Oleh;
Agung Wardana
”Masuknya Carbon sinks (penyerapan karbon) dalam mekanisme CDM akan mengandung strategi skala dunia dalam rangka pengambil alihan tanah-tanah dan hutan-hutan kami.”
Forum Internasional Masyarakat Adat mengenai Perubahan Iklim Pertama
(The First International Forum of Indigenous Peoples on Climate Change)
Kenaikan suhu bumi 0,6º C saat ini menyebabkan banyak pihak mencari cara untuk membuat keadaan tidak menjadi lebih buruk lagi (mitgasi). Akibat konsentrasi karbon yang bertambah secara signifikan di permukaan udara (atmosfir) pasca Revolusi Industri, kenaikan suhu bumi ini tidak dapat dihindari sehingga kenaikannya harus dibatasi dibawah 2º C. Jika tidak mengambil langkah nyata ( business as usual) maka diperkirakan suhu bumi akan naik 5º C yang berakibat pada kekacauan iklim di semua belahan bumi.
Untuk menjawab permasalahan itu di buatlah Konvensi Perubahan Iklim yang kemudian dilanjutkan dengan Protokol Kyoto. Pertanyaannya, apakah aturan internasional tersebut berjalan efektif?
Ternyata banyak pakar menyatakan Protokol Kyoto tidak berjalan efektif. Protokol Kyoto mempunyai target untuk mengurangi emisi sebesar 55 % dari total emisi semula (baseline; tahun 1990) ternyata dibuat tidak berdaya oleh Amerika Serikat dan Australia yang tidak mau tunduk terhadap aturan tersebut. Bahkan salah seorang delegasi Brazil dalam Pertemuan PBB menyatakan emisi justru meningkat dua kali lipat.
Akal-akalan Negara Maju
Memang sejak awal banyak aktivis lingkungan dan ahli yang skeptik dengan efektifitas kesepatakan perubahan iklim yang sebenarnya tidak pernah membicarakan pengurangan emisi secara tegas dan lugas. Kesepakatan ini hanya menjadi ajang tawar menawar (pasar) yang lebih luas antara negara-negara kaya dan negara miskin, perebutan sumberdaya dan hak untuk menggunakan energi, dan persaingan ekonomi (Sonia Boehmer – Christiansen, 1994).
Prinsip-prinsip Konvensi Perubahan Iklim seperti Kesetaraan (equity) justru dilanggar oleh negara maju sendiri. Negara Maju (Eropa dan Amerika Utara) merupakan kontributor terbesar yakni 85% dari total emisi dunia ditambah emisi sejarah mereka yang dampaknya kita rasakan saat ini. Namun negara pulau kecil dan negara-negara miskin yang menjadi korban pertama karena negara-negara ini tidak sumber daya yang cukup untuk menyesuaikan diri (adaptasi).
Bantuan-bantuan yang diberikan negara maju kepada negara miskin ini pun dianggap sebagai sebuah kedermawanan negara maju sehingga memposisikan negara miskin tetap sebagai pengemis. Padahal konteks pemberian dana adaptasi seharusnya merupakan tanggung jawab negara maju yang menyebabkan negara miskin yang rentan secara ekologi akibat sumber daya alamnya diekspoitasi terus-menerus untuk memenuhi konsumsi negara maju.
Bali dan Pasca 2012
Di Bali akan dibahas mengenai kesepakatan baru setelah berakhinya Protokol Kyoto 2012 nanti. Indonesia sebagai tuan rumah, diharapkan menjadi pemimpin bagi negara-negara selatan untuk mengambil tindakan yang lebih strategis untuk mengangkat posisi tawar negara selatan ketika bernegosiasi dengan negara maju.
Namun posisi Indonesia justru malah menjadi ’calo’ dengan jalan ‘mengkontrakkan’ hutan yang ada sebagai penyerap karbon bagi negara maju. Hal ini menunjukkan posisi pemerintah yang masih menggunakan mainset pasar dalam menyelesaikan permasalahan perubahan iklim.
Mekanisme Penyerapan Karbon (Carbon sink) adalah mekanisme penyerapan atau perosot karbon dengan menggunakan pohon, tanah, dan laut untuk menyerap karbon yang ada di atmosfir. Hutan maupun lahan yang digunakan hanya dihargai sebesar 5 – 20 US dollar per hektar dan tidak boleh digangu oleh aktivitas apapun juga. Harga ini dibangun atas asumsi kemampuan setiap hektar hutan dalam menyerap karbon. Sangatlah naif jika hutan hanya dinilai dari penyerapan kabonnya, tanpa mempertimbangkan jasa layanan lingkungannya (ecosystem services) sebagai daerah tangkapan air, keanekaragaman hayati, dan sumber kehidupan bagi masyarakat adat yang ada disekitarnya.
Negara maju yang mengeluarkan uangnya untuk mekanisme penyerapan karbon di negara berkembang akan mendapatkan ’surat ijin’ untuk tetap berhak mencemari atmosfir tanpa harus menurunkan emisi mereka (membayar untuk mencemari).
Hutan Indonesia merupakan salah satu komoditas yang seksi untuk dijadikan ’real estate’ negara maju bagi penyerapan karbon yang mereka hasilkan. Padahal kenyataannya, hutan Indonesia sendiri penuh dengan permasalahan yang belum selesai, seperti konflik penguasaan antara masyarakat adat dengan negara maupun dengan perusahaan HPH, HTI dan perkebunan sawit. Jika kemudian masuk upaya menjadikan hutan Indonesia sebagai penyerap karbon, dikhawatirkan akan menyebabkan bertambah kompleksnya konflik yang terjadi. Akibatnya, masyarakat adat akan kembali terusir dari sumber kehidupan mereka karena hutan tidak boleh disentuh dan sudah dikapling-kapling oleh negara maju. Posisi pemerintah Indonesia saat ini sama saja seperti orang yang mengontrakkan sebidang tanah, namun tanah tersebut masih dalam sengketa.
Berubah atau dirubah
Pertemuan di Bali, desember nanti merupakan ajang yang penting untuk melahirkan kesepakatan baru yang lebih adil dan efektif untuk merubah gaya hidup negara maju yang rakus akan energi dan sumber daya alam yang merupakan pola pembangunan yang dominan saat ini. Kesepakatan tersebut haruslah berbicara lebih menukik pada akar permasalahan perubahan iklim bukan justru menjadi ajang tawar-menawar lewat mekanisme pasar, kemudian emisi karbon yang dihasilkan tetap saja meningkat konsentrasinya di atmosfir kita. Maka kita juga harus ikut bersuara karena Bali juga rentan menjadi korban perubahan iklim ini, karena apa yang dihasilkan dalam pertemuan itu akan menentukan keberlanjutan hidup kita di bumi ini.
Penulis, Aktivis WALHI/
Friends of the Earth Indonesia
Tinggal di Tabanan
Wednesday, October 17, 2007
Hutan Kita Bukan ’Toilet Karbon’ Negara Maju
Posted by WALHI BALI at 12:04 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment