Setelah Pesta Usai,
Bagaimana Rencana Aksi Perubahan Iklim?
Desember 2007, Bali menjadi tuan rumah Konferensi PBB Mengenai Perubahan Iklim ke -13 (COP ke-13 UNFCCC), beserta sidang ke 3 Protokol Kyoto (CMP-3). Konferensi yang menelan dana sekitar Rp. 114 milliar (Tempo Interaktif 8 Oktober 2007) tersebut menimbulkan harapan besar dapat menghasilkan kesepakatan yang berarti untuk menanggulangi perubahan iklim dan dampaknya.
Hingar bingar konferensi yang layak disebut pesta, telah usai. Apakah hasilnya dan bagaimana kita akan melaksanakannya? Walaupun pesta sudah usai, semangat kita untuk mengkampanyekan pentingnya menanggulangi perubahan iklim seharusnya tidak menyurut. Apapun hasilnya, dampak perubahan iklim sudah dan akan kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam Lembar Informasi No. 5 ini kita akan membahas apa yang terjadi, apa yang dihasilkan, dan pelajaran apa yang dapat kita petik dari COP-13 UNFCCC di Bali. Kita akan melihat apakah konsensus yang dihasilkan akan mampu memenuhi harapan kita bersama untuk menghadapi perubahan iklim serta menjadi acuan untuk melaksanakan hal-hal yang perlu dilakukan dalam menghadapi perubahan iklim di Bali.
Lembar Informasi No. 5 merupakan rangkaian dari lembar informasi sebelumnya, yaitu :
Lembar Informasi No.1 menjelaskan tentang perubahan iklim dan dampak-dampaknya; Lembar Informasi No.2 membahas instrumen kebijakan mengenai perubahan iklim;
Lembar Informasi No.3 membahas langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menghadapi perubahan iklim,
Lembar Informasi No. 4 mengulas pesan kearifan masyarakat Bali lewat Nyepi (Hening) sebagai sarana untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.
Apakah catatan penting dari proses COP 13 UNFCCC?
Sejak awal, pertemuan di Bali dirancang untuk membicarakan butir-butir usulan yang berkaitan dengan pengaturan perubahan iklim setelah (pasca) 2012 (penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) periode kedua). Hal ini ternyata mengalihkan pembicaraan mengenai tanggung jawab negara Annex 1 (negara maju) untuk menurunkan emisi (GRK) sebesar 5% pada 2008-2012 (komitmen periode pertama dalam Protokol Kyoto). Bagaimana komitmen periode pertama ini akan dijalan dan hasil apa yang diharapkan tidak dibahas sehingga nampak seperti tanpa arah yang jelas. Hal ini karena beberapa negara maju masih enggan menurunkan emisi GRK nasional mereka, dan enggan untuk menyelesaikan komitmen mereka menyediakan dana dan alih teknologi agar negara berkembang juga bisa beralih ke arah pembangunan yang ramah iklim. Dengan membuat komitmen periode pasca 2012 sebagai hal yang utama, negara maju mengalihkan perhatian masyarakat dari komitmen mereka sendiri yang hingga kini belum jelas apakah akan dilaksanakan.
Perbedaan pendapat di antara blok-blok negara semakin meruncing dalam COP ke-13. Di antara negara maju ada tiga blok yaitu: Uni Eropa yang didukung beberapa negara Eropa Timur; Umbrella Group terdiri dari Australia, Kanada, Islandia, Jepang, Kazakhstan, Selandia Baru, Norwegia, Federasi Rusia dan Ukraina; Environmental Integrity Group terdiri dari Swiss, Monako, Meksiko, Liechtenstein dan Korea Utara. Ketiganya mempunyai kepentingan berbeda berkaitan dengan komitmen pengurangan emisi periode kedua tetapi bersatu untuk menolak menegaskan komitme penyediaan alih teknologi dan dukungan dana kepada negara maju. Uni Blok negara berkembang secara umum hanya satu yaitu kelompok G77 + China tetapi di dalamnya sering ada ketidaksesuaian pendapat, terutama antara kelompok negara kepulauan kecil dan negara penghasil minyak bumi, tergabung dalam OPEC. Namun tuntutan untuk alih teknologi dan dukungan finansial serta penguatan kapasitas merekatkan kelompok G 77 + China.
Selain itu sekretariat UNFCCC yang seharusnya netral terlihat cenderung mendukung posisi Uni Eropa. Dalam tarik menarik posisi politik ini, sering para diplomat dan petinggi negara melupakan kepentingan yang seharusnya diperjuangkan yaitu mengatur kegiatan manusia yang bisa membahayakan sistem iklim bumi. Puncak dari perbedaan kepentingan ini terlihat pada sidang pleno terakhir UNFCCC 13 dimana China menyatakan dengan lugas kekecewaannya. Semua proses politik ini sedemikian sulit dijembatani sehingga sidang diperpanjang satu hari, ditutup pada 15 Desember, yang seharusnya pada 14 Desember.
Beberapa hal menarik untuk dicermati dalam sidang UNFCCC-13, yakni:
Keberanian Papua Nuigini (sebagai negara berkembang yang kecil) untuk mengolok negara adidaya Amerika Serikat dengan mengatakan “kami berharap anda menjadi pemimpin dalam penurunan emisi, tapi jika anda tidak mau, silakan minggir dan biarkan kami yang memimpin”. Ungkapan seperti ini, sangat tidak lazim terjadi pada proses diplomasi internasional. Perkataan Papua Nuigini disambut dengan tepuk tangan panjang sehingga memaksa AS menyepakati dokumen tentang komitmen jangka panjang pada sidang pleno terakhir, 15 Desember 2007.
Sidang pleno terakhir hampir “buntu” akibat ulah sekretariat UNFCCC yang menggelar sidang padahal masih ada konsultasi antara menteri beberapa negara berkembang dengan Menteri Luar Negeri RI Hasan Wirayuda. Hal ini memicu kemarahan China yang meminta pertanggungjawaban dari Sekretaris Eksekutif UNFCCC Yvo de Boer. Kelompok G-77 menolak menyepakati draf keputusan sampai konsultasi menteri selesai dan hampir menimbulkan suasana “deadlock” yang kemudian dicairkan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Sekjen PBB Ban Ki Moon. Walaupun suasana cair, China tetap meminta penjelasan dari Sekretariat UNFCCC yang berujung dengan Yvo de Boer meninggalkan ruang sidang sambil menangis selama sekitar 30 menit. Hal ini juga jarang terlihat dalam negosiasi di forum multilateral.
Aksi-aksi demontrasi yang dilakukan oleh kelompok kepentingan (masyarakat sipil) baik di dalam maupun di luar UN Coumpond, menghiasi hari demi hari pelaksanaan COP 13. Masyarakat sipil mempunyai kepentingan untuk didengarkan dalam sidang internasional. Hal ini menunjukkan bahwa setiap sidang apapun itu seharusnya tidak anti kritik, tidak menutup keran aspirasi serta kebebasan berekspresi.
Apa yang dihasilkan COP- 13 UNFCCC?
COP - 13 UNFCCC beserta CMP-3 menghasilkan paling tidak dua puluh keputusan menyangkut berbagai isu terkait pelaksanaan UNFCCC dan Protokol Kyoto. Seluruh keputusan tersebut seyogianya merupakan peta jalan Bali (Bali Roadmap) menuju penangangan perubahan iklim secara komprehensif. Namun, dari awal, kata Bali Roadmap digunakan untuk sebagai istilah untuk perundingan sebuah peraturan tentang iklim pasca 2012. Karena perundingan baru tidak disepakati, maka Bali Roadmap juga tidak ada.
Salah satu keputusan terpenting memang disebut Bali Action Plan (Rencana Aksi Bali) dan ini berkaitan dengan kerjasama jangka panjgan untuk menangani perubahan iklim. Keputusan tersebut meluncurkan sebuah proses komprehensif untuk memastikan bahwa peraturan dalam UNFCCC dilaksanakan pada saat ini, hingga dan setelah 2012. Bali Action Plan memandatkan perundingan tentang implementasi dari mitigasi, adaptasi, alih teknologi, pendanaan melalui sebuah badan tambahan dibawah Konvensi bernama Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action. Badan tambahan ini harus menyelesaikan tugasnya pada 2009, dan menyampaikan hasil kerjanya untuk dapat diadopsi pada COP 15 di Kopenhagen, Denmark. Boleh jadi Kelompok Kerja ini akan jadi badan yang paling berkuasa di UNFCCC dalam dua tahun mendatang.
Di antara beberapa keputusan penting lain adalah:
1. Dana Adaptasi: akhirnya disepakati operasionalisasi Dana Adaptasi (Adaptation Fund) d dengan menetapkan sebuah Dewan yang akan menjalankan program. Keputusan UNFCCC menggariskan komposisi, keanggotaan, aturan main, dan institusi dari Dewan. Untuk sementara, sekretariat Dana adalah Global Environmental Facility (GEF). Negara Maju diharapkan menjadi penyedia utama dana yang berjumlah US$ 18.6 juta sampai US$ 37.2 juta. Banyak pihak menganggap jumlah dana ini tidak mampu mendukung upaya darurat dalam mengatasi kerusakan akibat perubahan iklim yang terus terjadi. Oxfam memperkirakan diperlukan minimum US$ 50 milliar setiap tahun untuk membantu negara berkembang beradaptasi terhadap perubahan iklim.
2. Alih Teknologi: Ada dua keputusan, satu di bawah SBSTA, dan satu lagi di bawah SBI. Keputusan di bawah SBSTA mengadopsi rekomendasi untuk meningkatkan implementasi seperangkat langkah untuk alih teknologi. Keputusan di bawah SBI menetapkan langkah-langkah alih teknologi yang perlu didanai dan meminta GEF untuk menjabarkan program strategis bagi investasi di bidang alih teknologi. Keputusan ini amat tidak membumi, tapi dianggap kemajuan dibandingkan beberapa tahun lalu, dimana negara maju tidak mau membuat keputusan apapun tentang alih teknologi.
3. Deforestasi dan Degradasi Hutan: keputusan ini menyangkut mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara berkembang, biasa dikenal sebagai REDD. Keputusan tentang REDD mengakui bahwa kebutuhan masyarakat lokal dan adat harus dipertimbangkan ketika mengambil langkah mengurangi deforestasi. Keputusan ini juga meminta negara-negara yang mampu untuk mendukung pengembangan kapasitas dalam pengumpulan data, perkiraan emisi dari deforestasi, pemantauan dan pelaporan berkaitan dengan emisi dari deforestasi di negara berkembang. Selanjutnya, SBSTA diberikan tugas untuk merumuskan isu-isu metodologi berkaitan dengan pendekatan kebijakan dan insentif positif pada REDD yang akan dilaporkan pada COP 15 pada 2009. Segala janji tentang pendanaan sebagai insentif untuk mengurangi deforestasi belum lagi terwujud.
Bagaimana sikap negara-negara maju dalam COP 13 UNFCCC?
Pada hari pertama COP 13 UNFCCC, Ketua Delegasi Australia menyatakan negaranya telah meratifikasi Protokol Kyoto. Ini merupakan salah satu gebrakan besar Australia di bawah kepemimpinan Perdana Menteri yang baru, Kevin Rudd, untuk berpartisipasi dalam menangani dampak perubahan iklim dan memperlemah posisi AS yang masih tidak mau mengadopsi Protokol Kyoto.
Uni Eropa pada awalnya mentargetkan penurunan emisi sebesar 25-40% (mengacu pada Laporan IPCC). Namun, target emisi yang mengikat ditolak oleh AS-Jepang-Canada-New Zealand, dengan alasan bahwa setiap negara punya kemampuan berbeda. Di samping itu, AS selalu mengatakan bahwa target emisi yang mengikat juga harus diberlakukan bagi negara berkembang yang mempunyai tingkat emisi tinggi terutama China dan India. Pada akhirnya Uni Eropa menyepakati draft konsensus dengan menghilangkan besaran target penurunan emisi dan memasukkan rujukan Laporan IPCC tersebut menjadi catatan kaki.
Negara maju juga sangat menghambat proses perundingan di bidang dana adaptasi, pengembangan kapasitas dan alih teknologi. Pada awalnya, negara maju menolak kesepakatan tentang pengembangan kapasitas, dimana Nigeria mengatakan bahwa “UNFCCC dan Protokol Kyoto sudah pincang”. Diperlukan tiga hari konsultasi intensif untuk menghasilkan kesepakatan sehingga tinggal satu paragraf yang belum disepakati dalam rancangan Bali Action Plan mengenai ketentuan penurunan emisi bagi negara berkembang. Negara maju tetap ingin mengikat negara berkembang dengan penurunan emisi yang jelas (walaupun tidak dengan angka khusus). Mereka berusaha menjebak negara maju dengan mengadakan sidang pleno terakhir tanpa mempertimbangkan bahwa masih ada konsultasi informal sehingga menimbulkan suatu “drama” pada penutupan COP 13.
Dapat disimpulkan bahwa negara maju masih enggan melakukan kewajiban mereka di bawah Konvensi dan mengalihkan isunya menjadi tanggung jawab negara berkembang besar untuk menurunkan emisi. Perilaku seperti ini diperkirakan akan berlanjut dalam perundingan Bali Action Plan dalam dua tahun berikut.
Bagaimana Indonesia menyikapi keputusan COP 13 terutama Bali Action Plan?
Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan sebagian besar rakyatnya merupakan kelompok yang rentan terkena dampak perubahan iklim, perlu bertindak lebih awal untuk mengantisipasinya. Hampir semua keputusan COP 13 tidak menjanjikan tindakan yang segera maupun jangka menengah.
Karena itu, sambil mengikuti dan mengambil sikap strategis dalam prundingan Bali Action Plan maupun keputusan COP 13 yang lain, Indonesia sebaiknya mengambil langkah strategis di dalam negeri dalam antisipasi menghadapi dampak perubahan iklim. Memang diperlukan kerjasama internasional untuk melakukan hal itu, tapi bila perundingan internasional tidak menyepakati langkah strategis yang adil, maka lebih baik Indonesia melakukan tindakan di dalam negeri dengan segera dan menyelamatkan negeri serta rakyatnya, sambil memberikan keteladanan bagi dunia.
Bagaimanakah partisipasi masyarakat Bali dalam COP 13 UNFCCC?
Pesan Masyarakat Bali dalam mengangkat kearifan lokal Nyepi – agar dijadikan Hari Hening Dunia (World Silent Day) sudah disosialisasikan oleh Kolaborasi Bali Climate Change, melalui diskusi-diskusi publik, lobi hingga kampanye baik di dalam UN Coumpond maupun dalam acara di luar sidang formal (Side Event). Partisipasi terpenting adalah ketika film Nyepi for the Earth berdurasi 1,3 menit karya Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim diputar pada pembukaan sidang COP ke 13. Film tersebut menggambarkan suasana Nyepi di Bali dan ini diasumsikan bisa mengurangi CO2 sampai 20.000 ton (Lihat Lembar Informasi No.4). Masyarakat Bali bisa berbangga karena untuk pertama kalinya sebuah pesan kearifan lokal yang disampaikan langsung oleh masyarakat dapat masuk dalam sebuah konferensi internasional.
Paling tidak, lewat pemutaran film pada pembukaan sidang, lobi dan kampanye yang telah dilakukan, kearifan tradisional di Bali yaitu Nyepi menjadi pengetahuan seluruh dunia dan memberikan inspirasi bagi delegasi-delegasi yang hadir.
Apakah pesan ini melibatkan Masyarakat Bali secara luas?
Partisipasi masyarakat Bali dalam COP 13 tidak hanya dilakukan di Nusa Dua. Mereka juga terlibat dalam kegiatan Parade Budaya Untuk Keadilan Iklim yang dilaksanakan oleh komponen masyarakat sipil Bali yang peduli pada isu perubahan iklim. Kegiatan ini merupakan bagian dari kampanye global (Global Day of Action) yang dilakukan secara serentak di 90 negara pada tanggal 8 Desember 2007. Kegiatan yang dipusatkan di Renon dan melibatkan lebih dari 2.000 orang, memberikan kesempatan bagi Masyarakat Sipil Bali untuk menyuarakan pesan Nyepi. Dengan membentangkan spanduk ”Support Nyepi Day for the Earth” mereka menggalang dukungan dan solidaritas internasional untuk membubuhkan tanda tangannya di atas spanduk tersebut.
Bagaimana tanggapan terhadap kampanye Hari Hening Dunia (World Silent Day)?
Sejauh ini, kampanye ini telah banyak mendapatkan respon baik positif maupun negatif. Banyak delegasi dari negara-negara maju menghubungkan satu hari tanpa aktivitas dengan kerugian ekonomi yang akan hilang. Namun jika dibandingkan dengan kerugian akibat bencana yang dapat timbul dari perubahan iklim, maka kerugian satu hari ini tidaklah begitu besar, dan merupakan pengorbanan kita untuk menjaga alam yang telah memberikan kehidupan.
Namun banyak juga delegasi yang mengapresiasi dan bahkan punya keinginan untuk mengadopsi praktek ini untuk diterapkan di negara asal mereka. Buktinya, Ketua Global Environment Facility (GEF) pada akhir pidato resminya, mengajak delegasi yang akan kembali ke negaranya masing-masing dan akan menyambut tahun baru, untuk mengikuti jejak Masyarakat Bali dalam merayakan tahun baru (Tahun Baru Caka) dengan cara hening dan memberikan ruang bernafas untuk bumi.
Apakah pesan Masyarakat Bali lewat Hari Hening Dunia (World Silent Day) akan tetap dikampanyekan sampai bisa diterima oleh dunia?
Ya. Pesan Masyarakat Bali lewat Hari Hening Dunia (World Silent Day) akan tetap dikampanyekan untuk menepis anggapan bahwa pesan ini muncul sebagai euforia tuan rumah konferensi yang kemudian hilang seiring telah selesainya konferensi tersebut.
Sampai saat ini kampanye masih dilakukan oleh Kolaborasi Bali Climate Change dengan mengadakan diskusi akhir tahun, workshop dan rencana untuk mengembangkan pilot project. Selain itu, kampanye lewat dunia maya juga tetap dilakukan lewat www.worldsilentday.org untuk mendapatkan dukungan luas.
Meski delegasi Bali Kolaborasi Climate Change mungkin sulit dihadirkan pada COP ke-14 UNFCCC di Polandia nantinya, tetapi pesan Masyarakat Bali akan dititipkan pada kelompok masyarakat sipil, sehingga kampanye Hari Hening Dunia (World Silent Day) tetap menggema.
Apa yang mesti dilakukan untuk mengkampanyekan Hari Hening Dunia (World Silent Day)?
Hal yang dibutuhkan saat ini adalah memperluas dukungan Hari Hening Dunia (World Silent Day) tidak hanya di Bali melainkan juga di tingkat nasional dan internasional. Ada dua hal yang dapat dilakukan sehingga Hari Hening Dunia (World Silent Day) dapat diadopsi oleh seluruh negara pihak, yakni dibutuhkan minimal 10 juta tanda tangan dukungan dari masyarakat sipil atau mendapatkan dukungan resmi dari suatu negara terhadap Hari Hening Dunia (World Silent Day).
Apakah di negara lain ada praktek yang serupa dengan Hari Hening Dunia (World Silent Day) yang ditawarkan oleh Masyarakat Bali?
Sebenarnya di banyak negara, masyarakat sipil telah banyak memperkenalkan model seperti Hari Hening Dunia (World Silent Day), seperti 5 menit tanpa listrik di Prancis atau sehari tanpa berbelanja, namun hal tersebut kurang mendapat respon publik di negara tersebut. Tantangannya bagi kita adalah bagaimana mensinergikan model-model tersebut dalam satu payung Hari Hening Dunia (World Silent Day).
Hal ini akan membutuhkan solidaritas global dari masyarakat sipil untuk bersama-sama berjuang untuk bumi beserta isinya, secara adil dan murah.
Apa yang mendesak perlu dilakukan Bali dalam menghadapi Perubahan Iklim?
Seperti disampaikan pada Lembar Informasi No. 1, ada 140 titik abrasi pada sepanjang pantai Bali sekitar 430 km. Kerusakan ini ditambah potensi dampak dari perubahan iklim diduga akan menyebabkan muka air laut naik 6 meter pada 2030, sehingga Kuta dan Sanur akan tergenang (Bali Post, 16 Agustus 2007). Dampak kenaikan muka air laut akan mengurangi lahan pertanian dan perikanan yang pada akhirnya akan menurunkan potensi pendapatan rata-rata masyarakat petani dan nelayan. Selain itu akan mengurangi pendapatan dari sektor pariwisata.
Untuk mengatasi dampak perubahan iklim, perlu dibuat suatu rencana aksi yang meliputi penilaian (assesment) daerah beresiko, kelompok yang rentan terkena dampak perubahan iklim, strategi mitigasi dan adaptasi yang dapat menurunkan kerentanan serta meningkatkan daya tahan (resilience) terhadap perubahan iklim. Mengantisipasi perubahan iklim di pulau Bali menjadi lebih penting daripada sekedar menjadi tuan rumah konferensi internasional yang justru membantu meningkatkan emisi gas rumah kaca.
Hal terpenting adalah bagaimana mewujudkan rencana aksi ini menjadi kenyataan, bukan sebagai rencana semata. Karena itu rencana aksi ini perlu disosialisasikan kepada masyarakat agar mereka mengetahui dan mendukung upaya ini. Kemudian masyarakat dapat menekan pemerintah provinsi Bali dan pemerintah kabupaten/kota untuk mengadopsi dan melaksanakan rencana aksi. Masyarakat juga bisa memilih untuk memberikan suara mereka kepada calon pemimpin (Gubernur dan Bupati) yang memiliki kepedulian pada pembangunan Bali secara berkelanjutan dan menjaga Bali serta masyarakatnya dari dampak perubahan iklim.
Catatan:
1. Bali Action Plan adalah nama konsensus yang dihasilkan dalam COP 13 UNFCCC sebagai bentuk penghormatan terhadap Bali yang merupakan tempat terselenggaranya sidang tersebut. Di media massa, Bali Action Plan ini dikenal dengan nama Peta Jalan Bali (Bali Roadmap).
2. Main Event adalah tempat dilakukannya sidang-sidang oleh para delegasi resmi, bertempat di BICC (Bali International Convention Center);
3. UN Compound adalah wilayah yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan resmi COP 13 UNFCCC dan di bawah yurisdiksi PBB selama berlangsungnya sidang-sidang UNFCCC. Yang termasuk dalam UN Coumpond ini adalah wilayah Main Event dan Side Event.
4. SBI (Subsidary Body for Implementation) adalah Badan Tambahan Untuk Implementasi. (lihat Lembar Informasi 2)
5. SBSTA (Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice) adalah Badan Tambahan untuk Pertimbangan Ilmiah dan Teknologi (lihat Lembar Informasi No. 2)
6. Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action atau Kelompok Kerja Ad Hoc Mengenai Aksi Kerjasama Jangka Panjang adalah kelompok yang dibentuk di bawah Konvensi yang bekerja sampai 2009 untuk mengawal proses penyusunan kesepakatan penurunan emisi periode kedua dan diputuskan pada COP 15.
7. www.worldsilentday.org adalah situs jaringan internet yang berisi kampanye untuk mendukung World Silent Day, dibuat oleh kelompok profesional yang peduli terhadap perjuangan masyarakat Bali kemudian diadopsi sebagai website resmi kampanye oleh Kolaborasi Bali mengenai Perubahan Iklim.
8. Negara Annex 1 adalah negara-negara maju yang tercantum pada Lampiran 1 Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) yang mempunyai tanggung jawab untuk menurunkan emisi GRK mereka (lihat Lembar Informasi No. 2)
Referensi:
- Lembar Informasi No. 1 ”Ketika Selimut Bumi Makin Tebal; Sekilas tentang Pemanasan Global dan Perubahan Iklim”
- Lembar Informasi No. 2 ” Dari Rio ke Bali via Kyoto: Memahami Peraturan Internasional tentang Perubahan Iklim”
- Lembar Informasi No. 3 ”Berubah atau Diubah: Tindakan Bersama Demi Keberlanjutan Hidup di Bumi”
- Lembar Informasi No. 4 ”Nyepi (Hening) untuk Bumi: Pesan Kearifan dari Bali untuk Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca”
- “Principles of Effective Financing to meet the Climate Change Battle”, Pidato Monique Barbut, CEO dan Chairperson Global Environment Facility (GEF), 12 Desember 2007
- Sunita Narain, “Bali: The Mother of All No-Deals”
- Tempo Interaktif, 8 Oktober 2007
- TWN, Bali News Update 1-19, Third World Network, Desember 2007
- Walden Bello, “The Day After …”
- www.unfccc.org
- www.worldsilentday.org
- www.wikipedia.org
Lembar Informasi No. 5 ditulis oleh Hira Jhamtani, Kadek Lisa dan Agung Wardana, dan di layout oleh Atiek, diterbitkan Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim, didukung Third World Network.
Bali Kolaborasi Climate Change merupakan forum yang terdiri dari organisasi non-pemerintah dan eksponen masyarakat sipil yang berjuang untuk mengkampanyekan nilai-nilai Nyepi sebagai salah satu solusi yang adil dan murah untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Forum ini pertama kali dibentuk oleh empat organisasi non pemerintah, yakni: Yayasan WISNU, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bali, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali dan Bali Organic Association (BOA).