Tuesday, April 19, 2011

Belajar Dari Tsunami Jepang, Moratorium Kawasan Pesisir Bali

Denpasar - Jepang diterjang gempa yang disusul dengan tsunami beberapa saat lalu. Kejadian tersebut seharusnya menjadi bahwan refleksi bagi masyarakat Bali terutama para pengambil kebijakan dan maupun investor.

Bali yang merupakan provinsi yang terdiri dari gugusan pulau-pulau kecil sangatlah rentan terhadap bencana. Maka disinilah letak relevansi Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRW) Provinsi Bali. Demikian dikatakan oleh Agung Wardana, peneliti hukum lingkungan dari WALHI Bali Institute.

Penegakan Perda RTRW Bali menjadi upaya pertama dalam mitigasi kebencanaan. Karena peraturan tata ruang wilayah yang telah ditetapkan tersebut dengan jelas menyatakan bahwa salah satu tujuannya adalah untuk mempersiapkan Bali dari segala kemungkinan bencana.

Agung memberikan contoh tentang sempadan pantai yang dipatok 100 meter salah satunya. Menurutnya, meski jauh dari sempurna, aturan sempadan pantai ini bertujuan untuk memberikan ruang bagi gelombang pasang maupun tsunami agar tidak menimbulkan kerusakan dan ancaman keselamatan manusia.

“Aturan sempadan tidak lahir begitu saja, karena ia meletakkan keselamatan manusia sebagai prioritas. Karena Bali pulau kecil maka sangat rentan terhadap ancaman badai, naiknya permukaan air laut akibat perubahan iklim hingga tsunami,” ungkapnya.

Jika terjadi tsunami yang menimbulkan korban jiwa atau harta benda, maka pemerintah dapat digugat oleh masyarakat korban. Pemerintah dapat dianggap gagal melindungi keselamatan warga karena kelalaiannya dalam melakukan mitigasi saat masih ada cukup waktu untuk melakukannya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, “melindungi keselamatan manusia adalah jauh lebih penting dari pada terus menerus melakukan pembangunan fasilitas pariwisata di kawasan pesisir yang hanya menguntungkan para investor.”

Dalam kesempatan yang sama, Gendo Suardana selaku kordinator Forum Peduli Gumi Bali mendesak para Bupati/Walikota untuk melakukan moratorium pembangunan pariwisata di kawasan pesisir. Hal ini konsisten dengan perjuangan forum dan mengikuti ketentuan dalam Perda RTRW Bali dan peraturan Gubernur.

“Kejadian di Jepang menunjukkan bahwa alam berpihak pada perjuangan masyarakat Bali dalam mendukung penegakan perda. Saatnya masyarakat Bali bangkit dan menyatakan bahwa kita tidak ingin jadi korban tsunami akibat salah urus pembangunan pesisir oleh pemerintah kabupaten/kota,” ungkap aktivis yang pernah dipenjara karena membakar gambar Presiden SBY tersebut. (yga)

Thursday, February 25, 2010

Menegakkan Kedaulatan Pangan, Solusi Mengatasi Krisis Pangan

Permasalahan pangan adalah sesuatu yang menjadi permasalahan Negara – Negara di dunia dalam memenuhi pasokan pangan dalam negerinya. Disaat produksi dan tingkat konsumsi pangan mencapai tingkat tertinggi yang tercatat dalam sejarah kehidupan manusia, namun disaat yang sama juga dunia mengalami bencana kelaparan terparah di sepanjang sejarah manusia. Ini sangat ironi sekali disaat produksi pangan mencapai puncak tertinggi kenapa kelaparan masih terjadi. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa sebenarnya yang menghabiskan pangan tersebut???
Krisis pangan adalah masalah klasik bangsa ini, sebuah ironi bagi negara agraris yang tanahnya subur dan gemah ripah loh jinawi. Krisis pangan saat ini terjadi dimana kebutuhan pangan Indonesia telah tergantung kepada impor, dan harganya naik tak terkendali. Namun harus diperhatikan, bahwa krisis pangan yang terjadi di Indonesia bukanlah sebab yang akan berdampak pada hal lain (kemiskinan, pengangguran). Fenomena ini adalah sebuah akibat dari kebijakan dan praktek privatisasi, liberalisasi pertanian dan ekonomi. Dengan adanya praktek privatisasi Negara dan rakyat tidak memiliki kedaulatan untuk mengatur produksi, konsumsi dan distribusi disektor pangan, saat ini sector pangan kita dikuasai oleh segelintir korporasi raksasa. Pada intinya petanilah yang menjadi korban, dengan biaya produksi yang tinggi dan hasil panen yang tidak seberapa.
Krisis pangan juga disebabkan oleh Liberalisasi kebijakan dan praktek yang menyerahkan urusan pangan kepada pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO). Akibatnya negara dikooptasi menjadi antek perdagangan bebas. Negara ini pun melakukan upaya liberalisasi terhadap hal yang harusnya merupakan state obligation terhadap rakyat. Market access Indonesia dibuka lebar-lebar, bahkan hingga 0 persen seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998). Sementara domestic subsidy untuk petani kita terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan insentif harga). Di sisi lain, export subsidy dari negara-negara overproduksi pangan seperti AS dan Uni Eropa—beserta perusahaan-perusahaannya—malah meningkat. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik kita hancur (1995 hingga kini). Hal ini jelas membunuh petani kita
Deregulasi; beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka. Hal ini semakin parah dengan tidak diupayakannya secara serius pembangunan koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan.
Pemerintah terkesan masih setengah hati untuk menyelamatkan pertanian dalam negeri, hal ini terlihat dari kebijakan – kebijakan yang sama sekali tidak berpihak kepada petani, jika pemerintah serius untuk memajukan perekonomian dalam negeri maka pembenahan yang pertama harus dilakukan adalah disektor pertanian sebab sebagian besar penduduk Indonesia bergantung dari sector ini. Biaya produksi yang terlalu tinggi dan hasil panen yang tidak memadai, pajak yang terlalu tinggi, masalah air menjadi kendala petani kebanyakan, lebih – lebih sekarang pemerintah Indonesia sudah menandatangani perdagagangan AFTA yang sangat berpeluang untuk menghancurkan sector pertanian sebagai secktor penghasil pangan kita dikarenakan masuknya barang2 luar yang harganya pasti lebih murah.
Bali sendiri sudah mengalami kerawana panganan yang disebabkan meningkatnya kebutuhan beras tanpa diimbangi dengan peningkatan produksi beras. Pada 2004, jumlah produksi beras yang dihasilkan oleh seluruh petani Bali mencapai 498.224 ton atau mengalami penurunan sebesar minus 0,62 persen dari tahun 2003. Sedangkan konsumsi beras yang dibutuhkan oleh masyarakat Bali tahun 2004 mencapai 396.618,87 ton atau mengalami peningkatan sebesar 0,29 persen dari tahun 2003 yang mencapai 395.460 ton.
Sementara luas lahan persawahan di Bali pada 2005, jika dibandingkan dengan 2004 mengalami penurunan sebesar 1,08 persen atau 885 hektar. Tahun 2006, luas sawah Bali yakni 80.997 hektar mengalami penurunan sekitar 213 hektar. Hal ini disebabkan oleh cepatnya alih fungsi lahan untuk kawasan pertokoan, perumahan, villa, hotel dan lain sebagainya . Jika ini dibiarkan terus menerus tidak dapat diragukan lagi pertanian Bali akan mengalami koleps dan Bali akan mengalami krisis pangan. Mengingat sekarang Bali belum bisa memenuhi pasokan pangannya dan masih bergantung dari luar yakni dari Jawa
Untuk itu pemerintah Bali harus segera melakukan moratorium (jeda) alih fungsi lahan produktif. Jeda ini dilakukan dengan jalan menghentikan sementara waktu ekspansi dari investasi yang boros lahan dan boros sumber daya alam. Pada saat jeda dilakukan, kegiatan pembangunan lebih diarahkan pada penyelesaian konflik agraria dan konflik perebutan sumber daya alam; melakukan evaluasi atas daya dukung dan daya tampung Bali; melakukan penataan kerusakan sendi kehidupan dan lingkungan hidup akibat kesalahan pengelolaan tanah Bali selama ini; dan menyusun cetek biru pembangunan Bali kedepan yang lebih baik, adil dan berkelanjutan dengan pendekatan bio-regionalisme.
Pada saat jeda, kegiatan pembangunan juga dilakukn dengan mengeluarkan kebijakan perlindungan (konservasi) lahan produktif untuk menjamin ketersediaan pangan dan mewujudkan kedaulatan pangan di Bali. Kebijakan tersebut memuat antara lain pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi lahan pertanian di wilayah konservasi yang dimiliki oleh petani kecil, mendorong pertanian berkelanjutan dengan meninggalkan pertanian berbasis agrokimia dan transgenik menuju pertanian organik; melakukan perlindungan kawasan ekologi genting Bali, yakni kawasan hutan, danau, daerah aliran sungai, pesisir dan pulau-pulau kecil Bali. ( Andy_Walhi Bali )

Wednesday, February 10, 2010

STOP!!!! MEMAKU POHON

Genderang Pemilu Kada di Bali sudah di tabuh…. Seperti biasa setiap “ musim” pemilihan umum banyak sekali atribut – atribut yang dipakai baik itu bendera Parpol, Baliho dan alat kampanye lainnya. Pemasangannya pun bisa dimana saja mulai dari perempatan jalan, pasar, Fasilitas Umum dan Pohon pun tidak luput sebagai tempat untuk menempelkan “ Papan Iklan” tersebut. Sehingga suasana kota berubah menjadi ramai oleh pemasangan baliho calon dan atribut partainya. Pemerintah sudah mengatur tempat yang mana saja boleh di pasangi atribut kampanye dan mana yang tidak boleh… para tim sukses seenaknya saja memasang atribut kampanye tersebut sesuka hatinya sehingga satu tempat terdapat berjubel – jubel atribut kampanye dari calon yang berbeda.
Selintas hal seperti ini sudah menjadi pemandangan biasa bagi masyarakat melihat merebaknya atribut kampanye dimana – mana, Tetapi secara estetika tentu saja pemandangan semacam itu sangat merusak keindahan kota… lebih – lebih pemasangan atribut kampanye tersebut di PAKU DI POHON yang sangat bertentangan dengan etika Bali yang begitu memanusiakan tumbuhan sebagai bagian dari kehidupan manusia Bali sendiri ( Ritus Tumpek BUBUH ). Ritus Tumpek Bubuh ini tidak dimaknai sebagai prilaku hidup tetapi hanya sebatas ritual saja… sangat menyedihkan sekali budaya yang begitu luhur di campakkan begitu saja demi kepentingan “ Politik “.
Ada beberapa apasan kenapa Walhi Bali mengecam pemasangan atribut kampanye dengan cara memaku pohon :
1.Sangat bertentangan dengan etika masyarakat Bali ( ritus tumpek bubuh ) yang memanusiakan pohon atau tumbuh – tumbuhan, memaku pohon berarti menyakiti pohon tersebut.
2.Secara estetika merusak keindahan kota
3.Secara logika ketika Pohon di paku, maka akan menimbulkan lobang, lobang tersebut akan mengundang binatang, ulat penggerek batang untuk datang, lama kelamaan ulat tersebut akan mengrek habis batang pohon tersebut yang menyebkan pohon itu busuk dan lapuk, dan ketika musim angina kencang maka pohon akan tumbang bila menimpa orang siapa yang akan bertanggung jawab????? ( andy_walhi bali )

PEMERINTAH GAGAL MENGHENTIKAN DEFORESTASI

Laju deforestasi di indonesia dewasa ini kian hari kian memprihatinkan, Indonesia adalah Negara dengan laju deforestasi tercepat di seluruh dunia. Setiap menit area hutan setara dengan luas lima lapangan sepak bola dihancurkan sebagian besar untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit dan pulp and paper, atau rata-rata 1,8 juta hektar hutan per tahun. Kondisi ini menempatkan Indonesia sebagai Negara penghasil emisi gas rumah kaca ketiga terbesar di dunia setelah China dan Amerika Serikat.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan komitment presiden SBY yang menyatakan bahwa mengurangi emisi Indonesia hingga 26% pada 2020, komitmen ini hanyalah isapan jempol belaka yang tidak ada program nyata untuk menghentikan deforestasi di Indonesia. Bahkan lebih – lebih pengeluaran ijin HPH untuk pulp, perkebunan kelapa sawit harus kian meluas. Program seratus hasi pemerintahan presiden SBY sama sekali tidak menunjukkan hasil apa – apa untuk menurunkan emisi lebih – lebih menahan laju deforestasi. Hal ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menghentikan laju deforestasi di Indonesia.
Untuk menekan laju deforestasi perlu adanya langkah – langkah yang harus di ambil pemerintah yakni :
1. Jeda tebang, menghentikan sementara aktivitas penebangan agar hutan dapat memperbaiki dirinya.
2. Stop pemberian Ijin HPH, dan pencabutan Ijin kepada Perusahan yang bermasalah.
3. Menghentikan penjahat hutan dan antek2nya dengan cara penegakan hukum dan sanksi yang tegas.
4. Pemberdayaan masyarakat pinggiran hutan atau masyarakat adat untuk menjaga hutan
( andy_walhi bali)

Sunday, February 7, 2010

Pengelolaan Sampah Berbasis Lingkungan

Permasalahan sampah tidak dapat terlekkan terutama di daerah perkotaan yang memiliki tingkat pertumbuhan dan jumlah penduduk yang tinggi yang pastinya akan menghasilkan sampah baik itu sampah rumah tangga maupun sampah industri. Konsekunsi dari permasalahan tersebut juga akan menimbulkan permasalahan lain seperti permasalhan pencemaran Tanah, air dan udara.
Selama ini pelayanan penanggulangan permasalahan sampah oleh pemerintah tidak menyelesaikan permasalahan, tetapi hanya memindahkan permasalahan dan sama sekali tidak menjadi solusi atas permasalahan sampah yang terjadi. Dinas Kebersihan dan Pertamanan kota maupun kabupaten hanya memindahan sampah dari tempat pembuangan sementara ke tempat pembuangan akhir yang pada akhirnya akan menumpuk di TPA tersebut. Bahkan dari tahun ketahun areal TPA makin meluas dan memakan daerah konservasi, seperti yang terjadi di TPA Suwung luas TPA sudah memakan areal mangrove yang notabene adalah daerah konservasi.
Untuk mengurangi permasalahan sampah tersebut saya mengajukan beberapa jalan keluar yakni :
1. Stop Buang Sampah sembarangan, permasalahan sampah bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja melainkan kita semua, di Bali kesadaran untuk tidak membuang sampah sembarangan masih kurang hal ini terlihat dari serakan sampah di jalanan, mulailah berlangganan sampah lebih baik menyisihkan sedikit uang dari pada membuang sampah di got, lahan kosong ataupun membakarnya, bagi anda pengguna kendaraan roda empat mulailah mengisi kendaraan anda dengan tempat sampah sehingga sampah bisa terkumpul disana.
2. Pemerintah harus mendorong atau membangun tempat pabrik kompos ( dalam skala kecil ) di masing2 Tempat pembuangan sementara, sehingga masyarakat bisa memilah – milah sampah dan mana sampah organic, plastic, kaca dan sebagainya sehingga sampah memberikan nilai ekonomis kepada mayarakat.
3. Dengan cara 4 R yaitu :
a. Reduce yakni bagaimana kita mengurangi pemakaian bahan2 yang susah terurai seperti plastic, karet dan sebagainya
b. Reuse yakni memakai kembali barang – barang yg masih bisa dipergunakan seperti tas platik dan dalam konteks Bali memakai kembali bahan2 upacara yang masih bisa dipergunakan sehingga dapat mengurangi sampah setelah upacara dan menghemat sumber daya alam.
c. Recylce yakni daur ulang sampah seperti sampah palstik yang di daur ulang menjadi tas, kertas bekas atau Koran bisa juga di daur ulang menjadi kertas ataupun kerajinan.
d. Replace yakni mengganti penggunaan bahan seperti tas plastic menjadi keranjang untuk ibu – ibu yang berbelanja di pasar, atau mengganti kertas di kantor anda dengan kertas daur ulang. ( Andy_ walhi bali )

Friday, February 5, 2010

UU LALIN NOMOR 22 TAHUN 2009 BERTENTANGAN DENGAN SEMANGAT UNTUK HEMAT ENERGI ( DIET KARBON )

UU LALIN NOMOR 22 TAHUN 2009 BERTENTANGAN DENGAN SEMANGAT UNTUK HEMAT ENERGI ( DIET KARBON )

Presiden SBY telah menandatangani UU Lalin No 22 Tahun 2009 pada tanggal 22 Juni 2009 sebagai pengganti UU tahun 1992. Salah satu pasalnya adalah pasal 293 yang menyatakan bahwa setiap pengguna motor wajib menyalakan lampu utama motor pada siang ataupun pada malam hari. Itu berarti setiap pengguna kendaraan roda dua harus menyalakan lampu utama kendaraannya pada siang hari jika tidak mau ditilang sebesar Rp. 250.000 ( dua ratus lima puluh ribu rupiah ) atau kurungan paling lama 15 hari.
Hal ini bertentangan dengan semangat untuk hemat energi ditengah – tengah pemanasan global yang melanda seluruh dunia yang mewajibkan setiap Negara – Negara menurunkankan emisinya salah satunya dengan cara hemat energi ( diet karbon ). Ada beberapa alasan mendasar yang menyebabkan pasal 239 itu bertentangan dengan semangat hemat energi yaitu : pertama jika lampu kendaraan dihidupkan terus menerus tentu akan memperpendek umur bola lampu itu sendiri sehingga harus sering mengganti bola lampu yg berarti konsumsi bola lampu meningkat dan sampahnya pun meningkat, kedua menghidupkan lampu juga akan berpengaruh kepada Aki motor tersebut sehingga harus sering di charge dan umurnya pun bertambah pendek yang akan berpengaruh ke konsumsi aki dan sampahnya yang akan menumpuk. Ketiga menghidupkan lampu akan meningkatkan pembakaran yang akan berakibat boros BBM.
Untuk itu satu pasal ini perlu dikaji ulang agar tidak mengurangi semangat hemat energi ( diet karbon ) dan tentu saja tidak mengurangi semangat untuk tertib berlalu lintas. ( andy… walhi bali.. )

PILIH BUPATI ATAU WALIKOTA YANG PRO LINGKUNGAN

Semakin masivnya kerusakan lingkungan yang terjadi di Bali belakangan ini ternyata tidak membuat isu lingkungan menjadi isu yang “ sexy “ untuk kampanye pemilihan kepala daerah. Sehingga ada kesan bahwa lingkungan hanya sebagai obyek saja bukan sebagai subyek yang sama memiliki kontribusi bagi kehidupan. Masih ada anggapan bahwa manusialah yang akan memberikan pemaknaan dan nilai terhadap alam dan alam hanya sebagai obyek pemuas keinginan manusia.
Pemilihan kepala daerah hanya merupakan ajang perebuatan kekuasaan tak lebih dari itu tidak heran para calon dan tim suksesnya sudah mulai bersafari kemasyarakat untuk memperloleh simpati hati rakyat dengan berbagai iming – iming yang di janjikan. Dari tahun ketahun pola yang di lakukan oleh calon ini tidak begitu banyak mengalami perubahan berarti, ingat berjanji tapi lupa menepati…. Ya rupanya para pemimpin kita mudah sekali terkena sindroum amnesia. Dari janji- janji yang dijanjikan sangat jarang atau tidak sama sekali mereka mencantumkan isu lingkungan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah calon pemimpin kita memiliki kepedulian terhadap lingkungan? Ditengah – tengah semakin kompleksnya permasalahan lingkungan yang terjadi.Beberapa tahun belakangan ini ada beberapa ijin pembangunan yang dikeluarkan oleh penguasa yang berpotensi merusak lingkungan. Ini semakin menegaskan pemimpin kita tidak Pro lingkungan. Tri H ita Karana hanya sebagai lip service saja tidak pernah diimplementasikan. Sebenarnya kita bisa belajar banyak dari local jenius budaya kita, khususnya budaya Bali. Seperti perayaan Tumpek Wariga atau tumpek Bubuh dan Tumpek Kandang yang merupakan upacara menghormati tumbuh – tumbuhan dan binatang. Secara filosofi kita memanusiakan tumbuhan dan binatang sebagai suatu bagian dari hidup kita. Hal ini sejalan dengan teori ekosintrisme yang berpandangan bahwa lingkungan adalah setiap mahkluk hidup yg ada di ekosistem ini memilki nilai, dan hak untuk hidup.
Dapat dibayangkan bagaimana jadinya kalo kita dipimpin oleh seorang bupati atau walikota yang tidak peduli lingkungan. Akan banyak sekali kebijakan yang mengatas namakan PAD yang berpotensi merusak lingkungan, Villa dikawasan Konservasi, Daerah Resapan, Kawasan Suci yang menutup akses kita untuk menikmati alam bebas, melakuan ritual dan sebagainya yang merupakan hak setiap warga bukan di Privatisasi
Sebelum memilih mari kita tahu lebih jelas siapa calon pemimpin kita, jangan sampai karena Uangkita mengorbankan lingkungan kita. Cari tahu bagaimana track recordnya… jangan beranggapan siapapun yg terpilih tidak merubah nasib kita …. Itu salah nasib kita yang menuntukan sendiri bukan penguasa atau orang lain……….