Saturday, August 25, 2007

Nasib Bali Ditengah Perubahan Iklim

Nasib Bali Ditengah Perubahan Iklim
Oleh;
Agung Wardana


“Perubahan iklim adalah ancaman keamanan terbesar yang ada dihadapan kita”
- Leo Falcam

Ungkapan dari Leo Falcam, Mantan Presiden Micronesia tersebut membuat ancaman perubahan iklim terhadap keberlanjutan kehidupan menjadi sangat jelas. Ia juga mengkhawatirkan sampai berapa lama lagi kehidupan manusia dapat berlanjut dipulau kecil seperti Fiji, Tonga, Samoa (Climate Justice-FOE Australia; 2006).

Sebuah Pelajaran Dari Tuvalu
Tuvalu adalah Negara pulau kecil di kawasan Pasifik. Hanya dengan luas 26 kilometer persegi, berada di 2,5 meter diatas permukaan laut dengan populasi 11.000 lebih, membuat Tuvalu menjadi bangsa yang sangat rentan dari dampak perubahan iklim. Jika dilihat kontribusi negara pulau kecil dikawasan Pasifik yang hanya 0,06 % dari pelepasan gas rumah kaca secara global, menjadi ironi jika meraka harus menjadi korban pertama dari perbuatan yang bukan tanggung jawab mereka. Sampai-sampai mereka harus menjadi Pengungsi Iklim dan berpindah kedaratan yang lain. Tahun 2001, pemerintah Tuvalu, Fiji, Kiribati, Tonga membuat perjanjian imigrasi untuk memindahkan rakyatnya ke New Zealand setelah Pemerintah Australia menolak untuk menerima mereka. Kehilangan identitas sosial-budaya, skill dan kemampuan bahasa Inggris yang minim untuk dapat memperoleh pekerjaan, menjadi permalahan lanjutan yang menunggu di ‘rumah’ baru mereka. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah perubahan iklim tanda takdir kiamat sudah dekat?

Perubahan Iklim Bukan Sebuah Takdir
Perubahan Iklim merupakan dampak yang dihasilkan dari pemanasan suhu golobal yang disebabkan oleh gas rumah kaca. Gas rumah kaca ini dihasilkan oleh pola konsumsi bahan bakar fosil dan eksloitasi sumber daya alam. Peningkatan suhu bumi akan berpengaruh pada kehidupan manusia dan ekosistem yang ada karena alam dan kehidupan merupakan dua hal yang terintegrasi dan saling mempengaruhi.

Sejatinya, perubahan iklim bukanlah permasalahan teknis belaka, karena ia terjelma akibat kerakusan pola produksi dan konsumsi yang kemudian menjadi permasalahan sosial yang mengglobal. Dampaknya sosialnya, seperti ketidakmampuan bagi rakyat miskin untuk melakukan adaptasi, akses terhadap pelayanan kesehatan, air, dan sumber daya alam akan menambah permasalahan mendasar untuk bertahan hidup. Dibandingkan dengan orang kaya, yang dapat berpindah dari daratan rentan ke daratan yang lebih aman karena mereka punya uang untuk melakukannya. Jika demikian, apakah di masa depan bumi ini hanya akan diisi oleh orang kaya, karena hanya mereka yang mampu bertahan hidup??

Perubahan yang perlahan tapi pasti ini membuat kehidupan manusia seperti kodok yang sedang berenang dalam tungku yang dipanaskan secara perlahan sampai mencapai titik didih dan kodok itupun mati tanpa menyadari apa yang telah terjadi.


Masa Depan Bali??
Bali adalah pulau kecil hanya dengan luas hanya 5,682 km persegi dengan tingkat kepadatan penduduk yang relatif tinggi yakni 565 orang per km persegi. Bali di kelilingi wilayah pesisir dengan panjang 430 km yang saat ini dalam kondisi kritis. Padahal ada banyak orang yang menggantungkan hidupnya pada wilayah pesisir dengan mata pencaharian sebagai nelayan sejak turun-temurun dan petani rumput laut. Di wilayah rural, sebagian besar masyarakat Bali becorak produksi sebagai petani kecil dengan pola pertanian tradisional. Corak produksi masyarakat Bali ini amatlah dipengaruhi oleh siklus alam dan curah hujan. Saat ini jika siklus alam menjadi tidak menentu, maka merakalah korban-korban pertama yang terkena dampak ditengah minimnya upaya pemerintah untuk membantu merak beradaptasi.

Pemerintah saat ini justru lebih tertarik pada upaya untuk menggalang pendapatan-pendapatan dari invasi arus modal (investasi) di sektor periwisata dan sarana pendukungnya. Dengan jalan mengobral murah sumber daya alam yang ada, menyebabkan timbul berbagai permasalahan lingkungan dan sosial. Baik yang disebabkan secara langsung oleh perubahan peruntukan bentang alam suatu proyek maupun oleh dampak komulatif dari pembangunan yang selama ini tidak diperhitungkan sebagai sebuah komponen yang penting bagi keberlanjutan hidup masyarakat Bali. Buktinya, saat ini saja pemerintah masih sibuk untuk membangun proyek seperti lapangan golf, reklamasi pantai hingga daerah aliran sungai untuk villa, membabat hutan yang katanya demi listrik dan eco-tourism. Proyek-proyek tersebut jelas-jelas berpengaruh besar pada lingkungan apalagi dampak perubahan iklim yang sudah dirasakan akan menambah parah kondisi Bali. Reklamasi menambah parah abrasi pantai dan semakin tinggi intensitas badai di laut sehingga berpengaruh pada ongkos produksi dan kehidupan nelayan. Berkurangnya hutan akan mengurangi kemampuan untuk menyediakan air dan kemampuan menangkap karbon, sehingga memperparah krisis air yang dapat penambah deretan panjang konflik perebutan air antara subak dengan PDAM maupun dengan swasta. Alih fungsi lahan terbuka dan produktif untuk keperluan lapangan golf yang hanya bisa dinikmati oleh kelompok berduit akan memperparah krisis pangan bagi Bali. Pariwisata Bali pun akan kollaps, karena pantai, gunung, sawah yang indah hanya akan tersisa di brosur-brosur perjalanan wisata saja. Di perkotaan akan semakin panas, pengapnya kondisi urban akibat kemacetan dan kumuhnya pemukiman, akan menyuburkan sarang-sarang nyamuk, sehingga membuat kesehatan manusia dan umur panjang menjadi mahal harganya. Ancaman keamanan, kriminalitas dan konflik akan tersemai karena semua orang ingin bertahan hidup ditengah kebutuhan yang semakin kompleks.

Walaupun masyarakat Bali telah berkontribusi besar lewat Nyepi dengan sehari tanpa konsumsi energi, sumber daya alam dan tidak mengeluarkan emisi, tetap saja Bali adalah pulau kecil yang akan menjadi ladang emas demi perputaran roda ekonomi global lewat industri pariwisata. Jika Bali masih mengacu pada kosep ekonomi-pembangunan konvesional seperti ini tanpa memasukkan resiko bencana dari perubahan iklim dalam setiap agenda pembangunan, tidak mustahil kejadian seperti di Tuvalu akan terjadi pada masyarakat Bali. Namun pertanyaannya kemudian adalah, apakah negara asal para pemilik industri pariwisata yang ada di Bali mau menerima masyarakat Bali??

Penulis, Aktivis WALHI Bali

2 comments:

Asana Viebeke L said...

Hallo kawan Agung Wardana,

Bisa di tampilkan negara mana saja yang sudah paham akan terjadinya ancaman global warning ini dan apa saja yang sudah dilakukan oleh masyarakatnya? Apakah ada kebijakan yang diterapkan dan aturan yang ditegakkan?

Salam, vieb

WALHI BALI said...

Mbok,
makasi komentarnya. saya akan coba jawab. saat ini negara-negara Eropa paling terdepan untuk melakukan adaptasi. misalnya Jerman saat ini banyak melakukan penelitian dibidang penyakit tropis, sperti malaria, DB, dll karena mereka memprediksi bahwa Eropa memiliki tempeteratur seperti di tropis. Ada lagi Belanda yang berada dibawah permukaan laut mereka menguatkan 'dike' diwilayah pesisir dan DAS. Parlemen Eropa pun mendorong pemakian renewable energi.
Negara dikawasan Pasifik seperti Tuvalu,Tonga, dll sudah mendapatkan persetujuan dari pemerintah New Zealand untuk memindahkan penduduknya 200-700 tiap tahun. Pemerintah Australia menolak untuk menerima mereka karena tidak ada dalam hukum perjanjian internasional tentang pengungsi akibat perubahan iklim, aussie juga takut hal ini akan mengacaukan kebijakan imigrasi mereka.
Sampai saat ini memang belum ada aturan tentang pengungsi iklim (pengungsi akibat dampak perubahan iklim). Yang kemudian bisa dijadikan acuan adalah solidaritas global.
Mudah-mudahan terjawab, mbok.
Makasi

Agung Wardana

Post a Comment