgn Jam penyinaran yg tinggi hampir 14 Jam dalam sehari, menjadikan potensi ini sangat luarbisa.
Potensi Solar Cell di Bali
Sebagai daerah tujuan pariwisata Bali sangat berpotensi mengembangkan technologi ini. Seperti yg telah di kembangkan oleh Sidney, di tahun 2000 bertepanan saat Negara ini menjadi tuan rumah olimpiade, dimana Sidney mengclaim sebagai kota yang bersih lingkungan dan Clean Energy pula. Tampak jelas disetiap sudut kotanya menggunakan solar cell untuk pembangkit listrik. Dari traffic light, penerangan jalan, logo2 , penunjuk jalan sampai solar panel yang di install secara luas di dinding juga jendela gedung-gedung pusat layanan dan pemerintahan, juga hampir di setiap pertokoannya. Sehingga Image Clean city, dengan Clean Energy semakin kuat untuk Sydney dan ini sangat menguntungan Sidney sebagai kota tujuan wisata di tengah issue dan campanye zero Carbon emission di negara2 barat sangat kencang saat ini. Kondisi ini bisa kita tiru untuk menguatkan isu Bali yang berbudaya serta bersih dan bebas carbon emission dengan clean energynya. Sehingga Best Island in the world ( versi travel leisure magazine ) yg tahun ini kembali didapat semakin kuat imagenya di dunia.
Disisi lain sebetulnya kita bisa bekerja bersama dgn PLN, dimana selama ini kita senantiasa menudingnya dan menyalahkannya bila terjadi pemadaman atau kegagalan energy listrik. Padahal bila kita lihat secara fair, PLN selama ini bekerja sendirian utk pembangkitan, distribusi juga maintenance energy listrik di Tanah Air. Alangkah bijaksananya bila kita bersama bisa mengurangi beban PLN dgn membangkitkan listrik sendiri dgn stand alone (solar cell utk perumahan), juga bila kita mampu menginsatll untuk gedung2 pemerintahan, public service menggunakan solar cell, yang katakanlah mengurangi sampai separuh kebutuhan listriknya. Maka PLN akan memberikan lebih banyak powernya kepada pabrik2 produksi yang menjadi salah satu kendala di dunia investasi selama ini. Juga adalah sangat mahal biaya yg harus ditanggung PLN bila harus menyediakan listrik bagi suatu daerah kecil dengan demand yg kecil dan relative jauh dalam supply /distribusi listriknya, dan juga maintenancenya.
Maka Solar Cell sekali lagi menjadi pilihan yg sangat bijaksana dalam hal ini. Kita bisa mengikuti Jepang dgn mengkampanyekan potensi ini, dari masyarakat, pemerintah daerah, sampai masyarakat ilmiah (kampus). Dan saatnya para penggembang memberikan pilihan akan perumahan dgn instalasi solar cell. Baik untuk sebagian suplai energynya (atau bahkan seluruhnya), atau bahkan sampai kebutuhan akan penerangan kawasan lingkungan dan areal public servicenya.
Potensi ini akan terus berkembang dan akhirnya akan memberikan banyak manfaat, disamping Lingkungan, energy untuk masyarakat, juga akan membuka lapangan kerja bagi pengadaan solar cell, instalasi, maintenance, dan yang pasti para ahli dan kampus akan dituntut terus untuk mengembangkan technolgi ini agar semakin efesien, murah, mudah dalam installasi dan maintence serta tentunya lasting for so long (umur pakai yg lama).
Ketut S astawa
(Staff FT UNUD yg sedang menempuh study Doctoral)
CREST (Center Renewable Energy System and Technology)
Loughborough University
UK
Posted by WALHI BALI at 6:20 AM 0 comments
Tuesday, August 28, 2007
Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim KLH
RENCANA AKSI NASIONAL DALAM
MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM
Kementerian Negara Lingkungan Hidup
Juli 2007
DAFTAR ISI
BAB I LATAR BELAKANG
1.1 Kekhasan Indonesia dalam Konteks Perubahan Iklim
1.2 Status Krisis Sosial Ekologis Indonesia Sekarang
1.2.1 Kerusakan ekologis
1.2.2 Sumber daya air
1.2.3 Sektor perumahan dan pemukiman
1.2.4 Sektor energi
1.2.5 Sektor kehutanan
1.3. Komitmen Indonesia Menjaga Iklim Global melalui Penandatanganan Konvensi Perubahan Iklim dan Ratifikasi Protokol Kyoto
BAB II TUJUAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN NASIONAL DALAM RANGKA ANTISIPASI PERUBAHAN IKLIM
2.1 Pola Pembangunan Sampai dengan Sekarang
2.2 Tujuan Pembangunan Nasional dengan Agenda Antisipasi Perubahan Iklim
2.3 Prinsip Pengelolaan Pembangunan Nasional
2.4 Kerangka Waktu Strategi dan Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional
2.5 Strategi Spesifik untuk Wilayah Kebijakan Kunci
2.6 Sektor-Sektor Produksi dan Pengurusan Publik Utama
2.7 Kondisi keterbatasan waktu dan skala ruang dari RAN serta cakupan kebutuhan untuk integrasi kebijakan
BAB III RENCANA AKSI NASIONAL UNTUK MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
3.1 Mitigasi
3.1.1 Sektor Energi
3.1.2 Sektor Kehutanan
3.2 Adaptasi
BAB I
LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia terdiri dari 17.500 pulau, terletak antara 06°08’ Lintang Utara - 11°15’ Lintang Selatan, dan antara 94°45’ - 141°05’ Bujur Timur. Luas Indonesia meliputi 3,1 juta km2 wilayah perairan (62% dari total luas) dan sekitar 2 juta km2 wilayah daratan (38% dari total luas), dengan panjang garis pantai 81.000 km. Jika Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km2 dimasukkan area teritorial total Indonesia menjadi 7,8 juta km2.
Keseluruhan wilayah kepulauan rentah terhadap gempa bumi dan gelombang pasang. Hal ini disebabkan karena posisi dua paparan, Paparan Sunda, yang merupakan kelanjutan daratan Asia, dan Paparan Sahul, yang merupakan bagian dari gabungan Australia dan New Guinea. Kedua paparan ini membelah kepulauan menjadi tiga kelompok pulau-pulau. Jawa, Sumatera dan Kalimantan berada di atas Paparan Sunda, mulai dari pantai Malaysia dan Indo China. Kedalaman laut di paparan ini tidak lebih dari 233 meter. Irian Jaya dan Kepulauan Aru berada di atas Paparan Sahul, yang juga memilii kedalaman sekitar 233 meter. Kelompok kepulauan Nusa Tenggara, Maluku dan Sulawesi berada di antara Paparan Sunda dan Sahul, dengan kedalaman lebih dari 5000 meter.
Hasil kajian IPCC - Inter-Governmental on Climate Change - (2007) terkini menunjukkan bahwa sejak tahun 1850 sebelas dari dua belas tahun terakhir (antara tahun 1995-2006) merupakan tahun-tahun terpanas. Kenaikan temperatur total dari 1850 sampai 2005 adalah 0,76 derajat C. Dan muka air laut rata-rata global telah meningkat dengan laju rata-rata 1,8 mm per tahun dalam rentang waktu antara 1961 sampai 2003. Kenaikan total muka air laut yang berhasil dicatat pada abad ke-20 diperkirakan 0,17 m. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa kegiatan manusia ikut berperan dalam pemanasan global sejak pertengahan abad ke-20. Pemanasan global tersebut akan terus meningkat dengan percepatan yang lebih tinggi pada abad ke-21 apabila tidak ada upaya menguranginya. Pemanasan global tersebut mengakibatkan perubahan iklim dan kenaikan frekuensi maupun intensitas iklim ekstrim. IPCC menyatakan pula bahwa pemanasan global dapat menyebabkan terjadi perubahan yang signifikan dalam sistem fisik dan biologis.
Tidak adanya upaya yang sistematis dan terintegrasi yang dilakukan dari sekarang untuk meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim dan perbaikan kondisi lingkungan lokal dan global, maka dampak yang ditimbulkan akibat adanya variabilitas iklim ke depan akan semakin besar dan akan berdampak pada sulitnya mencapai sistem pembangunan yang berkelanjutan. Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan yang mendasar dalam sistem perencanaan pembangunan. Masalah variabilitas iklim saat ini dan mendatang harus dijadikan sebagai salah satu peubah penting dalam menentukan dasar-dasar perencanaan pembangunan nasional baik jangka pendek, menengah maupun panjang.
Penanganan perubahan iklim dalam konteks pembangunan membutuhkan manajemen variabilitas iklim secara efektif, dan pada saat bersamaan mengantisipasi dampak perubahan iklim global jangka-panjang secara komprehensif. Juga membutuhkan pendekatan lintas-sektor baik pada tingkat nasional, regional, maupun lokal. Dalam menghadapi perubahan iklim, peningkatan ketahanan sistem dalam masyarakat untuk mengurangi resiko bahaya perubahan iklim dilakukan melalui upaya adaptasi dan mitigasi. Adaptasi merupakan tindakan penyesuaian sistem alam dan sosial untuk menghadapi dampak negatif dari perubahan iklim. Namun upaya tersebut akan sulit memberi manfaat secara efektif apabila laju perubahan iklim melebihi kemampuan beradaptasi. Oleh karena itu, adaptasi harus diimbangi dengan mitigasi, yaitu upaya mengurangi sumber maupun peningkatan rosot (penyerap) gas rumah kaca, agar supaya proses pembangunan tidak terhambat dan tujuan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai. Dengan demikian, generasi yang akan datang tidak terbebani lebih berat oleh ancaman perubahan iklim dalam kelanjutan proses pembangunan selanjutnya.
1.1 Kekhasan Indonesia dalam Konteks Perubahan Iklim
Indonesia memiliki kekhasan corak geo-bio-sosial yang menjadikannya sangat peka terhadap perubahan iklim. Ekosistem terestrial, pesisir, pulau-pulau, dan kelautan Indonesia beserta keragaman hayatinya yang tinggi sangat rentan pada perubahan dalam variabel-variable klimatik, termasuk gejala cuaca dan iklim ekstrim, naiknya permukaan air laut, serta tingginya kandungan karbon atmosferik. Besaran dan sebaran penduduk beserta keragaman sejarah sosialnya – lebih dari setengahnya masih sangat bergantung pada layanan alam dari sumber daya hayati untuk nafkah dari pertanian, perhutanan, perikanan – dengan sistem kota yang sebagian besar berada pada sabuk pesisir dan dataran rendah, menjadikan Indonesia pada posisi genting di hadapan perubahan iklim.
Dalam satu generasi terakhir, pembangunan ekonomi dan perubahan sosial yang didorongnya juga telah memperumit duduk-perkara kemiskinan, khususnya dengan model pembiayaan pembangunan lewat hutang dan pengurasan sumber-daya alam. Sumbangan Indonesia yang tidak kecil dalam emisi karbon lewat perubahan tata-guna tanah dan kegiatan ekonomi khususnya di sektor kehutanan dan pertanian, berkaitan erat dengan merosotnya kualitas hidup di wilayah pedesaan di tengah modalitas perluasan ekonomi seperti sebelumnya. Apa dan bagaimana kaitannya antara emisi karbon dengan kualitas hidup—kalimat ini membingungkan apa maksudnya?
Secara umum seluruh wilayah Indonesia akan mengalami kenaikan temperatur dengan laju yang lebih rendah dibandingkan wilayah sub-tropis. Wilayah selatan Indonesia akan mengalami penurunan curah hujan sedangkan wilayah utara akan mengalami peningkatan curah hujan. Dari penelitian yang dilakukan di beberapa lokasi, diketahui bahwa kenaikan permukaan air laut di Indonesia sudah mencapai 8 mm per-tahun. Bila Indonesia tidak melakukan tindakan pengurangan emisi gas rumah kaca, dikhawatirkan bahwa kenaikan muka air laut akan mencapai 60 cm pada tahun 2070; apakah bila indonesia mengurangi emisi tapi negara maju tidak mengurangi emisi maka bencana ini tidak terjadi? Mungkin maksudnya tidak melakukan tindakan mitigasi? hal ini berdampak pada hilangnya lahan sekitar 124.584 hektar dan mengakibatkan kegagalan panen sebesar 150.000 ton serta pengurangan tangkapan udang, ikan, serta hasil pertanian lainnya sebesar 54.000 ton. (sumber??) Analsisis berdasarkan apa?
Dalam empat dekade lalu, bahaya-bencana terkait iklim seperti banjir, kekeringan, badai, longsor dan kebakaran hutan telah menyebabkan banyak kehilangan nyawa manusia dan penghidupan, hancurnya ekonomi dan infrastruktur sosial juga kerusakan lingkungan. Di banyak tempat dunia, frekuensi dan intensitas bahaya-bencana ini cenderung meningkat (Sivakumar, 2005). Banjir dan angin-badai mengakibatkan 70% dari total bencana dan sisanya 30% diakibatkan oleh kekeringan, longsor, kebakaran hutan, gelombang panas, dll.
Di Indonesia, dalam perioda 2003-2005 saja, terjadi 1,429 kejadian bencana. Sekitar 53,3% adalah bencana terkait hidro-meteorologi (Bappenas dan Bakornas PB, 2006). Banjir adalah bencana yang paling sering terjadi (34%), diikuti oleh longsor (16%). Kemungkinan pemanasan global akan menimbulkan kekeringan dan curah hujan yang ekstrim yang lebih parah, yang pada giliranya akan menimbulkan resiko bencana iklim yang lebih besar (Trenberth dan Houghton, 1996). Laporan United Nations Office for the Coordiantion of Humanitarian Affairs (2006) mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan satu dari negara-negara yang rentan terhadap bencana terkait dengan iklim.
Penurunan dan peningkatan curah hujan telah menimbulkan dampak signifikan pada cadangan air. Pada tahun-tahun kejadian El-Nino, volume air di reservoir menurun cukup berarti (jauh dibawah normal), khususnya selama musim kering (Juni-September). Banyak pembangkit listrik memproduksi listrik jauh dibawah produksi normal pada tahun-tahun tersebut. Data dari 8 waduk (4 waduk kecil dan 4 waduk besar di Pulau Jawa) menunjukkan bahwa selama tahun-tahun kejadian El-Nino 1994, 1997, 2002, 2003, 2004 dan 2006 kebanyakan pembangkit listrik yang dioperasikan di 8 waduk tersebut memproduksi listrik dibawah kapasitas normal.
Peningkatan temperature air laut selama El-Nino 1997 telah menyebabkan masalah serius pada ekosistem terumbu karang. Wetlands International (Burke et al., 2002) melaporkan bahwa El-Nino pada tahun tersebut telah menghancurkan sekitar 18% ekosistem terumbu karang di Asia Tenggara. Pemutihan terumbu karang (coral bleaching) telah terjadi di banyak tempat seperti bagian Timur Pulau Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok. Di Kepulauan Seribu sekitar 90-95% terumbu karang berada di 25 m dari permukaan air laut telah terjadi pemutihan.
ENSO (El-NiƱo-Southern Oscillation), satu fenomena alam di lautan Pasifik yang terjadi pada beberada dekade belakangan, telah memberikan kontribusi terhadap penyebaran penyakit seperti Malaria, demam berdarah (dengue), diare, kolera dan penyakit akibat vektor lainnya. World Health Organization (2004) telah menemukan bahwa penyebaran penyakit malaria dipicu oleh terjadinya curah hujan dibawah normal. Di Indonesia peningkatan curah hujan diatas normal yang terjadi khususnya pada tahun-tahun La-Nina (tahun basah). Kasus demam berdarah juga ditemukan meningkat signifikan pada tahun-tahun ini. Berdasarkan data kejadian DBD di berbagai kota besar di Indonesia, laju kejadian di Pulau Jawa dari tahun 1992 sampai 2005 meningkat secara konsisten.
seluruh uraian ini tidak menunjukkan apa kekhasan Indonesia dalam hal iklim? Ini lebih banyak bicara dampak!
1.2 Status Krisis Sosial Ekologis Indonesia Sekarang
1.2.1 Kerusakan ekologis
Kerusakan ekologis akumulatif dalam satu generasi terakhir telah memberikan sinyal lampu merah. Pengelolaan ekonomi tanpa penyelarasan implikasi sosial ekologisnya, yang ikut berperan penting dalam hilangnya jaminan keselamatan manusia dan keamanan sosial dalam proses perubahan ekonomi, telah mendorong perkembangan kegiatan-kegiatan produksi dan konsumsi sumber daya publik yang merusak lingkungan.
Paragraf ini tidak mempunyai makna. Maksudnya apa?
1.2.2 Sektor sumber daya air
Tidak dapat disangkal air sangat penting bagi kehidupan. Kekurangan akses terhadap air minum dan sanitasi serta buruknya lingkungan akan membawa dampak yang membahayakan kesehatan. Demikian juga ketersediaan air untuk pangan juga faktor yang sangat penting bagi keberhasilan program ketahanan pangan.
Namun kondisi sumber daya air mengalami ancaman akibat meningkatnya degradasi Daerah Aliran Sungai/DAS (tahun 1984 jumlah DAS kritis 22 dan sekarang mencapai 62 DAS) yang menyebabkan menurunnya kuantitas dan kualitas aliran sungai diantaranya diakibatkan oleh penggundulan hutan dan praktek pengolahan tanah dibagian hulu DAS yang menyebabkan erosi dan sedimentasi dibagian hilir; pencemaran dari limbah industri, domestik, pertanian dan sampah padat, serta pencemaran dari praktek pertambangan baik didarat maupun dibadan air/sungai. Berdasarkan hasil sampling di 30 sungai, diketahui bahwa untuk daerah hulu hanya 2,9% yang memenuhi baku mutu; sedangkan di daerah tengah dan hilir sebesar 22,6 % yang masih berada pada kondisi baik. Kondisi tersebut menyebabkan meningkatnya debit banjir dimusim hujan dan terjadinya kekeringan dimusim kemarau. Dan jumlah debit sungai yang menurun dimusim kemarau itupun sangat jelek kualitasnya akibat pencemaran. Kondisi ini akan memperparah dampak perubahan iklim yang berkecederungan meningkatkan intensitas curah hujan pada musim hujan dan penurunan curah hujan yang sangat tajam dan bertambah panjangnya periode musim kemarau.
Di sisi yang lain, ketersediaan air baku untuk berbagai keperluan untuk sektor permukiman/ domestik, pertanian, perikanan, peternakan, industri dan lingkungan sangat bergantung kepada iklim, sehingga sangat rentan terhadap variabilitas iklim. Sarana penampung air (waduk, embung, dsb) yang secara total berkapasitas tampung 5% dari aliran limpasan hanya mampu menjamin sekitar 10% (700,000 ha) dari luas total jaringan irigasi yang ada. Sedangkan penyediaan air bersih dengan sistem perpipaan baru mencakup sekitar 37% dari penduduk perkotaan dan sekitar 8% untuk penduduk perdesaan. Sisanya dipenuhi dengan penggunaan air tanah terutama air tanah dangkal sehingga rawan dari aspek kuantitas dan kualitas terutama di musim kemarau. Kebutuhan air untuk industri karena pasokan air dari permukaan tidak mencukupi maka banyak dipenuhi dari penyedotan air tanah dalam. Penyedotan air tanah yang berlebihan (melebihi kapasitas pasokan) menyebabkan penurunan muka tanah (land subsidence) yang menyebabkan meluasnya daerah rawan banjir dan intrusi air laut. Pemberian prioritas alokasi anggaran yang memadai untuk pembangunan sarana dan prasarana Sumber Daya Air dan kebijakan pengendalian penggunaan air tanah yang konsisten menjadi kunci solusi. Perubahan iklim yang terjadi dalam beberapa dasawarsa terakhir ini perlu diantisipasi dengan kebijakan adaptasi dan mitigasi.
Secara umum perubahan iklim akan membawa perubahan kepada parameter-parameter iklim yaitu temperatur, curah hujan, dan angin. Perubahan pada curah hujan akan berdampak pada sektor-sektor yang terkait dengan air yaitu, sumber daya air, pertanian, infrastruktur (termasuk permukiman, transportasi, PLTA/Pembangkit Listrik Tenaga Air dan penataan ruang), perikanan, rawa dan lahan gambut serta pantai.
Dampak perubahan iklim terhadap sektor-sektor terkait dengan sumber daya air antara lain:
· Bertambahnya jumlah kejadian ekstrim terkait iklim banjir dalam lima (5) tahun terakhir sehingga meningkatkan kerusakan prasarana dan sarana, termasuk juga ancaman terjadi badai dan gelombang yang tinggi sehingga mengancam keselamatan pelayaran. Ancaman badai ini juga dapat menyebabkan terjadinya pengungsian penduduk yang tinggal pada dataran rendah pantai dan pulau-pulau kecil.
· Menurunnya kontribusi hydro power pada penyediaan energi secara keseluruhan.
· Bertambahnya jumlah panjang pantai yang terkena abrasi
· Ancaman intrusi air laut dapat mengakibatkan
- penurunan kuantitas dan kualitas pasokan air baku selama musim kemarau yang akan berdampak pada bertambahnya biaya untuk pengolahan air baku untuk air minum
- ancaman intrusi air laut pada sumber air minum (tempat pengambilan air di sungai) karena kenaikan muka air laut.
- mengakibatkan kerusakan pada struktur bangunan
- menurunnya produksi perikanan akibat kekurangan pasokan air tawar terutama di musim kemarau
- menyebabkan masalah-masalah sosial, ekonomi dan lingkungan pada daerah yang terdampak.
· Terganggunya transportasi air didarat pada pedalaman Kalimantan akibat menyusutnya muka air sungai di musim kemarau sehingga sungai tidak dapat dilalui oleh kapal besar.
· Meningkatnya kerentanan kebakaran lahan gambut akibat peningkatan temperatur dan berkurangnya curah hujan dimusim kemarau.
· Ancaman atas kerusakan habitat mangrove dan coral reef
· Meningkatkan ancaman atas biodiversity akibat perubahan tata guna dan tutupan lahan dan tekanan meningkatnya jumlah penduduk
1.2.3 Sektor perumahan dan pemukiman
Dalam hal sampah, rata-rata penduduk Indonesia menghasilkan sampah sebanyak lebih kurang 2,75 liter per-orang per-hari. Sebagai contoh, DKI dengan jumlah penduduk 12 juta jiwa bisa menghasilkan hingga 33 ribu m3 perhari. Akibat sarana prasarana yang tersedia sangat rendah maka banyak sampah yang di buang langsung ke lingkungan, antara lain ke sungai dan tanah-tanah kosong serta ke laut. Selain itu terjadi konflik sosial yang berkaitan dengan pengelolaan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah; bahkan hingga merenggut korban jiwa akibat pengelolaan TPA yang tidak tepat (meledaknya TPA Leuwi Gajah).
Pengelolaan sampah perkotaan di TPA masih menggunakan metoda open dumping sehingga gas metana yang dihasilkan dari proses dekomposisi anaerobik dapat terlepas ke atmosfer dan menyebabkan pemanasan global (potensi pemanasan global CH4 adalah 21 kali lebih besar dibandingkan gas CO2). Berdasarkan kajian pengukuran emisi gas CH4 yang dilakukan di TPA Jelekong-Bandung (Driejana, 2007), setiap kilogram sampah bisa menghasilkan 0.0003335 kg CH4 ke atmosfer. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2000 adalah sebesar 205,1 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,33% (BPS, 2000). Bila data tersebut dipergunakan untuk menghitung jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2006, serta diambil asumsi bahwa densitas sampah adalah sebesar 196,4 kg/m3 (Saptini, 2007) dan setiap penduduk menghasilkan 2.75 liter sampah, maka jumlah gas metana yang terlepas ke atmosfer pada tahun 2006 diperkirakan bisa mencapai 40 ton CH4 atau setara dengan 841 ton CO2.
Pencemaran udara yang meningkat pesat seiring dengan peningkatan aktifitas penduduk dari sektor transportasi, industri, jasa, dan rumah tangga, telah mengakibatkan terjadinya peningkatan penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) serta penyakit lainnya seperti kanker, menurunnya tingkat kecerdasan anak, serta terlahirnya anak-anak autis dengan kadar logam berat yang melampaui rata-rata yang diperbolehkan. Selain itu, pembakaran bahan bakar di kendaraan bermotor bisa menghasilkan hidrokarbon aromatik polycyclic yang merupakan senyawa karsinogenik (dapat mengakibatkan penyakit kanker).
Juga telah terjadi hujan asam di Indonesia dengan pH air hujan berkisar antara 4,5 sampai 5. Standar yang umum dipergunakan untuk menentukan telah terjadinya hujan asam adalah bilamana pH air hujan di bawah 5,6.
1.2.4 Sektor energi
Di sektor energi, konsumsi energi di Indonesia tumbuh sangat pesat sejak tahun 1970. Dalam periode 1970-2003 pertumbuhan konsumsi energi final Indonesia mencapai 7%, sedangkan konsumsi energi dunia hanya mencapai 2,6%.Maksudnya pertumbuhan konsumsi energi? Apakah ada bandingannya dengan negara berkembang setara Indonesia?
Tentu saja pertumbuhan energi tinggi di Indonesia, karena kita masih membangun. Pada saat itu, Indonesia masih belum optimal dalam melakukan konservasi energi serta masih terbatas dalam pengembangan energi terbarukan. Kebijakan energi Indonesia sampai dengan tahun 2003 masih menempatkan bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama sebesar 95%, sedangkan energi terbarukan hanya 5%.
(Apakah ada data tentang jumlah populasi yang tidak dapat akses energi – listrik maupun masak? Mengapa mereka tidak dapat akses??)
Dari data National Communication diketahui bahwa pada tahun 1994, konsumsi energi di Indonesia, yang terdiri dari pemakaian di rumah tangga dan bangunan komersial, industri, transportasi, dan pembangkit listrik, menimbulkan emisi CO2 sekitar 170 juta Ton. Emisi dari konsumsi energi tersebut merupakan 25% dari emisi keseluruhan Indonesia pada tahun 1994 yang sebesar 748,6 juta Ton. Namun demikian, jumlah emisi yang dihasilkan Indonesia tersebut masih sangat kecil bila dibandingkan dengan negara maju. Data dari International Energy Administration menunjukkan bahwa untuk tahun 1994, emisi CO2 dunia dari penggunaan energi (pembakaran bahan bakar fosil) adalah sekitar 21 miliar Ton. Dengan demikian, emisi CO2 dari konsumsi energi di Indonesia pada tahun 1994 hanya menyumbang sekitar 0,81% terhadap emisi dunia dari konsumsi energi. (ini data lama. Yang baru?)
1.2.5 Sektor kehutanan
Sedangkan untuk kondisi hutan, penurunan penutupan lahan paling tinggi terjadi pada periode waktu 1997 – 2000 seluas 3,5 juta ha (lahan hutan dan non hutan) per-tahun dengan laju penurunan tertinggi terjadi di pulau Sumatera yakni 1,15 juta ha per-tahun, Kalimantan 1,12 juta ha per-tahun, Sulawesi 692 ribu ha per-tahun, Maluku 294 ribu ha per-tahun, dan Papua 156 ribu ha per-tahun. Hal tersebut bisa dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1 Laju penurunan penutupan hutan 1997 – 2000 (ribu ha per-tahun)
Berdasarkan data Program Menuju Indonesia Hijau (MIH), tutupan lahan di Pulau Jawa diharapkan menjadi 19%, Sumatera 54%, Kalimantan 43%, Sulawesi 43%, dan Papua 72% (KLH 2006).
Sekitar 60% dari emisi gas rumah kaca Indonesia berasal dari sektor LULUCF (Land Use, Land Use Change, Forestry). Terdapat publikasi ilmiah internasional yang menyatakan bahwa kebakaran hutan dan ladang gambut di Indonesia pada tahun 1997 menyumbang 13 – 40% emisi karbon tahunan dunia [Page, dkk., 2002]. Walaupun hal tersebut masih menjadi perdebatan para pakar dalam teknik perhitungannya, namun Indonesia perlu melakukan upaya penurunan kebakaran hutan.
Berdasarkan data Departemen Kehutanan (2007), luas kawasan hutan Indonesia adalah 120, 55 juta ha (sekitar 60 % dari daratan Indonesia). Selama kurun waktu 35 – 40 tahun sampai dengan 2005, kawasan hutan telah berkurang seluas 23,45 juta ha, dari 144 juta ha pada akhir tahun 1960 atau awal 1970-an menjadi 120,55 juta ha saat ini. Dari luasan tersebut, 53,9 juta ha diantaranya terdegradasi dengan berbagai tingkatan yang tersebar pada hutan konservasi (11,4 juta ha), hutan lindung (17,9 juta ha), dan hutan produksi (24,6 juta ha). Kawasan hutan yang telah dikonversi untuk penggunaan lain dan areal hutan yang terdegradasi tersebut menghasilkan emisi sebesar 2,1 Gt CO2 per tahun pada tahun 2005. Dengan demikian carbon stocks yang ada saat ini dari hutan alam (konservasi, hutan lindung, hutan produksi) baik yang primer maupun logged over area atau yang terdegradasi sebesar 37,44 Gt karbon pada tahun 2005.
Penutupan vegetasi hutan terus menurun dari waktu ke waktu akibat konversi lahan hutan untuk penggunaan lainnya (pertanian, perkebunan, pembangunan pemukiman, dan prasarana wilayah), perambahan, over cutting, illegal logging, dan kebakaran hutan. Konversi lahan tersebut menyebabkan terjadinya deforestasi, sedangkan perambahan dan lain-lain menyebabkan degradasi (penurunan kualitas) hutan. Penurunan penutupan vegetasi hutan memberikan kontribusi terhadap rendahnya penyerapan dan penyimpanan Gas Rumah Kaca (GRK) yang banyak dihasilkan oleh industri. Data lengkap tentang penurunan luas hutan dari 144 juta ha sampai luas saat ini tidak tersedia, namun trend selama 6 tahun mulai 1999-2005 dapat dilihat pada Gambar 2
Tahun
Perubahan Luas Hutan Tetap
Gambar 2. Perubahan luas total hutan tetap Indonesia tahun 1999-2005
Pengurangan luas penutupan vegetasi hutan di atas terjadi di 7 pulau besar di yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara (lihat Gambar 3 berikut).
Perubahan Penutupan Vegetasi Hutan
Gambar 3. Laju perubahan penutupan vegetasi hutan pada tiga periode tahun 1985-1997, 1997-2000, dan 2000-2005 di lima pulau besar di Indonesia
Permasalahan hutan dan perubahan iklim
Hutan dalam konteks perubahan iklim dapat berperan sebagai sink (penyerap/penyimpan carbon) maupun source (pengemisi carbon). Deforestasi dan degradasi meningkatkan source, sedangkan aforestasi, reforestasi dan kegiatan pertanaman lainnya meningkatkan sink. Emisi Gas Rumah Kaca yang terjadi di sektor Kehutanan Indonesia bersumber dari deforestasi (konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman, pertambangan, prasarana wilayah) dan degradasi (penurunan kualitas hutan akibat illegal logging, kebakaran, over cutting, perladangan berpindah (slash and burn), dan perambahan.
Apakah degradasi hutan meningkatkan emisi atau peningkatan emisi adalah karena pembakaran hutan dan lahan terutama gambut? Perlu dibedakan antara hutan sebagai perosot dan bahwa deforestasi yang tidak melalui pembakaran mungkin tidak menyebabkan emisi, tapi membuat perosot karbon jadi menurun. Lagipula persoalan LU LUC F adalah persoalan kebijakan, bukan teknis-teknis yang disebutkan itu.
1.3. Komitmen Indonesia Menjaga Iklim Global melalui Penandatanganan Konvensi Perubahan Iklim dan Ratifikasi Protokol Kyoto
Indonesia merupakan salah-satu negara berkembang yang memberikan perhatian khusus pada pengelolaan lingkungan hidup sejak awal 1980-an. Perluasan dan pendalaman kerusakan sosial ekologis sampai saat ini merupakan tantangan nyata bagi Indonesia untuk mengambil prakarsa-prakarsa yang lebih berkesungguhan dalam perbaikan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam urusan perubahan iklim, Indonesia sangat berkepentingan untuk berperan aktif dalam upaya global untuk menghambat laju pemburukan keadaan biosfer karena perubahan iklim. Indonesia meratifikasi Konvensi Kerangka PBB mengenai Perubahan Iklim lewat UU No. 6 tahun 1994. Sepuluh tahun kemudian Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto lewat UU No. 17 tahun 2004. Komitmen tersebut sekarang membutuhkan usaha dan tindakan nyata yang menyeluruh, mencakup segenap sektor penyumbang emisi gas rumah-kaca serta sekuestrasi karbon. Komitmen tersebut harus pula secara serentak diterapkan dengan usaha perbaikan pemenuhan syarat kualitas hidup rakyat dan kualitas lingkungan hidup, dan tercermin dalam pengelolaan sektor-sektor produksi dan konsumsi prioritas untuk tindakan mitigasi dan adaptasi.
Tuntutan pembaruan kerangka kebijakan nasional bagi pelaksanaan konvensi-kerangka tentang perubahan iklim dan Protokol Kyoto, dan sebagai momentum bagi pelaksanaan pembangunan nasional berwawasan sosial ekologis
Beberapa paragraf ke bawah ini pesannya tidak jelas.Maksudnya indonesia mau punya komitmen tapi tidak bisa karena urusan institusional? Jika ya disebutkan saja secara lugas).
Perumusan strategi nasional beserta rencana aksi nasional untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (RAN) bertujuan untuk menghasilkan panduan bagi usaha besar itu. RAN adalah sebuah instrumen dinamis yang secara berkala diperiksa daya guna dan kinerjanya serta diperbarui untuk memperbaiki efektivitasnya. Panduan ini juga harus cukup jelas menunjukkan pihak dan lembaga mana saja yang harus terlibat penuh dalam penerapannya serta bagaimana cara melaksanakan tindakan tersebut dalam pengelolaan sektor-sektor produksi dan konsumsi serta perubahan sosial ekologis. Rencana aksi dan cara penerapan serta pemantauan serta pengendalian kinerjanya harus mampu mengatasi rendahnya derajat koordinasi antar pemangku kepentingan (stake holders) beserta hambatan-hambatan kelembagaan dan sosialnya pada saat ini.
Sangat mendesak untuk melakukan penyelarasan wilayah-wilayah ketentuan publik serta instrumen hukum dan perundang-undangan yang terkait, khususnya dalam sektor-sektor mitigasi dan adaptasi prioritas termasuk energi, perhutanan, pertanian, perikanan/kelautan, pertambangan, dan infrastruktur.
Besarnya skala ruang dan capaian dari upaya penerapan rencana aksi nasional tersebut juga membutuhkan cara kerja, pemantauan, dan pengukuran hasil kinerja yang baru dan lebih pendek rantai-kendalinya untuk mampu mengatasi fragmentasi fungsi tugas pokok sektoral yang selama ini berjalan. Oleh karenanya, instrumentasi ketentuan publik untuk mengawal strategi pembangunan berkelanjutan beserta rencana aksi nasional tersebut, termasuk instrumen fiskal dan ekonomi pendukungnya, harus disertai dengan cara penerapan yang terpadu pada wilayah-wilayah kelola sosial ekologis yang menjadi sasaran aksi nasional, agar bisa dipantau dan diukur secara terus menerus perubahan dan kinerja pelaku-pelaku perubahannya.
Rangkaian tindakan yang secara spasial terpadu tersebut harus secara tegas mendorong perubahan jenis, cara dan modalitas investasi serta aliran barang dan dana untuk memperbaiki kerusakan sosial ekologis di seluruh wilayah kepulauan Indonesia.
Bagian dari sasaran utama penerapan rencana aksi nasional untuk perubahan iklim adalah penurunan intensitas konsumsi energi buangan karbon, melalui upaya mitigasi dan adaptasi teknologi serta optimasi manfaat sosial ekologis dari investasi di seluruh sistem-sistem produksi prioritas. Upaya ini membutuhkan jaminan ketersediaan sumber pembiayaan untuk penerapan rencana aksi nasional, khususnya untuk riset serta pengembangan kapasitas penerapan teknologi-teknologi baru secara meluas.
BAB II
TUJUAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN NASIONAL DALAM RANGKA ANTISIPASI PERUBAHAN IKLIM
Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dengan kondisi sebagai negara berkembang, kemampuan Indonesia dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim belumlah sebaik negara-negara maju. Oleh karena itu dikhawatirkan bahwa pembangunan yang sedang dilaksanakan pemerintah bisa terhambat karena dampak perubahan iklim. Selain merupakan golongan yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, masyarakat miskin juga golongan yang paling terkena dampak terhambatnya pembangunan nasional. Dengan demikian, respon terhadap perubahan iklim mustilah mengikutsertakan program pengentasan kemiskinan. Strategi tiga jalur (triple track strategy), yakni pro-poor, pro-job, dan pro-growth harus menjadi bagian integral dalam strategi nasional menghadapi perubahan iklim.
2.1 Pola Pembangunan Sampai dengan Sekarang
Dengan luas wilayah, penduduk dan aset sumber daya alam Indonesia yang terbesar di Asia Tenggara, transformasi ekonomi dan sosial paska kemerdekaan untuk memperbaiki kualitas hidup rakyat Indonesia, selama ini berlangsung dalam konteks dinamika ekonomi politik dalam dan luar negeri yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan nasional. Fokus pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan ekonomi, kestabilan politik, dan pemerataan, berjalan dengan basis eksploitasi sumberdaya alam tanpa pertimbangan keberlanjutan. Oleh karena itu, selain strategi tiga jalur di atas, perlu juga dikembangkan jalur yang ke-empat, yakni pro-environment. Pembaruan infrastruktur produksi serta pembentukan kapital lewat integrasi ekonomi nasional dan perluasan sektor-sektor produksi khususnya dalam satu generasi terakhir juga telah menciptakan faktor-faktor penekan sosial ekologis pada sistem-sistem pendukung kehidupan di seluruh kepulauan. Syarat keamanan sosial yang sangat penting bagi perbaikan dan pelestarian lingkungan belum menjadi prinsip pembangunan.
2.2 Tujuan Pembangunan Nasional dengan Agenda Antisipasi Perubahan Iklim
2.2.1. Agenda Mitigasi
Sebagai turunan komitmen Indonesia dalam usaha global menghambat laju kerusakan sistemik dari lingkungan biosfer dan sistem-sistem sosial ekonomi global akibat perubahan iklim, pengelolaan kinerja ekonomi dan kualitas hidup rakyat sekarang harus secara tegas mengacu juga pada sasaran-sasaran reduksi emisi gas rumah kaca dan intensitas energi dari pertumbuhan ekonomi. Sasaran-sasaran mitigasi tersebut akan sangat sulit sekali dicapai selama unsur-unsur penekan yang menjadi kendala pencapaian keselamatan manusia dan keamanan sosial, produktivitas sosial untuk memenuhi syarat kualitas hidup, serta pemeliharaan keberlanjutan layanan alam tidak serta-merta juga direduksi. Perluasan deforestasi dan degradasi lahan khususnya dalam dasawarsa terakhir adalah salah satu pelajaran mahal dari kegagalan pengelolaan ekonomi yang mengacu pada pencapaian ketiga prinsip dasar tersebut di atas.
Dengan demikian, sasaran-sasaran mitigasi sektor-sektor ekonomi prioritas, yaitu sektor energi, kehutanan, pertanian-perikanan, infrastruktur, harus dirumuskan strategi pencapaiannya serta pilihan skenarionya, bukan saja lewat optimasi internal masing-masing sektor, melainkan juga dengan mempertimbangkan kerangka pertimbangan yang bisa disebut sebagai “wilayah mitigasi sosial ekologis”, yaitu perbaikan dalam ketiga prinsip dasar (keselamatan manusia/alam, produktivitas, dan kelangsungan layanan alam). Wilayah mitigasi sosial ekologis ini, meskipun secara formal bersifat sekunder dalam konteks komitmen Indonesia pada Konvensi Kerangka Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto, merupakan bagian strategis dari tujuan pembangunan nasional karena perannya untuk menjamin pencapaian sasaran mitigasi perubahan iklim yang berkaitan dengan variabel-variabel iklim.
2.2.2. Adaptasi
Adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan aspek kunci yang harus menjadi agenda pembangunan nasional dalam rangka mengantisipasi perubahan iklim. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan pola pembangunan yang tahan (resilience) terhadap variabilitas iklim saat ini (termasuk anomali iklim) dan mendatang serta menerapkan sistem pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan sehingga dapat menghambat laju kerusakan sistemik dari lingkungan biosfer dan sistem sosial-ekonomi bumi.
Secara ringkas, tujuan-tujuan politik/kebijakan yang hendak dicapai oleh strategi pembangunan nasional berkelanjutan, serta RAN hendak merespons perubahan iklim lewat pengendalian emisi gas rumah kaca, memperkuat kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim, mempromosikan pengembangan pengetahuan ilmiah dan teknologi yang berkaitan dengan perubahan iklim, meningkatkan kesadaran publik, dan memperkuat kapasitas kerja kelembagaan serta mekanisme pengelolaan informasi dan data yang menyangkut perubahan iklim.
Jadi sebenarnya tujuan strategisnya apa? Semua paragraf ini normatif dan tidak jelas.
2.3 Prinsip Pengelolaan Pembangunan Nasional
Untuk mencapai tujuan dan manfaat ganda tersebut di atas, RAN terus-menerus dipantau dan diperbaiki ketaatannya pada asas kebijakan/ketentuan publik pembangunan nasional sebagai berikut:
Pertama, penyelarasan semua instrumen kebijakan dan hukum agar perluasan kegiatan ekonomi dan pemeliharaan daya saing dari sistem-sistem produksi utama taat pada ketiga syarat kelayakan sosial ekologis pembangunan nasional ((keselamatan manusia/alam, produktivitas, dan kelangsungan layanan alam).
Kedua, instrumen utama dari kepatuhan tersebut adalah integrasi dan penyelarasan penggunaan ruang beserta penggunaan sumber-sumber-daya publik, untuk mengatasi ”status quo” ego sektoral yang menjadi penghambat cita-cita pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Ketiga, pencapaian sasaran-sasaran mitigasi perubahan iklim beserta sasaran-sasaran sosial ekologis yang menyertainya, harus dilakukan lewat adaptasi pola konsumsi dan produksi dari segenap pelaku perubahan.
2.4 Kerangka Waktu Strategi dan Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional
AKSI SEGERA : 2007 - 2009
Dalam kurun waktu pendek tersebut, harus dapat dicapai syarat kelengkapan instrumentasi serta dukungan kelembagaan dari rencana aksi nasional untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (RAN), beserta cakupan penyelarasan antar sektor dan wilayah-wilayah kelola prioritasnya. Di samping itu, harus telah dicapai syarat kelengkapan infrastruktur informatik minimal yang diperlukan berbagai pelaku kunci dalam proses kolaborasi.
AKSI JANGKA PENDEK : 2009 - 2012
Sampai dengan batas waktu berakhirnya masa komitmen pertama dari penerapan Protokol Kyoto di tahun 2012, penerapan RAN di setiap sektor mitigasi dan adaptasi prioritas, khususnya sektor-sektor energi, kehutanan, pertanian, pertambangan, infrastruktur, dan kesehatan, harus mencapai sasaran reduksi mandiri (sukarela atas prakarsa Indonesia sendiri), untuk mengantisipasi berlakunya rejim pengelolaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang baru, setelah berakhirnya masa komitmen pertama. Pembaruan modalitas tata-kelola urusan publik harus dapat diukur terutama dalam kinerja pengembangan investasi dan perluasan ekonomi yang bisa memperbaiki kondisi sosial ekologis di seluruh negeri, serta bisa mempertahankan produktivitas dari sistem-sistem produksi vital seperti pangan dan barang kebutuhan pokok rakyat lainnya. Tingkat capaian pemulihan kerusakan tersebut akan sangat menentukan daya capai usaha mitigasi Indonesia untuk perubahan iklim, karena kondisi sosial-ekologis Indonesia tersebut di atas.
Bagaimana RAN akan diterapkan? Melalui mekanisme koordinasi seperti apa? Institusi seperti apa? Anggaran seperti apa?
AKSI JANGKA MENENGAH : 2012 - 2025
Kinerja penerapan RAN jangka pendek yang berakhir pada tahun 2012 beserta seluruh hasil evaluasinya akan menjadi salah-satu pertimbangan utama untuk pemrograman dan penerapan rencana aksi jangka-menengah. Dalam masa penerapan jangka menengah tersebut, pencapaian sasaran-sasaran mitigasi dari sektor-sektor prioritas harus disertai dengan pencapaian sasaran-sasaran adaptasi segenap sektor kehidupan rakyat terhadap potensi dampak negatif perubahan iklim pada sistem-sistem pendukung kehidupan dan kelangsungan layanan alam di seluruh kepulauan Indonesia. Secara spesifik harus dapat dicapai sasaran reduksi resiko bencana yang dapat diukur dengan lugas, tercermin antara lain dalam pengetahuan dan kesadaran warga-negara tentang modalitas kehidupan beresiko dalam perubahan iklim, serta ketersediaan infrastruktur pendukung kehidupan dan sistem-sistem produksi vital beserta instrumen prosedural untuk pengelolaan dan pemanfaatannya.
AKSI JANGKA PANJANG : 2025-2050
Proses belajar jangka panjang untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, yang mencakup kurun waktu satu generasi sampai dengan 2050, bukan saja harus bisa menjamin ketahanan dan daya hidup bangsa Indonesia, tetapi juga harus bisa memperbaiki ketiga syarat sosial ekologis tersebut di atas secara berkelanjutan.
2.5 Strategi Spesifik untuk Wilayah Kebijakan Kunci
Pedoman prinsip pembangunan nasional yang terutama hendak dicapai dengan penerapan RAN, harus bisa dijalankan dan tercermin dalam wilayah-wilayah kebijakan kunci yang selama ini justru menjadi wilayah bermasalah dalam penyelarasan tujuan-tujuan pengelolaan kinerja ekonomi dengan tujuan-tujuan perbaikan sosial-ekologis nasional. Wilayah-wilayah tersebut adalah sebagai berikut:
A. Pembaruan protokol tata-laksana penyelenggaraan pengelolaan urusan publik serta penyelarasan peran fungsi dan tugas kelembagaan lembaga-lembaga publik secara umum.
B. Pembaruan kebijakan fiskal, moneter, dan anggaran untuk menjadikan ketiga wilayah kebijakan tersebut sebagai pendukung utama dari proses mitigasi dan adaptasi perubahan iklim beserta sasaran sosial-ekologis yang menyertainya. Secara khusus, ketiga kebijakan tersebut harus semaksimal mungkin mengekspresikan biaya-biaya sosial-ekologis dari segenap sektor produksi dan konsumsi.
C. Pembaruan kebijakan investasi dan penciptaan pelaku investasi-investasi baru yang berpusat pada perbaikan sosial ekologis dan mitigasi serta adaptasi perubahan iklim, untuk mendorong perluasan ekonomi yang fleksibel dan responsif terhadap perubahan iklim.
D. Vitalisasi kebijakan pengembangan dan penapisan teknologi untuk menjamin pencapaian sasaran-sasaran mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta sasaran-sasaran perbaikan sosial-ekologis di seluruh wilayah Indonesia.
E. Penerapan kewilayahan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber-daya publik, termasuk sumber daya alam dan sumber daya buatan, dengan kepekaan pada pertimbangan migrasi serta perubahan kependudukan karena proses perubahan, maupun sebagai akibat dari perubahan iklim.
2.6 Sektor-Sektor Produksi dan Pelayanan Kepentingan Umum
Sektor-sektor ekonomi prioritas dalam penerapan strategi pembangunan berkelanjutan lewat RAN adalah sebagai berikut:
a. Pertanian
b. Kehutanan
c. Sumber Daya Air
d. Kelautan dan Perikanan
e. Energi
f. Pertambangan
g. Pengolahan & Manufaktur
h. Infrastruktur
Pada sisi penaksiran dampak perubahan iklim serta adaptasi terhadapnya, RAN harus bisa mendorong integrasi serta penajaman tujuan-tujuan, sasaran, dan instrumentasi kebijakan dalam wilayah-kebijakan sebagai berikut:
a. Kesehatan
b. Pendidikan
c. Ketenagakerjaan
d. Kependudukan
e. Pengelolaan wilayah dan mukiman
f. Tata ruang
g. Pengembangan kapasitas pengelolaan dampak bencana
Dalam hal ini, RAN sebagai sebuah instrumen kebijakan dinamis yang secara berkala dievaluasi, diperbarui dan diperbaiki, secara bertahap akan mensyaratkan integrasi kebijakan dari sektor-sektor mitigasi dan adaptasi prioritas dalam implementasinya, sampai dengan periode jangka menengah (2025).
2.7 Kondisi keterbatasan waktu dan skala ruang dari RAN serta cakupan kebutuhan untuk integrasi kebijakan
Tidak tersedia banyak waktu untuk menerapan strategi pembangunan berkelanjutan lewat pelaksanaan RAN. Dengan demikian RAN harus dilaksanakan dengan komitmen politik penuh dari pemerintah Republik Indonesia dan segenap pelaku perubahan utama lainnya.
Tindakan mitigasi serta adaptasi untuk perubahan iklim, terutama yang menyangkut wilayah kebijakan tata-guna tanah, air dan sumber-sumber energi hayati, pertanian pangan, dan kehutanan, juga sangat peka akan skala ruang atau wilayah. Optimasi untuk beberapa agenda kebijakan tersebut acapkali hanya efektif untuk skala yang melampaui batas-batas kewenangan sebuah wilayah administratif, seperti misalnya sebuah daerah aliran sungai, sebuah segmen wilayah pesisir yang peka perubahan iklim, atau wilayah pertanian produksi pangan utama di satu pulau. RAN mensyaratkan kesediaan pemerintah daerah yang saling berdekatan secara kewilayahan atau berkaitan sektor kebijakannya untuk bekerja-sama, dan bila dibutuhkan, melakukan re-negosiasi batas-batas kewenangan yang ada.
BAB III
RENCANA AKSI NASIONAL UNTUK ANTISIPASI PERUBAHAN IKLIM
Sebagai respon terhadap perubahan iklim yang sedang dan akan terjadi, Rencana Aksi Nasional ini berfokus pada usaha mitigasi dan adaptasi. Mitigasi pada dasarnya merupakan usaha penanggulangan untuk mencegah terjadinya perubahan iklim yang semakin buruk, sedangkan adaptasi merupakan teknik penyesuaian pola hidup dan sarananya terhadap perubahan iklim.
3.1 MITIGASI
Upaya mitigasi ditujukan terhadap sektor-sektor yang selama ini mengemisikan Gas Rumah Kaca (GRK) ke atmosfer. Tujuan upaya mitigasi adalah penurunan emisi karbon guna mengendalikan konsentrasi CO2 global di atmosfer sehingga masih berada dalam level yang bisa ditolerir. Dalam Rencana Aksi Nasional saat ini, mitigasi ditujukan kepada dua sektor penyumbang emisi karbon, yakni sektor energi dan kehutanan. Seiring dengan semakin lengkapnya data, tidak tertutup kemungkinan dimasukkannya beberapa sektor yang lain dalam upaya mitigasi.
3.1.1 Sektor Energi
Pada tahun 2003 komposisi konsumsi energi Indonesia terdiri dari minyak bumi sebesar 54.4%, gas bumi 26.5%, batu bara 14.1%, PLTA 3.4%, panas bumi 1.4%, dan energi baru terbarukan lainnya sebesar 0.2%. Pada tahun tersebut, emisi CO2 dari sektor energi mencapai 258,67 juta ton. Pada tahun 2004 pemerintah mengurangi subsidi BBM secara signifikan. Pada tahun 2006, pemerintah mengeluarkan PERPRES No 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dalam PERPRES tersebut, diharapkan terjadi peningkatan prosentase penggunaan energi baru dan terbarukan.
Komposisi bauran energi (mix energy) yang diharapkan bisa tercapai pada tahun 2025 sesuai dengan PERPRES tersebut adalah sebagai berikut: minyak bumi 20%, batu bara 33%, gas alam 30%, bahan bakar nabati (biofuel) 5%, panas bumi 5%, sumber energi baru terbarukan lainnya 5%, dan batu bara yang dicairkan (liquefed coal) sebesar 2%. Dengan skenario bauran energi optimal sesuai PERPRES 5 tahun 2005, maka emisi CO2 dari konsumsi energi di Indonesia diperkirakan sebesar 816 juta ton pada tahun 2025. Tanpa skenario bauran energi yang optimal, emisi CO2 pada tahun 2025 bisa lebih tinggi sekitar 10,5%. Bila skenario bauran energi optimal tersebut dikombinasikan dengan usaha konservasi energi dan penerapan teknologi CCS (site specific), maka emisi CO2 pada tahun 2025 diharapkan bisa diturunkan hingga 30% (terhadap business as usual). Gambar 4 menunjukkan perkembangan emisi CO2 dari konsumsi energi di Indonesia.
Juta ton CO2e
Gambar 4 Proyeksi perkembangan emisi CO2 dari sektor energi hingga tahun 2025 dengan memperhitungkan skenario bauran energi optimal [sumber: DESDM]
Untuk mendukung upaya mitigasi di sektor energi dan mencapai bauran energi seperti yang direncanakan, maka harus dilakukan 3 (tiga) hal pokok, yaitu:
· Konservasi energi
· Peralihan bahan bakar (fuel switching) dari bahan bakar yang menimbulkan emisi besar ke arah bahan bakar yang lebih bersih
· Pemanfaatan energi baru dan terbarukan secara maksimal
Beberapa skenario yang bisa dilakukan dalam rangka pengurangan gas rumah kaca di sektor energi adalah sebagai berikut:
Skenario 1 : Skenario PERPRES 5 Tahun 2006, merupakan skenario dimana target bauran energi tahun 2025 menjadi langkah penurunan emisi (minyak bumi maksimum 20%, Batubara minimum 33%, gas alam minimum 30%, bahan bakar nabati minimum 5%, panas bumi lebih dari 5%, energi terbarukan lainnya minimum 5%, dan batubara yang dicairkan minimum 2%),
Skenario 2 : Skenario Konservasi, merupakan skenario dimana penurunan emisi GRK sesuai target PERPRES masih dapat lebih ditingkatkan lagi dengan penerapan teknologi hemat energi pada sektor transportasi.
Skenario 3 : Skenario CCS, merupakan skenario Konservasi dengan menambahkan teknologi CCS pada sektor pembangkit listrik.
Melihat dan memperhatikan hal-hal tersebut di atas beberapa pemecahan permasalahan yang perlu segera diambil sebagai kebijakan di sektor energi antara lain:
1. Konservasi Energi
a. Penyebaran informasi pada sektor pengguna energi
b. Insentif dan disinsentif melalui mekanisme finansial
c. Regulasi untuk implementasi konservasi energi pada semua sektor pengguna dan penerapan standar hemat energi
d. Harga energi sesuai dengan keekonomiannya
2. Fuel switching
a. Pembangunan infrastruktur teknologi ramah lingkungan
b. Insentif dan disinsentif untuk pemanfaatan ramah lingkungan
c. Pemanfaatan energi terbarukan
d. Insentif dan disinsentif melalui mekanisme finansial dan regulasi untuk pengembangan energi terbarukan
e. Pemetaan potensi energi terbarukan
f. Peningkatan peran serta daerah dalam pengembangan energi terbarukan
Implementasi ketiga program di atas membutuhkan komitmen yang kuat, program realisasi nyata disertai dengan perangkat hukumnya. Untuk itu diperlukan keikutsertaan negara-negara maju untuk membantu negara-negara berkembang dalam hal transfer teknologi energi yang diperlukan berikut pendanaannya. Dalam hal ini salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan penerapan program Clean Development Mechanism (CDM).
Dengan memperhatikan kekuatan-kelemahan dan peluang-tantangan yang ada, maka pencapaian program pengembangan teknologi energi harus didasarkan pada posisi geografis, pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi, gaya dan standar hidup, dan isu lingkungan serta aspek penting lainnya, yang semuanya itu perlu dituangkan dalam bentuk perencanaan energi jangka panjang yang dilakukan secara arif dan bijaksana.
Dengan keterbatasan sumber energi tak terbarukan, maka untuk memenuhi kebutuhan energi di masa mendatang, harus diterapkan penggunaan bauran energi (energy mix) yang terpadu dan optimal serta harus lebih mengarah kepada energi berbasis teknologi ramah lingkungan, dibandingkan dengan energi berbasis sumber daya (resource base) yang bersifat tidak terbarukan. Untuk itu, peningkatan teknologi dan transfer pengetahuan di bidang energi menjadi sangat penting untuk dikembangkan.
Memperhatikan uraian tersebut di atas maka rencana kerja mitigasi untuk sektor energi adalah sebagai berikut:
KONSERVASI ENERGI
Dengan telah diterbitkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 10 tahun 2005 tentang Penghematan Energi dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 0031 tahun 2005 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penghematan Energi, maka kegiatan konservasi energi lebih mudah dilaksanakan sejak tahun 2006. Sebagai contoh pelaksanaan upaya penghematan energi di daerah, Pemda Yogyakarta telah melakukan penggantian bola lampu jalan dengan lampu hemat energi dan memasang meteran listrik untuk setiap 10 lampu jalan. Kegiatan tersebut berdampak pada penurunan biaya listrik secara signifikan (mencapai Rp. 500 juta/tahun). Kegiatan yang berdampak pada penurunan emisi gas rumah kaca dari kegiatan penghematan energi semacam ini perlu disampaikan oleh pemda kepada KLH unutk dijadikan programatik CDM.
Pemerintah, melalui KLH, akan menyiapkan pedoman inventarisasi dan penetapan target pengurangan emisi gas rumah kaca. Pedoman tersebut akan digunakan oleh pemerintah daerah propinsi dan kabupaten kota sehingga mereka dapat melakukan penghematan energi dari berbagai kegiatan, misalnya dari kegiatan rumah tangga, perkantoran, hotel, penerangan jalan, dan lainnya. Pada saat ini lampu hemat energi dan peralatan lain yang terkait dengan penghematan energi masih mahal harga jualnya, sehingga agar dapat bersaing dengan lampu yang tidak hemat energi perlu diberikan pemberian insentif dan keringanan fiskal sesuai dengan Pasal 6 Perpres No. 5 tahun 2006 agar bisa bersaing di pasar.
Untuk mensosialisasikan upaya penghematan energi pada masyarakat, perlu dilakukan sosialisasi melalui media elektronik dan media cetak serta sekolah-sekolah mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai sekolah menengah atas.
Implementasi konservasi energi dan energi terbarukan juga didorong oleh kenaikan harga energi dunia sejak tahun 2005. Sektor-sektor pengguna mulai melakukan konservasi energi dan menggunakan energi terbarukan walau menghadapi beberapa kendala, yaitu:
· kurangnya informasi metode dan teknologi konservasi dan energi terbarukan yang benar
· masalah permodalan
· masih sangat terbatasnya pola insentif yang mendukung implementasi
Walau begitu, berdasarkan Rencana Induk Konservasi Energi Nasional (RIKEN), masih banyak peluang penghematan energi. Besar persentase peluang penghematan energi tersebut adalah di bawah ini:
Sektor industri : 15-30%
Sektor transportasi : 25 %
Sektor rumah tangga dan bangunan komersial : 10-30%.
Konservasi energi adalah hal pertama yang paling cepat dan dapat dilakukan dengan segera dan dengan hasil yang jelas untuk penurunan emisi. Berikutnya adalah fuel switching dan pemanfaatan energi terbarukan.
Hal yang harus segera dilakukan dalam jangka pendek untuk konservasi energi adalah sebagai berikut:
· Diseminasi informasi konservasi energi mulai dari teknik sampai dengan perubahan gaya hidup ke seluruh sektor pengguna
· Standarisasi peralatan hemat energi dan pemberlakukan insentif dan disinsentif pada peralatan hemat energi, termasuk penerapan mekanisme fiskal terkait
· Penerapan regulasi terkait, contohnya untuk audit energi dan penerapan manajemen energi pada industri dan fasilitas berskala tertentu
Bila berbagai program penghematan energi ini berhasil dengan baik Indonesia diperkirakan dapat melakukan penghematan energi 10-30%. Jepang memperkirakan bahwa dari penghematan energi di sektor rumah tangga saja akan dapat diturunkan emisi gas rumah kaca sebesar 1 kg CO2/orang/hari. Bila teknik perhitungan pengurangan emisi CO2 per-orang seperti yang dilakukan di Jepang diterapkan untuk Indonesia (dengan memperhatikan karakteristik Indonesia), maka potensi penurunan emisi CO2 untuk penduduk kota-kota di Indonesia bisa mencapai 13,286 juta CO2 (atau sekitar 4,4% dari emisi CO2 sektor energi Indonesia tahun 2007)
Di sektor pendidikan, perlu diupayakan agar pendidikan yang terkait dengan sektor energi bisa mendukung program penghematan energi tersebut, misalnya di Jurusan Teknik Arsitektur, mata kuliah ”bangunan hemat energi” perlu diajarkan pada peserta didik.
Transportasi
Perlu dilakukan pembangunan transportasi hemat energi di kota-kota metropolitan dan kota besar serta antar-kota di Pulau Jawa. Pembangunan transportasi massal yang ramah lingkungan, seperti kereta listrik ataupun bus ber-bahan bakar gas, mendesak untuk dikembangkan di perkotaan guna mengurangi emisi gas rumah kaca (baik yang ditimbulkan oleh kendaraan pribadi ataupun peningkatan emisi akibat kemacetan lalu lintas karena kepadatan kendaraan pribadi dan umum). Selain itu, perlu dibangun fasilitas jalan sepeda dan sepeda motor elektrik serta fasilitas pengisian batereinya di kota-kota metropolitan. Untuk kemudahan penggunaan sepeda motor elektrik perlu diberikan insentif dan kebijakan fiskal agar ada investor yang melakukan pembuatan sepeda kendaraan (motor dan mobil) elektrik. Mobil hibrida juga merupakan salah satu satu solusi untuk menekan konsumsi energi sekaligus mengurangi emisi CO2 dari sektor transportasi.
Industri
Sektor industri yang berpotensi mengemisikan CO2 dalam jumlah besar, seperti industri semen, baja, tekstil, pulp dan kertas, harus menerapkan teknologi bersih dan prinsip 5R (rethink, reduce, recycle, recovery, and reuse) guna mengurangi emisi GRK. Hal yang sama juga harus dilakukan oleh sektor pembangkit energi. Perlu dilakukan pengembangan dan penerapan teknologi waste to energy di berbagai industri yang menghasilkan limbah organik yang dapat dijadikan listrik, misalnya pada industri tapioka dan palm oil. Selain itu, penggunaan energi baru dan terbarukan di sektor industri perlu terus diupayakan.
Pembangkit listrik
Untuk sektor pembangkit listrik, penerapan teknologi ramah lingkungan yang menghasilkan emisi gas rumah kaca yang lebih rendah perlu terus ditingkatkan. Dalam penerapan teknologi ramah lingkungan, perlu diberikan berbagai insentif, tidak dikenakannya import tax dan mendorong negara pengekspor untuk tidak menggunakan export tax sehingga upaya ”transfer of technology” dapat dilaksanakan.
Energi baru dan terbarukan
Penggunaan energi baru terbarukan sesuai dengan Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional belum berjalan dengan baik, hal ini dikarenakan harga jual yang tidak bersaing. Oleh karena itu, perlu dilaksanakan kebijakan pemberian insentif dan keringanan fiskal sesuai dengan Perpres No. 5 tahun 2006 Pasal 6 ayat 2 dan 3.
Surya merupakan energi terbarukan yang sangat besar di Indonesia. Menurut Mulyo Widodo, 1 meter persegi sel surya bisa menghasilkan 900 hingga 1000 watt, sedangkan menurut Wilson Wenas, 1 meter persegi sel surya bisa menghasilkan 4500 watt-jam [Brian, 2006]. Riset dan pengembangan pemanfaatan energi surya merupakan salah satu hal yang mendesak untuk segera dilakukan.
Indonesia memiliki potensi gas metana dari penimbunan sampah sebesar 404 juta meter kubik pertahun yang bisa menghasilkan 79 MW listrik dari 70 kota besar di Indonesia. Pada saat ini banyak investor proyek CDM yang tertarik untuk melaksanakan program tersebut namun masih terkendala dengan adanya peraturan yang mengharuskan adanya lelang untuk investor di bidang pengelolaan limbah domestik. Untuk itu perlu diupayakan agar dilakukan peninjauan kembali pelaksanaan Perpres No. 67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur terhadap proyek-proyek CDM pemerintah.
Potensi angin di Indonesia adalah sekitar 9,29 GW dan investasinya cukup rendah dibandingkan energi biomassa yaitu 1000 US$ per kW. Adapun daerah yang mempunyai kecepatan angin yang memadai untuk di pasang energi angin berada di lokasi selatan Pulau Jawa, NTT, NTB, dan di beberapa lokasi di wilayah barat Papua. Diharapkan bahwa Pembangkit Listrik Tenaga Angin tersebut sudah bisa dibangun di NTT pada tahun 2008 dan di NTB pada tahun 2009.
Potensi energi panas bumi di Indonesia adalah sebesar 27 GW, sementara kapasitas terpasang saat ini baru sebesar 817 MW. Semenjak tahun 1994 tidak ada pengembangan energi panas bumi untuk lokasi-lokasi yang baru, terkecuali pengembangan pada lokasi yang sama. Untuk itu sampai dengan tahun 2009 perlu dilakukan penelitian dan pemetaan energi panas bumi yang di overlay dengan kawasan lindung. Pemanfaatan energi panas bumi tidak boleh berbenturan dengan kepentingan konservasi kawasan lindung oleh karenanya perlu diupayakan pembangunan energi panas bumi diluar kawkasan lindung dan tidak menggunakan teknologi ramah lingkungan yang tidak merusak juga kawsan lindung. Oleh karenanya perlu diupayakan pembangunan diluar kawasan lindung dan atau menggunakan teknologi ramah lingkungan yang tidak merusak kawasan lindung.
Penggunaan teknologi ramah lingkungan pada energi fossil perlu dilakukan, misalnya gasifikasi dan pencairan batubara serta penggunaan teknologi carbon capture storage yang telah digunakan di negara-negara maju. Guna mendorong diterapkannya teknologi gasifikasi dan dicairkannya batubara tersebut maka perlu diberikan insentif dan kemudahan lainnya.
Pelaksanaan kebijakan bauran energi perlu memperhatikan potensi masing-masing daerah, misalnya untuk daerah yang memiliki potensi energi angin yang cukup besar maka pembangkit listrik tenaga angin perlu mendapatkan prioritas di daerah tersebut. Sampai dengan tahun 2012 penduduk Indonesia yang mendapatkan aliran listrik ditargetkan mencapai kenaikan 10% dengan mengutamakan pembangunan pembangkit listrik yang berasal dari tenaga surya, angin, biomassa, dan biodiesel.
Berbagai upaya penghematan energi dan penurunan emisi di atas juga perlu diupayakan agar dapat dimasukkan dalam program CDM, sehingga bisa mendapatkan pendanaan dari penjualan karbon. Perlu diupayakan agar jumlah industri yang mendapatkan pendanaan melalui mekanisme CDM bisa mengalami peningkatan minimal sebesar 400% dengan baseline yang sudah disetujui oleh DNA sebesar 20 project. Berkitan dengan hal tersebut, perlu dipermudah regulasi untuk pemanfaatan gas flare menjadi energi listrik sehingga dapat menurunkan emisi gas rumah kaca.
FUEL SWITCHING
Transportasi dan rumah tangga
Dukungan bagi penggunaan gas untuk keperluan rumah tangga dan transportasi perlu ditingkatkan, misalnya pembangunan fasilitas pengisian bahan bakar gas, pembangunan pipa gas ke rumah tangga dan atau pembuatan tungku dan tabung gas yang harganya dapat terjangkau oleh masyarakat. Perlu diberikan kemudahan bagi investor yang bergerak dalam distribusi gas. Selain itu perlu dilakukan sosialisasi perubahan penggunaan kompor minyak tanah dengan kompor gas.
Penggunaan bahan bakar nabati pada kendaraan bermotor juga perlu mendapatkan dukungan dalam bentuk penyediaan bahan bakar nabati dan fasilitas pengisiannya di berbagai tempat. Selain itu perlu diupayakan penggunaan mobil dan motor berlistrik dan direncanakan pada setiap gedung di bangun fasilitas untuk charging baterai. Sedangkan untuk kegiatan industri perlu diupayakan penggunaan energi gas.
Apakah tidak perlu diperhatikan sumber dari bahan bakar nabati, proses mendapatkannya dan apakah memang energy efficient. Bahan bakar nabati yang berasal dari tanaman tertentu yang ditanam dengan menebang atau membakar hutan, bukanlah pilihan baik untuk penurunan emisi perubahan iklim.
3.1.2 Mitigasi Sektor Kehutanan
Selama kurun waktu 2005-2009 kebijakan kehutanan difokuskan pada 5 kebijakan prioritas, yang dalam jangka panjang ditujukan pada tercapainya pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan.
Meskipun tidak secara eksplisit dikaitkan dengan upaya penanggulangan dampak negatif perubahan iklim, namun 5 kebijakan prioritas tersebut dapat berkontribusi positif terhadap upaya stabilisasi GHGs di atmosfir apabila diimplementasikan dengan baik, dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Penanggulangan illegal logging, yang akan berkontribusi dalam pengurangan emisi
2. Rehabilitasi hutan dan lahan dan konservasi akan meningkatkan kapasitas penyerapan carbon (sink enhancement) dan mempertahankan stok carbon (carbon conservation). Konservasi hutan juga berkontribusi pada ketahananan dan adaptabilitas terhadap extreme climate related events
3. Restrukturisasi sektor kehutanan terutama industri dan percepatan pembangunan hutan tanaman (HTI dan HTR) berkontribusi terhadap peningkatan kapasitas hutan dalam penyerapan carbon
4. Pemberdayaan masyarakat di/sekitar hutan, berkontribusi dalam peningkatan awareness terhadap isu perubahan iklim dan adaptabilitas terhadap climate related events
5. Pemantapan kawasan hutan, dengan kejelasan tentang status dan batas kawasan hutan serta kelembagaannya, maka illegal activities menurun yang pada akhirnya berkontribusi dalam pengurangan emisi dan konservasi carbon.
Hutan-hutan yang masih tersisa pada saat ini perlu dipertahankan sedangkan bagi lahan yang akan direhabilitasi perlu ditanam sehingga meningkatkan penyerapan karbon.
Tabel 1.Proyeksi mitigasi sektor LULUCF sampai dengan tahun 2025 (target area 30,2 juta ha lahan kritis dari 59,2 juta ha lahan yang perlu direhabilitasi)
Kegiatan Rehabilitasi Lokasi Kegiatan Luas Lahan (Juta Ha) Perkiraan Serapan CO2(Jtton/thn)
Reforestation Hutan Lindung 3,3 36.960
Reducing Emission
from deforestation Hutan Konversi 5,2 57.200
Reducing Emission
from degradation Hutan Prod Terbatas 3,4 37.400
Hutan Produksi 6,3 69.300
Hutan Konservasi 1,3 14.300
Aforestation Luar Kawasan Hutan 10,7 117.700
Keterangan: Perkiraan serapan karbon didasarkan perhitungan dengan asumsi rehabilitasi dengan Meranti (Shorea leprosula), kerapatan tanaman 200 pohon/ha (Heriansyah, 2006).
Indonesia akan dapat melaksanakan upaya ”avoiding deforestation” dengan melaksanakan moratorium terhadap rencana pengembangan Hak Pengusahaan Hutan, mencegah degradasi dan mempertahankan daerah konservasi bilamana adanya positif insentif dan negara negara industri atau negara Annex I. Disampingi itu diupayakan mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan dengan melaksanakan nasional action plan mencegah kebakaran hutan dan srategi pengelolaan gambut secara berkelanjutan dengan target di tahun 2009 50% hotspot dapat diturunnkan dibandingkan tahun 2006, 75% pada 2012 dan 95% pada 2025.
AKSI SEGERA 2007 – 2009
· Untuk mencapai target 30,2 juta ha lahan rehabiltasi tersebut di atas, harus dilakukan upaya rehabilitasi lahan seluas 1,68 juta ha per tahun (dan dengan mempertimbangkan kerapatan pohon meranti 200 pohon per ha, harus menanam pohon sebanyak 336 juta pohon per tahun). Rehabilitasi tersebut diprediksi akan memiliki potensi serap karbon sebesar 18.480 juta ton CO2 per tahun (18 Miliar ton per tahun).
· Penanaman pohon oleh masyarakat, baik dengan pengaturan oleh pemda maupun secara sukarela perlu terus didorong. Oleh karena itu perlu pengaturan tentang kewajiban penduduk Indonesia untuk menanam satu pohon per-orang. Untuk penebangan pohon yang berdiameter di atas 10 cm wajib mendapatkan izin pemerintah dan pihak penebang memiliki kewajiban untuk menanam 2 pohon untuk mengganti 1 pohon yang ditebang.
Lha ini kalau penduduk tidak punya lahan mengapa dia harus tanam pohon? Dan apakah dia akan mau? Apa insentifnya? Kalau tanam di tanah sendiri dan dia perlu kayu apakah boleh ditebang? Tanpa pertimbangan yang mendasr, rencana aksi seperti ini hanyalah normatif yang tidak akan pernah mencapai target. Kalau di tanah sendiri, kita harus minta ijin pemerintah menebang phon, tidak akan ada orang yang mau menanam pohon.
· Program Menuju Indonesia Hijau (MIH) perlu terus dilaksanakan sebagai upaya untuk memberikan penghargaan terhadap kabupaten yang dapat mempertahankan vegetasinya di kawasan lindung dan menambah tutupan lahan di daerahnya. Insentif untuk kabupaten tersebut hendaknya tidak hanya terbatas pada dana alokasi lingkungan, tetapi juga di tambahkan pendanaan dari program pengentasan kemiskinan, pendidikan dan kesehatan, serta sarana-prasarana lainnya. Dengan mengintegrasikan berbagai program yang memberikan insentif pada kabupaten yang vegetasinya masih baik, maka daerah-daerah tersebut akan terdorong untuk mempertahankan kawasan lindung yang bervegetasi secara berkelanjutan.
· Perlu dilakukan penyerasian peta kawasan hutan dengan rencana pengembangan wilayah, rencana perluasan lahan pertanian dengan BPN, serta dengan memperhatikan kriteria kawasan lindung menurut UU 47 tahun 1997 yang mengatur kawasan lindung dan kawasan budidaya, UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, serta pemekaran wilayah, demikian juga dengan pengembangan pertambangan. Dengan demikian tidak terjadi tumpang tindih peraturan yang menyebabkan terdesaknya kawasan hutan untuk berbagai kepentingan.
· Perlu dilakukan pemetaan geohidrologis, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan penentuan kriteria daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam penataruangan.
RENCANA AKSI 2009 – 2012
· Pelaksanaan upaya preventif sebagaimana dilakukan pada periode 2007-2009 perlu terus diupayakan karena tidak mudah untuk mengubah pola bertani dengan membakar yang secara tradisional telah dilakukan. Penyuluh pertanian, khususnya pada lahan gambut, perlu dibekali pengetahuan untuk hal tersebut. Sistem insentif bagi petani yang membuka lahan tanpa membakar perlu terus di lanjutan.
· Pengelolaan lahan gambut harus dilakukan secara berkelanjutan dengan menggunakan peta yang telah diketahui karakteristiknya. Untuk itu, perlu dibuat tata ruang pengelolaan lahan gambut secara menyeluruh per pulau, sehingga ijin pembukaan kebun dan aktifitas lainnya hanya dapat diberikan oleh bupati dan atau gubernur dan atau menteri berdasarkan tata ruang region per-pulau, bukan tata ruang per-propinsi. Hal tersebut dikarenakan ekosistem gambut tidak dapat dipisahkan secara administrasi.
· Terus melanjutkan Program MIH yang terintergrasi dengan program GERHAN dan program lainnya yang menunjang untuk pemberian insentif. Sosialisasi serta pendidikan tentang penanaman dan pengenalan ekosistem harus terus dijalankan dan diharapkan meluas. Program menanam oleh masyarakat perlu terus dilakukan dan diupayakan untuk masuk ke dalam program CDM .
· Pada periode ini diharapkan sudah muncul keserasian dalam pelaksanaan pengaturan kegiatan pertambangan, pertanian, dan pengembangan wilayah yang didasarkan pada kriteria tata ruang. Selain untuk perlindungan flora, fauna, dan ekosistemnya, hal tersebut juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya bencana lingkungan seperti banjir, longsor maupun dampak lainnya.
· Penegakan hukum harus diterapkan secara adil dan tanpa pandang bulu bagi pemberi ijin ataupun peminta ijin pada semua aktifitas yang melanggar peraturan tata ruang wilayah ekosistem, maupun pembuatan tata ruang daerah yang tidak mengacu pada kriteria tata ruang nasional.
· Ecotourism perlu dikembangkan di berbagai kawasan Indonesia, sebagai salah satu mata pencaharian dan upaya peningkatan pendapatan penduduk setempat.
· Membuat dan melaksanakan program rehabilitasi lingkungan secara terpadu yang sekaligus sebagai upaya pengentasan kemiskinan, misalnya dengan pendekatan pemulihan kualitas air sungai DAS terpadu, pesisir dan laut, program Gerhan yang dimodifikasi dengan meningkatkan peran masyarakat, program MIH, dan insentif untuk peningkatan pendapatan penduduk setempat.
· Tetap melaksanakan program-program pada periode sebelumnya (2007-2009), bahkan harus lebih ditingkatkan, khususnya dalam kebijakan alih fungsi lahan yang mengerogoti hutan. Berbagai upaya untuk menanam kembali serta rehabilitasi lahan kritis yang tersebar secara nasional perlu terus dijaga keberlangsungannya.
· Melaksanakan dan meningkatkan program pemulihan kualitas lingkungan terpadu sebagaimana telah dilaksanakan pada tahun-tahun sebelumnya.
· Mekanisme insentif dalam pengelolaan sektor kehutanan telah dapat diimplementasikan, terutama dalam kaitannya dengan pencegahan deforestasi. Mengatur mekanisme insentif dan disinsentif untuk lahan-lahan tidur yang kepemilikannya dikuasai oleh perorangan, juga melakukan pencabutan Hak Guna Usaha pada lahan tidur di sektor pertanian dan kehutanan.
RENCANA AKSI 2012-2025
· Melakukan evaluasi program-program pada periode sebelumnya, dengan terus melakukan perbaikan dan penyempurnaan.
· Program yang terkait dengan kegiatan ini adalah pelaksanaan program keluarga berencana sehingga pertumbuhan penduduk di Indonesia tidak mendesak perubahan fungsi kawasan hutan menjadi pemukiman dan sarana penunjang lainnya.
· Pemberian pendidikan bagi seluruh masyarakat perlu terus dilanjutkan. Dengan demikian, masyarakat tidak semata-mata bertumpu pada pengeloaan sumber daya alam saja, tetapi bisa mengembangkan mata pencaharian pada bidang-bidang jasa dan ataupun pengelolaan sumber daya alam yang lebih efisien yang tidak mengganggu keseimbangan fungsi lingkungan hidup yang berkelanjutan.
· Penataan ruang yang didasarkan pada keseimbangan ekosistem dan daya dukung serta daya tampung lingkungan perlu segera dilaksanakan dengan tertib. Dengan demikian tidak ada kegiatan-kegiatan yang saling tumpang tindih dan mendesak fungsi kawasan hutan.
· Peningkatan kapasitas hutan dalam penyerapan carbon, dalam lingkup nasional di antaranya melalui pengembangan hutan tanaman (HTI/Hutan Tanaman Industri, HTR/Hutan Tanaman Rakyat, dan HR/Hutan Rakyat), serta rehabilitasi hutan dan lahan kritis. Dan lingkup internasional melakukan penyempurnaan rules, procedures & modalities A/R CDM. (Aforestation/Reforestation Clean Development Mechanism).
· Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi, dalam lingkup nasional melalui PHAL (seperti pemberantasan illegal logging, pencegahan kebakaran hutan, elaksanaan environmentally logging practice), penguatan pengelolaan kawasan konservasi. Dalam lingkup internasional melakukan penyusunan Road Map penanganan REDD di Indonesia dengan tahap pelaksanaan studi dan persiapan COP-13, pelaksanaan pilot activities, testing, dan lesson learnt dan dalam jangka panjang, implementasi penuh.
3.2 ADAPTASI
Indonesia yang terletak di daerah khatulistiwa adalah negara yang sangat rentan terhadap terjadinya perubahan iklim. Beberapa bencana lingkungan yang terkait dengan bencana lingkungan akibat perubahan iklim seperti banjir, longsor, abrasi, badai tropis, dan kekeringan akan mengancam terhadap ketersediaan pangan, energi, dan keamanan sosial masyarakat. Menurut studi ADB yang dilakukan pada tahun 1994, aktifitas dan area yang berpotensi terkena dampak perubahan iklim utamanya adalah daerah pantai, pertanian, kehutanan dan kesehatan manusia. Oleh karenanya perlu dilakukan rencana aksi semenjak 2007 sampai 2050.
Pembangunan nasional dengan agenda adaptasi terhadap dampak perubahan ikim memiliki tujuan untuk menciptakan sistem pembangunan yang tahan (resilience) terhadap variabilitas iklim saat ini (anomali iklim) dan mendatang (perubahan iklim) dan sistem pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan sehingga dapat menghambat laju kerusakan sistemik dari lingkungan biosfer dan sistem sosial-ekonomi bumi.
Berdasarkan tujuan pembangunan, maka agenda adaptasi dalam strategi pembangunan perlu disusun dalam tiga rentang waktu yaitu:
A. Yang bersifat segera:
Membangun kemampuan dan ketahanan dalam menghadapi anomali iklim atau variabilitas iklim saat ini, antara lain dengan cara :
1. Program pengurangan risiko bencana terkait iklim melalui program penghutanan-kembali, penghijauan terutama di kawasan hutan/lahan yang kritis, baik di hulu maupun di hilir (kawasan pesisir), dengan keterlibatan masyarakat;
2. Penyebarluasan informasi perubahan iklim dan informasi adaptasi untuk masyarakat yang rentan sebagai tindakan kesiap-siagaan dini dan peningkatan kesadaran tentang bencana iklim yang semakin meningkat;
3. Peningkatan kesadaran pada berbagai tingkat masayarakat dan kapasitas pengkajian ilmiah;
4. Peningkatan kapasitas untuk mengintegrasikan perubahan iklim kedalam perencanaan, perancanagan infrastruktur, pengelolaan konfril dan pembagian kawasan air tanah untuk institusi pengelolaan air;
5. Pengarus-utamaan adaptasi perubahan iklim kedalam kebijakan dan program di berbagai sector (dengan focus pada pengeloaan bencana, sumberdaya air, pertanian, kesehatan dan industri);
6. Pengembangan isu perubahan iklim dalam kurikulum sekolah menengah dan perguruan tinggi;
7. Memberikan peralatan pada BMG sehingga ramalan cuacanya dapat mencakup seluruh Indonesia dan lebih akurat
B. Jangka menengah dan panjang:
pengembangan sistem infrastruktur dan tata-ruang dan sektor-sektor yang tahap terhadap goncangan iklim dan perubahan iklim dan pengembangan dan penataan kembali tata ruang wilayah.
Secara umum kegiatan adaptasi di sektor air dan infrastruktur mencakup diantaranya:
· Pelaksanaan pembangunan infrastruktur air, jalan&jembatan, permukiman serta prasarana dan sarana umum dan milik perorangan harus berdasarkan kajian/studi AMDAL yang komprehensif mencakup aspek teknis, ekonomi, social dan ekologis. Pada saat aspek yang dicakup dalam AMDAL belum memasukkan dampak dari pelaksanaan kegiatan terhadap peningkatan emisi GRK. PU akan mempertimbangkan kajian AMDAL di masa depan akan memasukkan dampak dari pelaksanaan kegiatan terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca sebagai salah satu kriteria dalam pemberian izin pelaksanaan.
· Peningkatan efisiensi penggunaan air oleh semua sector pengguna melalui kampanye hemat air.
· Kegiatan pemulihan kuantitas dan kualitas aliran sungai pada DAS-DAS kritis melalui penghijauan dan pengelolaan kualitas air secara konsisten yang dilaksanakan secara bertahap
· Inventarisasi daerah irigasi dan tempat pengambilan air baku untuk air minum (intake) yang akan terkena dampak kenaikan muka air laut dan upaya penanganannya/solusinya;
· Pelaksanaan irigasi yang ramah lingkungan, misalnya penerapan SRI (System of Rice Intensification);
· Pengelolaan dampak kenaikan muka air laut dan pengelolaan abrasi pantai;
· Pengelolaan daerah rawa dan lahan gambut yang ramah lingkungan (menekan emisi Gas Rumah Kaca);
· Pengkajian ulang “design criteria” perencanaan semua bangunan air dan drainase.
· Melaksanakan kegiatan-kegiatan pengelolaan bencana yang terkait dengan hidroklimatologi secara efektif dengan melibatkan masyarakat.
· Climate proofing infrastructure yaitu perencanaan dan pelaksanaan infrastruktur yang sudah memperhitungkan dampak dari variabilitas dan perubahan iklim.
RENCANA AKSI 2007 -2009:
· Disepakatinya Strategi Nasional Adaptasi terhadap perubahan iklim untuk mengatasi berbagai dampak yang terjadi di Indonesia, yakni dampak kenaikan muka air laut, dampak terhadap infrastruktur, hutan, sumber daya air, dan kesehatan manusia. Disamping itu perlu direncanakan penelitian nasional untuk memberikan prioritas pengkajian kerentanan dan dampak perubahan iklim lokal dan regional, dan pengembangan teknologi adaptasi untuk mengatasi variabilitas dan perubahan iklim dan kenaikan muka air laut di seluruh kawasan dan sektor. Selanjutnya disusun program atau upaya yang bersifat fisik, biologi, sosial, dan ekonomi guna menekan kerugian dan mengurangi dampak pada sektor pertanian, air, keanekaragaman hayati, infrastruktur, dll.
· BMG perlu dilengkapi dengan peralatan yang dapat memprediksi cuaca secara akurat. Informasi tersebut dapat disampaikan melalui media cetak dan elektronik setiap hari. Sehingga nelayan, petani, dan semua orang dapat merencanakan aktivitasnya dengan baik.
· Melakukan inventarisasi terhadap seluruh bangunan-bangunan yang berada di pantai guna mengantisipasi dampak kenaikan air laut dan gelombang pasang yang bisa menimpa bangunan tersebut. Perlu diperhatikan bahwa kenaikan muka air laut rata-rata di Indonesia adalah 0,8 mm/tahun dan area sejauh 100 -130 m kali gelombang tertinggi merupakan kawasan lindung; dengan demikian perlu dilakukan perencanaan upaya penataan pantai pesisir yang mempunyai resiko besar terhadap dampak perubahan iklim.
· Melakukan penanaman mangrove atau tanaman pantai lainnya di daerah pesisir. Hal ini dilakukan dengan melibatkan penduduk pesisir pantai atau nelayan. Sebagai contoh, di pantai Kabupaten Batang Pekalongan telah dilakukan kegiatan penanaman mangrove oleh nelayan (yang meliputi penyediaan bibit, penanaman, dan pemeliharaan). Di tempat tersebut sekaligus ditebarkan bibit kepiting, sehingga nelayan rajin memelihara mangrove sekaligus kepiting. Setelah mangrove tumbuh baik, jumlah ikan juga meningkat sehingga nelayan tidak perlu melaut terlalu jauh
· Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Perubahan iklim bisa berdampak serius terhadap keanekaragaman hayati tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan inventarisasi keanekaragaman hayati di Indonesia. Perlu dibuat bank genetik berbagai spesies tumbuhan yang ada di tanah air. Dengan demikian kekayaan hayati tersebut dapat dijaga untuk memberikan manfaat bagi bangsa.
· Pada saat ini, 50% penduduk Indonesia adalah petani. Untuk menjamin ketersediaan pangan maka beberapa aspek yang perlu mendapatkan prioritas adalah sebagai berikut:
a. Melakukan analisis dampak anomali iklim terhdap pergeseran musim untuk menentukan awal musim tanam
b. Adanya kebijakan diversifikasi pangan. Daerah, yang penduduknya memakan sagu, jagung, atau beras sebagai makanan pokoknya, perlu melakukan intensifikasi pertanian terhadap jenis makanan pokok tersebut.
c. Perlu perencanaan penyediaan air untuk kegiatan pertanian. Pada musim kemarau, terjadi kekeringan di Jawa sehingga perlu dilaksanakan dan terus ditingkatkan upaya pemulihan DAS secara terpadu baik dengan instansi sektoral dan pemda yang terkait. Tolok ukur upaya pemulihan DAS didasarkan kepada parameter air sungai yang melampaui standard.
d. Dibuat perencanaan yang mendetail tentang kebijakan pengembangan pertanian, dengan memperhatikan kelestarian ekosistem agar dapat dilaksanakan pertanian yang berkelanjutan. Untuk itu perlu dibahas oleh Departemen Pertanian dengan Departemen kehutanan, Departemen PU, BPN, KLH, Departemen Dalam Negeri, dan Bappenas. Dengan demikian pengembangan pertanian dapat direncanakan dan dilaksanakan secara terpadu.
e. Mengembangkan teknologi hemat air dengan mengintensifkan lahan basah saat El Nino dan lahan kering saat La Nina
f. Perlu dilakukan pembahasan tentang peningkatan pendapatan petani dan upaya pemasaran produk pertanian. Hal tersebut bisa dilakukan dengan memberikan kemudahan terhadap informasi harga pasar, kemudahan kredit, dan tersedianya akses transportasi. Pembahasan tersebut perlu dilakukan antara Departemen Pertanian dengan Departemen Perdagangan, Departemen Pekerjaan Umum, serta Departemen Keuangan.
g. Mempromosikan penelitian mengenai varietas-varietas tanaman yang tahan terhadap banjir, kekeringan dan salinitas
h. Perlu kerjasama antara BPPT, LIPI, perguruan tinggi, dan Departemen Pertanian untuk melakukan penelitian tentang bibit unggul yang tahan terhadap perubahan iklim dan memiliki produktivitas yang tinggi untuk luas lahan yang tetap. Dengan demikian tidak terjadi perubahan fungsi tutupan vegetasi atau kawasan hutan menjadi lahan pertanian.
· Adaptasi dalam bidang Infrastruktur dan sumber daya air adalah sebagai berikut:
a. Mengingat intensitas hujan yang tinggi dan atau kekeringan, maka pembuatan jalan perlu dibarengi dengan pembuatan sistem drainase dan sumur resapan dan atau tampungan air di bawah badan jalan.
b. Perlu dibangun jalan-jalan untuk pejalan kaki dan sepeda serta penanaman jalan dengan tanaman peneduh sehingga bisa mendorong masyarakat untuk menggunakan kendaraan tanpa motor ataupun berjalan kaki
c. Desain gedung perlu memperhatikan ketahanan terhadap badai tropis, intensitas hujan yang tinggi, dan kekeringan.
d. Pembangunan jalan perlu memperhatikan tata ruang dan prediksi kenaikan permukaan air laut. Pembangunan akses jalan tersebut perlu dibahas bersama-sama dengan Departemen Perhubungan (yang menangani pelabuhan, kereta api), Departemen Kehutanan, dan Departemen Kelautan dan Perikanan.
e. Meningkatkan daya dukung DAS dengan mencegah kerusakan dan memperbaiki catchment area sebagai daerah resapan air melalui upaya konsrvasi lahan, baik dengan metode mekanis (misal: pembuatan terasering dan sumur resapan) mapun vegetatif
f. Melakukan konservasi air dengan pemanenan air hujan dan aliran air permukaan (rainfall dan run off harvesting) pada musim hujan untuk dimanfaatkan pada saat terjadi krisi air. Pemanenan dilakukan dengan menampung air hujan dan runoff melalui pembuatan embung
g. Mengembangkan teknologi dam parit yang dibangun pada alur sungai untuk menambah kapasitas tampung sungai, memperlambat laju aliran dan meresapkan air ke dalam tanah (recharging). Teknologi ini dianggap efektif karena secara teknis dapat menampung vlume air dalam jumlah relatif besar dan mengairi areal yang relatif luas karena dapat dibangun berseri (cascade series)
· Adaptasi dalam bidang kesehatan adalah sebagai berikut:
a. Perlu dilakukan penyuluhan kesehatan untuk seluruh masyarakat khususnya upaya preventif untuk perbaikan sanitasi lingkungan. Dengan demikian berbagai penyakit terkait dengan dampak perubahan iklim, seperti malaria, DBD, dan penyakit tropis lain yang tersebar melalui pergerakan angin dapat diantisipasi.
b. Melakukan penelitian untuk mengidentifikasi jenis-jenis penyakit yang bisa ditimbulkan sebagai dampak perubahan iklim. Perlu juga dilakukan penelitian yang mampu menghasilkan obat-obatan yang menggunakan bahan baku dalam negeri (memanfaatkan keanekaragaman hayati) sehingga penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh perubahan iklim telah disiapkan lebih awal pengobatannya.
· Adaptasi dalam bidang pengairan adalah sebagai berikut:
a. Mengingat pada musim hujan terjadi banjir dan pada musim kemarau terjadi kekeringan, serta kualitas air yang sudah tercemar, maka perlu dilakukan upaya pemulihan daerah aliran sungai dengan memperhatikan kualitas air sungai secara terpadu antar kabupaten, propinsi, dan instansi sektor terkait. Hal ini juga perlu dikaitkan dengan pengembangan wilayah pesisir pantai, contohnya daerah aliran sungai Ciliwung sampai Teluk Jakarta. Ditargetkan untuk menerbitkan peraturan presiden tentang Pemulihan Kualitas Lingkungan Daerah Sungai Ciliwung sampai Teluk Jakarta.
b. Melakukan penelitian geohidrologi untuk mengetahui cekungan-cekungan air tanah, sehingga dapat dibangun dan dipertahankan situ-situ, danau-danau, dan pembangunan resapan air serta penampungan air, baik di gedung-gedung maupun di dalam tanah. Perlu dilakukan pengawasan terhadap kewajiban pemiliki gedung untuk membuat resapan air dan penampungan air.
c. Perlu dilakukan penelitian untuk menghasilkan teknologi yang dapat memanfaatkan air laut menjadi air yang dapat diminum dan melakukan daur upaya daur ulang air.
d. Pembangunan saluran irigasi (untuk tambak dan sawah pasang surut) harus disesuaikan dengan pengembangan wilayah atau tata ruang secara regional, termasuk dengan prediksi kenaikan permukaan air laut.
· Adaptasi pada sektor perikanan adalah sebagai berikut:
a. Perlu sosialisasi kepada nelayan tentang cara pemanfaatan informasi cuaca dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG). Nelayan perlu diberikan bantuan kapal bermotor yang dapat membantu kapal nelayan mengarungi ombak yang tidak dapat dilayari menggunakan kapal tanpa motor.
b. Perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh perubahan iklim terhadap budidaya ikan. Diperkirakan bahwa perubahan iklim bisa mengurangi jenis ikan sampai 20-30%.
c. Perlu dibangun pemukiman nelayan yang desainnya telah mengantisipasi kenaikan permukaan air laut (termasuk sistem sanitasi dan air bersih). Perlu dibangun sistem peringatan dini dan tempat evakuasi bilamana terjadi kenaikan air laut dan gelombang pasang yang tinggi.
· Adaptasi pada pengelolaan lahan gambut adalah sebagai berikut:
a. Perlu perencanaan dan pelaksanaan strategi nasional pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan.
b. Inventarisasi daerah lahan gambut sesuai dengan karakteristiknya dan perlu dibuat penataan ruang lahan gambut sesuai karakteristik tersebut.
c. Melakukan rehabilitasi pengelolaan air di daerah lahan gambut pada kanal-kanal terbuka dengan membangun sistem buka tutup pada kanal tersebut.
RENCANA AKSI 2009 – 2012
· Dilaksanakannya Strategi Nasional Adaptasi terhadap perubahan iklim yang telah memuat berbagai dampak yang terjadi di Indonesia, yakni dampak kenaikan muka air laut, terhadap infrastruktur, hutan, sumber daya air, dan kesehatan manusia.
· Melakukan rekonstruksi terhadap bangunan-bangunan yang berada di pantai dengan memperhatikan kenaikan muka air laut dan terjadinya gelombang pasang.
· Telah mulai beroperasinya bank genetik untuk menjaga keanekaragaman hayati berbagai spesies tumbuhan yang ada di tanah air.
· Adaptasi dalam bidang pertanian:
a. Pelaksanaan kebijakan diversifikasi pangan.
b. Pembangunan sistem pengairan yang dapat mengantisipasi dampak perubahan iklim. (sistem ini apa misalnya? Bagaimana kriterianya?)
c. Mulai dilaksanakannya perencanaan yang mendetail tentang kebijakan pengembangan pertanian, dengan memperhatikan kelestarian ekosistem agar dapat dilaksanakan pertanian yang berkelanjutan.
d. Dimulainya berbagai upaya untuk meningkatkan pendapatan petani.
e. Dilakukannya berbagai penelitian tentang bibit unggul yang tahan terhadap perubahan iklim dan memiliki produktivitas tinggi untuk luas lahan yang tetap.
· Adaptasi dalam bidang Infrastruktur adalah sebagai berikut:
a. Pembangunan jalan dan akses transportasi lainnya yang memperhatikan tata ruang dan prediksi kenaikan permukaan air laut.
· Adaptasi dalam bidang kesehatan adalah sebagai berikut:
a. Dimulainya berbagai penelitian untuk mengidentifikasi jenis-jenis penyakit yang bisa ditimbulkan sebagai dampak perubahan iklim serta obatan-obatan untuk menanggulanginya.
· Adaptasi dalam bidang pengairan adalah sebagai berikut:
a. Ditargetkan untuk melakukan pemulihan kualitas lingkungan Daerah Sungai Citarum dan Cisadane.
b. Telah dibangun situ-situ, danau-danau, dan pembangunan resapan air serta penampungan air, baik di gedung-gedung maupun di dalam tanah.
c. Telah dihasilkan teknologi yang dapat memanfaatkan air laut menjadi air yang dapat diminum.
· Adaptasi pada sektor perikanan adalah sebagai berikut:
a. Perlu dilaksanakannya rekomendasi dari hasil penelitian tentang pengaruh perubahan iklim terhadap budidaya ikan.
b. Dibangunnya pemukiman nelayan yang desainnya telah mengantisipasi kenaikan permukaan air laut (termasuk sistem sanitasi dan air bersih). Telah dibangun sistem peringatan dini dan tempat evakuasi bilamana terjadi kenaikan air laut dan gelombang pasang yang tinggi.
· Adaptasi pada pengelolaan lahan gambut adalah sebagai berikut:
a. Diselesaikannya penyusunan strategi nasional pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan.
b. Rehabilitasi pengelolaan air di daerah lahan gambut pada kanal-kanal terbuka dengan membangun sistem buka tutup pada kanal tersebut.
RENCANA AKSI 2012 – 2025
· Tetap dipertahankannya komitmen dalam Strategi Nasional Adaptasi terhadap perubahan iklim yang telah memuat berbagai dampak yang terjadi di Indonesia, yakni dampak kenaikan muka air laut, dampak terhadap infrastruktur, hutan, sumber daya air, dan kesehatan manusia.
· Melakukan rekonstruksi terhadap bangunan-bangunan yang berada di pantai dengan memperhatikan kenaikan muka air laut dan terjadinya gelombang pasang.
· Bank genetik telah beroperasi secara penuh untuk menjaga keanekaragaman hayati berbagai spesies tumbuhan yang ada di tanah air.
· Adaptasi dalam bidang pertanian:
a. Evaluasi dan penguatan kebijakan diversifikasi pangan.
b. Sistem pengairan yang dapat mengantisipasi dampak perubahan iklim telah terbangun di berbagai daerah.
c. Kebijakan pengembangan pertanian telah dilaksanakan dengan memperhatikan kelestarian ekosistem agar dapat dilaksanakan pertanian yang berkelanjutan.
d. Pendapatan petani telah mengalami peningkatan sebanyak 100%.
e. Telah dihasilkan berbagai bibit unggul yang tahan terhadap perubahan iklim dan memiliki produktivitas yang tinggi untuk luas lahan yang tetap.
· Adaptasi dalam bidang Infrastruktur adalah sebagai berikut:
a. Jalan dan akses transportasi yang memperhatikan tata ruang dan prediksi kenaikan permukaan air laut telah dibangun di berbagai lokasi yang kemungkinan besar terkena dampak langsung kenaikan air laut
· Adaptasi dalam bidang kesehatan adalah sebagai berikut:
a. Telah teridentifikasinya jenis-jenis penyakit yang bisa ditimbulkan sebagai dampak perubahan iklim serta telah dihasilkan obatan-obatan untuk menanggulanginya.
· Adaptasi dalam bidang pengairan adalah sebagai berikut:
a. Ditargetkan untuk melakukan pemulihan kualitas lingkungan Daerah Sungai Bengawan Solo, Sungai Siak, dan Sungai Mas. (mengapa hanya tiga DAS ini?)
b. Pembangunan situ-situ, danau-danau, dan pembangunan resapan air serta penampungan air, baik di gedung-gedung maupun di dalam tanah tetap dilaksanakan secara konsisten.
c. Telah diterapkannya teknologi yang dapat memanfaatkan air laut menjadi air yang dapat diminum.
· Adaptasi pada sektor perikanan adalah sebagai berikut:
a. Pembangunan pemukiman nelayan yang desainnya telah mengantisipasi kenaikan permukaan air laut (termasuk sistem sanitasi dan air bersih) di seluruh pesisir selatan Jawa. Telah dibangun sistem peringatan dini dan tempat evakuasi bilamana terjadi kenaikan air laut dan gelombang pasang yang tinggi di berbagai daerah yang berpotensi terkena dampak perubahan iklim tersebut.
· Adaptasi pada pengelolaan lahan gambut adalah sebagai berikut:
a. Dilaksanakannya strategi nasional pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan.
b. Rehabilitasi pengelolaan air di daerah lahan gambut pada kanal-kanal terbuka dengan membangun sistem buka tutup pada kanal tersebut.
RENCANA AKSI 2025 – 2050
· Evaluasi dan revitalisasi Strategi Nasional Adaptasi terhadap perubahan iklim yang telah memuat berbagai dampak yang terjadi di Indonesia, yakni dampak kenaikan muka air laut, dampak terhadap infrastruktur, hutan, sumber daya air, dan kesehatan manusia.
· Melakukan rekonstruksi terhadap bangunan-bangunan yang berada di pantai dengan memperhatikan kenaikan muka air laut dan terjadinya gelombang pasang.
· Bank genetik telah beroperasi secara penuh untuk menjaga keanekaragaman hayati berbagai spesies tumbuhan yang ada di tanah air.
· Adaptasi dalam bidang pertanian:
a. Melanjutkan kebijakan diversifikasi pangan yang telah dievaluasi.
b. Pendapatan petani minimal setara dengan rata-rata pendapatan karyawan di Indonesia.
· Adaptasi dalam bidang Infrastruktur adalah sebagai berikut:
a. Pemeliharaan terhadap jalan dan akses transportasi yang telah memperhatikan tata ruang dan prediksi kenaikan permukaan air laut.
· Adaptasi dalam bidang kesehatan adalah sebagai berikut:
a. Penyakit yang ditimbulkan akibat perubahan iklim dapat ditanggulangi
· Adaptasi dalam bidang pengairan adalah sebagai berikut:
a. Ditargetkan untuk melakukan pemulihan kualitas lingkungan Daerah Sungai di luar Pulau Jawa.
b. Pembangunan situ-situ, danau-danau, dan pembangunan resapan air serta penampungan air, baik di gedung-gedung maupun di dalam tanah tetap dilaksanakan secara konsisten.
· Adaptasi pada sektor perikanan adalah sebagai berikut:
a. Pembangunan pemukiman nelayan yang desainnya telah mengantisipasi kenaikan permukaan air laut (termasuk sistem sanitasi dan air bersih) di seluruh daerah pesisir. Telah dibangun sistem peringatan dini dan tempat evakuasi bilamana terjadi kenaikan air laut dan gelombang pasang yang tinggi di berbagai daerah yang berpotensi terkena dampak perubahan iklim tersebut.
· Adaptasi pada pengelolaan lahan gambut adalah sebagai berikut:
a. Evaluasi dan revitalisasi strategi nasional pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan.
Seluruh RAN ini tidak jelas tempatnya dalam perencanaan pembangunan nasional. Tanpa diletakkan dalam kerangka pembangunan, bagaimana sektor akan menerapkan? Dananya darimana? Apakah bahkan mereka menerima RAN ini? Proses apa yang dilakukan agar sektor di luar RAN menerima dan menerapkan RAN secara konsisten?
Posted by WALHI BALI at 6:32 PM 4 comments