Oleh Luh De Suriyani
Peta jalan Bali atau Bali Road Map yang dihasilkan dari konferensi PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC) yang berakhir 15 Desember kemarin, bukan solusi final untuk mengurangi pemanasan global. Negara-negara maju dinilai berhasil mengalihkan komitmen pengurangan emisi ke negara berkembang.
“Negara maju sudah berhasil mengalihkan dari komitmen mereka yang sebelumnya ke perundingan pasca 2012. Pertarungan baru akan dimulai. Ini bukan akhir. Ini baru awal proses untuk kebijakan perubahan iklim,” kata Hira Jhamtani, aktivis Third World Network yang fokus pada pemantauan sidang UNFCCC, pada diskusi media di Sloka Institute, Denpasar, Rabu (19/12) kemarin. Diskusi tersebut dilaksanakan oleh Walhi Bali, AJI Denpasar, dan Sloka Institute.
Karena itu Hira berharap masyarakat daerah yang bergerak untuk memulai program-program penyelamatan lingkungan karena komitmen pengurangan emisi dari negara-negara maju sulit diwujudkan dalam waktu dekat. “Kalau pemerintah Indonesia kurang serius, kita mulai dari dengan Rencana Aksi Provinsi (RAP) Bali,” tambah Hira yang mengadvokasi kampanye Nyepi untuk bumi (silent day for the earth) di UNFCCC Nusa Dua lalu.
Hira mengatakan pihaknya bersama Bali Kolaborasi untuk Climate Change akan terus mengadvokasi agar dunia internasional mengadopsi Nyepi untuk Bumi ini. “Kita harus terus membawa program ini ke forum-forum internasional sebagai aksi nyata pengurangan emisi yang sulit dilakukan negara maju. Bali sendiri sudah melakukannya walau sehari,” tambah Hira.
Harry Surjadi, Direktur eksekutif Society of Indonesian Environment Journalist (SIEJ), juga mengharapkan media dapat menulis upaya-upaya kearifan lokal untuk menjaga lingkungan. “Menunggu hasil konkrit UNFCCC akan sangat lama, sementara banyak masyarakat yang akan kena imbas pemanasan global seperti nelayan, petani, dan masyarakat adat,” ujar Harry yang juga aktif memberikan pendidikan lingkungan pada jurnalis.
Harry heran melihat fenomena diangkatnya isu climate change oleh politikus dengan sudut pandang yang menyesatkan. Misalnya poster atau spanduk pemilihan kepala daerah yang berisi seolah-olah kampanye global warming. “Semua hal disangkutkan climate change, padahal dia sendiri tidak mengerti soal itu,” kata Harry yang mantan wartawan Kompas ini.
Informasi salah ini membuat masyarakat melihat climate change sebagai isu politik yang semakin jauh dari konteks pelestarian lingkungan itu sendiri. Harry juga kecewa dengan skema transfer teknologi yang salah kaprah menjadi jual beli teknologi. Ia melihat indikasi ini dari proyek pembangkit listrik tenaga angin yang kini dirintis di Pulau Nusa Penida. “Itu bukan transfer teknologi tapi beli teknologi. Jadi transfer pengetahuannya kurang. Kalau alatnya rusak, apakah masyarakat bisa memperbaikinya?” tanya Harry.
Karena itu ia berharap masyarakat dan pemerintah tidak menggantungkan diri pada hasil UNFCCC. Mekanisme pembiayaan konservasi hutan dalam REDD (Reducing Emission of Deforestation and Degradassion) yang dihasilkan UNFCCC lalu juga jangan sampai mengabaikan kewajiban pemerintah untuk melestarikan hutan. “Jangan bilang belum ada duit dari REDD lalu pemerintah angkat tangan untuk mengawasi hutan,” imbuh Harry.
sumber: http://www.balebengong.net/2007/12/19/aksi-bali-untuk-perubahan-iklim-harus-riil/
Wednesday, December 19, 2007
Aksi Bali Untuk Perubahan Iklim Harus Riil
Posted by WALHI BALI at 5:18 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment