Sunday, December 30, 2007

Perlu Bahasa Universal Kampanyekan World Silent Day


Kampanye untuk menjadikan Nyepi sebagai upaya mengurangi emisi perlu dilakukan dengan menggunakan bahasa-bahasa yang universal. Demikian mengemuka pada diskusi akhir tahun yang diadakan Kolaborasi NGO Bali untuk Keadilan Iklim di Denpasar Bali Jumat (28/12).

Salah satu bahasa yang digunakan adalah dengan menggunakan istilah World Silent Day, bukan Nyepi, untuk kampanye di tingkat nasional maupun internasional. Ida Pedanda Sri Begawan Dwija Nawa Sandi, tokoh spiritual Bali, mengatakan bahwa harus dibedakan Nyepi yang selama ini sudah dilakukan masyarakat Bali dengan World Silent Day yang dikampanyekan. “Kalau Nyepi dimaknai sebagai aspek spiritual agama Hindu, maka world silent day tidak menyinggung aspek spiritual tapi ekologi,” kata Begawan.

Secara teknis pun dua hal ini berbeda meski memiliki tujuan yang sama. Nyepi di Bali dilakukan dengan rangkaian kegiatan seperti catur brata penyepian (empat hal yang tidak boleh dilakukan), maka world silent day tidak akan persis seperti itu. Kalau pakai istilah-istilah yang hanya dimengerti oleh orang Bali, lanjutnya, maka kampanye itu akan susah dipahami dan mendapat tentangan dari kelompok agama lain.

Menurut Begawan, world silent day bertujuan mengubah kebiasaan manusia. Misalnya bahwa pertumbuhan per kapita tidak harus diikuti pertumbuhan karbon per kapita. Orang yang meningkat kesejahteraannya tidak harus meningkat pula gaya hidupnya.

Nyoman Sri Widhiyanthi, Direktur Walhi Bali, mengatakan kampanye isu Nyepi sebagai upaya mengurangi emisi sudah melalui proses panjang. Misalnya melalui temu kampung, workshop, seminar, dan focus group discussion. “Kita ingin ada tindakan nyata untuk mengurangi emisi,” kata Aik, panggilan akrabnya.

Kampanye Nyepi sebagai upaya mengurangi emisi ini sendiri sudah dilakukan pada saat United Nation Framework Convention for Climate Change (UNFCCC) di Nusa Dua 3-15 Desember lalu. Pada saat itu beberapa delegasi dari Kolaborasi NGO Bali untuk Keadilan Iklim melakukan lobi-lobi secara formal maupun informal agar isu Nyepi bisa masuk pada konferensi yang diikuti sekitar 10 ribu peserta tersebut.

Hira Jhamtani, aktivis Kolaborasi NGO Bali, mengatakan lobi itu dilakukan misalnya agar film tentang Nyepi bisa diputar di pembukaan sidang UNFCCC. Lobi itu bisa berhasil dengan diputarnya film tentang Nyepi setelah sambutan gubernur Bali. “Sayangnya gubernur malah tidak menyinggung isu Nyepi sama sekali dalam pidatonya,” ungkap Hira.

Pemerintah Indonesia pun, lanjut Hira, terlmbat untuk merespon ide pelaksanaan Nyepi ini sebagai usaha mengurangi emisi terkait isu perubahan iklim. Sampai saat ini belum ada sikap resmi Indonesia untuk mengadopsinya. “Padahal kalau ide ini tidak diadopsi oleh satu negara, maka susah kalau UNFCCC akan mengadopsi juga,” lanjutnya.

Cara lain agar isu Nyepi bisa diadopsi UNFCCC adalah dengan dukungan tanda tangan 10 juta masyarakat. “Meski tidak diadopsi oleh negara mana pun, asal ada 10 juta kita bisa mendesak agar dibahas. Karena itu perlu dukungan massif dari masyarakat atau satu negara,” kata Hira.

Dalam rangka menggalang dukungan itu pula, maka kampanye tentang world silent day pun dilakukan melalui website. Arief Budiman, praktisi periklanan di Bali yang menggagas website ini, mengatakan website ini pada dasarnya merupakan usaha besar untuk mewujudkan ide besar. “Menurut saya lewat website lah kita bisa bagi ide ini secara mudah dan murah,” kata Ayip, panggilan akrabnya.

Website www.worldsilentday.org itu sendiri saat ini sudah berjalan. Dalam diskusi itu disepakati website ini sebagai bagian dari kampanye global internasionalisasi Nyepi.

“Dalam kampanye ini kita harus membuat impresi sehingga orang sadar bahwa ini adalah sesuatu yang benar (right thing),” kata Ayip. [+]

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi
Ni Nyoman Sri Widhiyanthi – 0818551297
Hira Jhamtani - 08123866063

http://www.balebengong.net/2007/12/28/perlu-bahasa-universal-kampanyekan-world-silent-day/

Tuesday, December 25, 2007

Sebuah Kemunafikan Dari Bali??



Oleh;

Agung Wardana

Bali menjadi sorotan masyakarat dunia saat berlangsungnya COP 13 UNFCCC, hingga konsensus yang dihasilkan pun diberi nama Bali Roadmap (Peta Jalan Bali) untuk mengingatkan semua orang akan apa yang terjadi di Bali untuk mengatasi perubahan iklim. Tapi mungkin tak banyak yang tahu, ditengah hiruk-pikuk dan sanjungan yang ditujukan kepada pemerintah Indonesia, ada kemunafikan yang sedang menunggu dan tak diketahui publik secara luas.

Antara Perubahan Iklim dan Eksploitasi SDA
Dampak perubahan iklim tidak akan berhenti dengan kita berhenti membicarakannya. Dampak perubahan iklim akan tetap mengancam kehidupan kita, jadi setiap saat kita harus mewacanakannya, memasukkannya pada agenda pembangunan.

Nama Bali, sebuah pulau kecil, menjadi catatan dalam sejarah manusia di bumi karena Bali menjadi saksi diputuskannya konsensus untuk menyelamatkan dunia dari perubahan iklim. Dan yang tak kalah penting, walaupun konsensus tersebut banyak mengandung kelemahan, paling tidak dapat menarik Amerika Serikat, negara maju yang selama ini skeptik dengan perubahan iklim, untuk bergabung dengan konsensus.

Untuk pertama kali pula, masyarakat Bali mempunyai posisi yang tegas dengan mengkampanyekan Nyepi (Silent Day for the Earth) dan mampu mempengaruhi wacana yang berkembang pada konferensi internasional tersebut. Mungkin apa yang telah dilakukan masyarakat Bali akan menjadi inspirasi bagi masyarakat belahan bumi lainnya, namun prilaku pemerintah Bali sendiri tidak sejalan dengan upaya pengatasi perubahan iklim.

Kita tahu bersama, perubahan iklim merupakan signal dari gagalnya sistem ekonomi global yang berbasiskan bahan bakar fosil. Pola produksi dan pola konsumsi yang boros energi dan bahan bakar fosil telah melepaskan emisi gas rumah kaca ke atmosfir sehingga memanaskan bumi kita. Ekstraksi dan eksploitasi sumber daya alam di negara selatan untuk kepentingan pasar di negara utara mempercepat laju kerusakan ekologis dan membawa negara berkembang menjadi sangat rentan terkena dampat perubahan iklim. Pola penghisapan negara berkembang oleh perusahaan negara maju tidak akan terjadi tanpa uluran tangan dari elit di negara berkembang itu sendiri.

Tahun 2003 lalu, pemerintah mengundang investor luar negeri untuk kembali menghisap cadangan migas Indonesia. Lewat penandatangan kontrak baru migas yang keseluruhannya bernilai US$ 170,269 juta, telah mulai babak lanjutan semangat ’obral murah’ dan ’jual habis’ sumber daya alam kita.

Menariknya, salah satu blok yang dikonsesikan terletak di Bali, yakni kurang lebih 4 mil dari Pantai Utara Bali (Blok Agung 1). Pemerintah Provinsi Bali, bersama Departemen ESDM dan Santos North Bali PTY Ltd telah melakukan penandatangan kontrak 14 Oktober 2003. Meski dikatakan Blok Agung 1 di Utara Bali menyimpan potensi migas yang besar, namun Santos PTY Ltd sebagai operator dalam eksploitasinya belum menemukan potensi yang dimaksud sehingga aktivitas kontrak dikembalikan kepada pemerintah.

Bukan berarti dengan cabutnya Santos PTY Ltd dari proyek ini kemudian kita bisa tenang kembali, mengingat pemerintah sendiri sedang menawarkannya kepada perusahaan-perusahaan lain.

Saatnya Menentukan Sikap
Hal ini harus menjadi pemikiran kita bersama, apakah kita sebagai masyarakat Bali akan menerima eksploitasi ini jika kelak dilanjutkan oleh perusahaan lain?? Mengingat Bali telah mengklaim diri telah berkontribusi positif untuk menurunkan emisi gas rumah kaca lewat Nyepi selama 24 jam.

Apa memang ini yang disebut Rwa-Bhineda, dimana kita telah terbukti mampu menurunkan emisi gas rumah kaca, kemudian kita punya hak untuk melepaskan emisi dari migas yang dihasilkan dari kedalaman 100 hingga 970 meter di perut ibu pertiwi kita???

Atau ini adalah sebuah kemunafikan???

Penulis,
Aktivis WALHI/ Friends of the Earth Indonesia
Tinggal di Tabanan

Wednesday, December 19, 2007

Aksi Bali Untuk Perubahan Iklim Harus Riil

Oleh Luh De Suriyani

Peta jalan Bali atau Bali Road Map yang dihasilkan dari konferensi PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC) yang berakhir 15 Desember kemarin, bukan solusi final untuk mengurangi pemanasan global. Negara-negara maju dinilai berhasil mengalihkan komitmen pengurangan emisi ke negara berkembang.

“Negara maju sudah berhasil mengalihkan dari komitmen mereka yang sebelumnya ke perundingan pasca 2012. Pertarungan baru akan dimulai. Ini bukan akhir. Ini baru awal proses untuk kebijakan perubahan iklim,” kata Hira Jhamtani, aktivis Third World Network yang fokus pada pemantauan sidang UNFCCC, pada diskusi media di Sloka Institute, Denpasar, Rabu (19/12) kemarin. Diskusi tersebut dilaksanakan oleh Walhi Bali, AJI Denpasar, dan Sloka Institute.

Karena itu Hira berharap masyarakat daerah yang bergerak untuk memulai program-program penyelamatan lingkungan karena komitmen pengurangan emisi dari negara-negara maju sulit diwujudkan dalam waktu dekat. “Kalau pemerintah Indonesia kurang serius, kita mulai dari dengan Rencana Aksi Provinsi (RAP) Bali,” tambah Hira yang mengadvokasi kampanye Nyepi untuk bumi (silent day for the earth) di UNFCCC Nusa Dua lalu.

Hira mengatakan pihaknya bersama Bali Kolaborasi untuk Climate Change akan terus mengadvokasi agar dunia internasional mengadopsi Nyepi untuk Bumi ini. “Kita harus terus membawa program ini ke forum-forum internasional sebagai aksi nyata pengurangan emisi yang sulit dilakukan negara maju. Bali sendiri sudah melakukannya walau sehari,” tambah Hira.

Harry Surjadi, Direktur eksekutif Society of Indonesian Environment Journalist (SIEJ), juga mengharapkan media dapat menulis upaya-upaya kearifan lokal untuk menjaga lingkungan. “Menunggu hasil konkrit UNFCCC akan sangat lama, sementara banyak masyarakat yang akan kena imbas pemanasan global seperti nelayan, petani, dan masyarakat adat,” ujar Harry yang juga aktif memberikan pendidikan lingkungan pada jurnalis.

Harry heran melihat fenomena diangkatnya isu climate change oleh politikus dengan sudut pandang yang menyesatkan. Misalnya poster atau spanduk pemilihan kepala daerah yang berisi seolah-olah kampanye global warming. “Semua hal disangkutkan climate change, padahal dia sendiri tidak mengerti soal itu,” kata Harry yang mantan wartawan Kompas ini.

Informasi salah ini membuat masyarakat melihat climate change sebagai isu politik yang semakin jauh dari konteks pelestarian lingkungan itu sendiri. Harry juga kecewa dengan skema transfer teknologi yang salah kaprah menjadi jual beli teknologi. Ia melihat indikasi ini dari proyek pembangkit listrik tenaga angin yang kini dirintis di Pulau Nusa Penida. “Itu bukan transfer teknologi tapi beli teknologi. Jadi transfer pengetahuannya kurang. Kalau alatnya rusak, apakah masyarakat bisa memperbaikinya?” tanya Harry.

Karena itu ia berharap masyarakat dan pemerintah tidak menggantungkan diri pada hasil UNFCCC. Mekanisme pembiayaan konservasi hutan dalam REDD (Reducing Emission of Deforestation and Degradassion) yang dihasilkan UNFCCC lalu juga jangan sampai mengabaikan kewajiban pemerintah untuk melestarikan hutan. “Jangan bilang belum ada duit dari REDD lalu pemerintah angkat tangan untuk mengawasi hutan,” imbuh Harry.

sumber: http://www.balebengong.net/2007/12/19/aksi-bali-untuk-perubahan-iklim-harus-riil/

Sunday, December 16, 2007

Fakta Krisis-Krisis di Bali


Bali termasuk pulau yang tidak begitu luas dan dikelilingi oleh laut. Berdasarkan penafsiran para ahli geografis bahwa luas Pulau Bali adalah 5.636,66 km2 atau kira-kira seperempat dari luas Pulau Jawa (138.793,6 km²), dan memiliki panjang garis pantai kurang lebih 450 km2. Meskipun Pulau Bali tidak begitu luas namun dilihat dari kepadatan penduduknya tergolong padat yakni rata-rata 576 jiwa per km2. Misalnya, sangat mencolok sekali perbedaannya kepadatan penduduk Propinsi Bali dibandingkan dengan Propinsi Kalimantan Tengah yang rata-rata hanya 12 jiwa per km2. Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) Bali tahun 2005, jumlah penduduk di Bali tercatat sebanyak 3.247.772 jiwa yang terdiri dari 1.623.426 jiwa (49,99%) penduduk laki-laki dan 1.624.346 jiwa (50,01%) penduduk perempuan.

Dilihat dari administrasi pemerintahan Propinsi Bali yakni terdiri dari: 8 kabupaten dan 1 kotamadya, dan membawahi 53 Kecamatan atau 678 desa. Dari 678 desa tersebut sebanyak 158 desa letaknya berbatasan dengan laut (22%), pinggir pantai atau disebut desa pesisir.

Sumber-sumber kehidupan di Bali yaitu: hutan, air, dan tanah di wilayah Bali tercatat sebagai berikut:
• Luas hutan ± 130.686,01 Ha, atau atau mencakup 23,20% dari luas Propinsi Bali. Kawasan hutan ini terdiri dari kawasan Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan kawasan Hutan Produksi.
• Jumlah seluruhnya diperkirakan ada sebanyak 500 mata air, 162 Sungai. Dari keseluruhan sungai teridentifikasi 34 sungai dalam kondisi kritis (kerusakan DAS). Selain itu terdapat empat danau, yakni: Beratan (370 ha), Batur (1,607 ha), Buyan (360 ha), dan Tamblingan (110 ha). Dan, telah dibangun sebanyak 128 Waduk/dam yang tersebar di Kabupaten; Jembrana (18), Tabanan (16), Badung (10), Gianyar (18), Klungkung (11), Bangli (13), Karangasem (13), Buleleng (24), dan Denpasar (5).

Pola pemanfaatan lahan:
1. Kegiatan pertanian; sawah, sawah kering, dan perkebunan.
2. Kegiatan wisata; perhotelan, restoran, perbelanjaan, taman rekreasi, parkiran, dan publik space.
3. Pemukiman; perumahan murah atau sederhana, perumahan sedang, dan perumahan mewah (Villa).
4. Tempat sembahyang (suci, sakral).
5. Pembangunan jalan-jalan by pass baru.
6. Kegiatan usaha skala besar; mall dan kompleks pertokoaan.


Kecenderungan ke depan masalah konversi lahan pertanian akan semakin meningkat sehubungan memenuhi kebutuhan kegiatan pariwisatan maupun permintaan dari kebutuhan rumah pemukiman dan kegiatan usaha. Kecenderungan investasi di bidang properti wisata cenderung naik. Sedang di sisi lain, nilai ekonomi di sektor pertanian sebaliknya cenderung turun. Yang terus mengalami kenaikan setiap tahun adalah harga tanah, sebagai contoh, di daerah yang dijadikan lokasi wisata rata-rata harga tanah paling murah 200 jutaan per are atau 100 m2. Jika dibandingkan dua puluh tahun lalu harganya rata-rata 100 jutaan per are. Dengan demikian, semakin sempit atau keterbatasan lahan peruntukan kegiatan wisata dan bisnis maka yang terjadi harga tanah akan cenderung semakin tinggi.

Hutan produksi di wilayah Bali tercatat lebih dari 8,000 ha, dan paling luas terdapat di bagian Barat. Tercatat sekitar tahun 70-an kawasan hutan produksi itu ditanami pohon kelapa dan pohon jati. Hutan produksi dikelola oleh pemerintah sendiri dan dikelola pihak swasta. Hak pemilikan kawasan hutan produksi adalah negara, sepenuhya berada dibawah pengawasan Departemen Pertanian kemudian beralih tangan kepada Departemen Kehutanan. Selanjutnya, atas nama pemerintah kawasan hutan produksi tersebut disewakan kepada swasta atau pengusaha perkebunan.

Model hutan kerakyatan, tanaman di kawasan hutan produksi telah dipanen massal oleh warga desa sekitar pada tahun 1998 lalu disusun rencana kerja baru pada tahun 2000-an antara pemerintah daerah dengan kelompok petani setempat, yang kemudian disebut hutan kerakyatan. Hak milik panen terutama tanaman utama di atas lahan produksi seperti pohon jati mas adalah milik pemerintah kabupaten, sedang petani hanya berhak atas tanaman sampingan yang berada di bawah pohon tegakkan. Rencana hasil panen dari hutan produksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi kayu-kayu pertukangan di Bali.

Perkebunan, rata-rata adalah pemilikan perorangan. Jenis pohon yang ditanam sangat terkait dengan komiditi pasar yang bernilai ekonomi tinggi seperti pohon vanilla, cengkeh, kopi, dan sayur-sayuran. Pola hubugan kerja dalam perkebunan tersebut yakni pemilik dan buruh.

Sawah basah dan sawah kering, sawah basah khusus untuk tanaman padi sedang sawah kering untuk tanam jenis sayuran dan palawija. Pola pengelolaan sawah basah khususnya berkaitan dengan pengelolaan air disebut Subak. Sedang sawah kering awalnya tidak dipraktekkan pengelolaan air, tetapi telah diadopsi pemikiran subak untuk sawah kering, disebut subak abian.

Dalam beberapa kasus ditemukan bahwa pola kerja di sawah basah sudah tidak dikerjakan oleh pemilik sawah tetapi sudah diserahkan pekerjaan pengelolahan sawah kepada buruh, mulai dari proses tanam sampai panen. Demikian juga proses penggilingan padi sudah diserahkan kepada jasa penggilingan padi. Masalah penjualan hasil panen, baik sawah maupun hasil pertanian lebih senang memilih sistem ijon.

Jika dilihat dari kesuluruhan hasil produksi sawah Bali, kalkulasi kasar angka-angka lahan dan produksi sawah kemungkinan sudah tidak mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat Bali. Penyelesaiannya adalah import beras dari luar Pulau Bali.

Kebutuhan sehari-hari masyarakat Bali dalam memenuhi pangan, air, dan energi disediakan dan dikelola oleh pemerintah dan pihak swasta, kecuali di desa masih ada keluarga-keluarga yang menggunakan sumber energi untuk kebutuhan masak dari alam langsung seperti kayu kering. Sementara bahan bakar minyak tanah masih menjadi kebutuhan utama bagi warga desa maupun kaum miskin di perkotaan. Rata-rata kebutuhan listrik rumah tangga menggunakan fasilitas yang dikelola pemerintah dalam hal ini perusahaan listrik negara. Sedang kebutuhan air di kota-kota di kelola pemerintah Perusahaan Air Minum (PAM), sedang di beberapa desa masih mengakses langsung dari sungai dan mata air. Desa yang kesulitan akses dari mata air atau sungai terpaksa membeli air mineral untuk kebutuhan minum sedang mandi dan cuci berharap dari air tanah. Daerah-daerah yang sering kesulitan air tawar terutama di wilayah pesisir dan daerah pegunungan kapur khususnya di daerah Bukit Jembrana.

Masalah krisis air terjadi merata di wilayah Bali, kecuali lokasi tertentu yang masih dekat danau, rata-rata debit air di sejumlah sungai, waduk, dan danau dilaporkan telah turun drastis setiap tahun khususnya bulan Agustus sampai Oktober. Menurut laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia bahwa telah terlihat sejak tahun 1995 defisit air di Bali sebanyak 1,5 miliar m³per tahun. Defisit terus meningkat hingga 7,5 miliar m³per tahun tahun 2000. Kemudian, diperkirakan pada tahun 2015 defisit air di Bali akan kekurangan air sebanyak 27,6 miliar m³per tahun. Kemudian lebih jelas lagi yang dilaporkan LP3B (Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Pembangunan Bali) bahwa satu keluarga Bali memerlukan air rata-rata 100 liter per hari, sedangkan kamar hotel membutuhkan, 200 liter per hari per kamar yang tercatat sebanyak 15.906 unit (1999) membutuhkan air rata-rata 3.181.200 liter per hari. Belum lagi jumlah kebutuhan rumah tangga mencapai 76.335.000 liter untuk 7763.550 Kepala Keluarga (KK).

Selanjutnya, menurut pengamatan Walhi Bali dari tahun 2006 – 2007 saja, sejumlah daerah tercatat mengalami krisis air, antara lain: Tirta Mas Mampeh di Kintamani, Denpasar, Negara, Batu Agung, Singaraja, Besakih (Karangasem), Semarapura (Klungkung), dan Nusa Penida. Perosalan krisis air di Bali berdampak pada kehidupan sosial. Krisis air di Bali telah memicu konflik antar warga dengan warga, petani dengan petani, petani dengan perusahaan air minum. Beberapa kasus konflik masalah air yang muncul di media lokal antara lain; ketegangan antara warga subak dengan pihak swasta di Jatiluweh, Kabupaten Tabanan. Warga subak dengan perusahaan air minum daerah (PDAM) di Yeh Gembrong, Kabupaten Tabanan. Dan, antara warga masyarakat dengan pemerintah kabupaten.Telaga Tunjung, Kabupaten Tabanan.


Masalah kelistrikan Bali. Keterbatasan energi listrik yang dimiliki Bali diatas kertas, bahwa kapasitas energi listrik Bali saat ini seluruhnya sebesar 450MW. Dari kapasitas itu sebesar 200 MW (44,14%) berasal atau dipasok dari Jawa, sedangkan kapasitas pemakaian energi listrik Bali pada saat beban puncak mencapai 332 MW. Hal itu berarti masih tersisa sebesar 118 MW, padahal keamanan dan keandalan pasokan listrik yang disalurakan ke rumah konsumen jika tersedia kapasitas dua kali lipat dari pemakaian atau beban puncak. Logikanya listrik Bali akan aman dan handal jika saat ini tersedia kapasitas sebesar 664 MW .

Persoalan dibalik keterbatasan pasokan listrik itu, angka pertumbuhan permintaan listrik di Bali tertinggi bila di bandingkan dengan daerah yang lain. Angka pertumbuhan permintaan itu mencapai rata-rata14,5% per tahun, bila mana kapasitas yang tersisa saat ini, sebesar 118 MW terus dijual kepada masyarakat maka pada tahun 2004 seluruh kapasitas itu (450 MW) akan habis terjual, sehingga pada tahun yang sama yakni 2004 jika menginginkan listrik yang aman dan handal di butuhkan listrik sebesar 900 MW. Ironisnya pada tahun 2004 Jawapun telah diprediksi akan mengalami krisis listrik sehingga ada dugaan listrik yang dipasok dari Jawa sebesar 200 MW akan ditarik. Lalu pada kondisi seperti ini pertanyaannya bagaimana Bali mempersiapkannya, sebab energi listrik dianggap kebutuhan utama untuk menggerakkan perekonomian khususnya pariwisata Bali.


(Data Base WALHI Bali; diolah dari berbagai sumber)

Saturday, December 15, 2007

Penurunan Emisi DIbahas 2009


15/12/2007 19:38 WIB

Gede Suardana - detikcom

Nusa Dua - Bali Road Map dipastikan tidak menetapkan angka penurunan emisi karbon 25-40 persen. Penurunan emisi itu dibahas dalam pertemuan di Kopenhagen tahun 2009 nanti.

"Di Bali (Road Map) tidak ada pematokan range (25-40 persen) itu karena memang tidak diusahakan. Kita jaga agar itu menjadi porsi pada tahun 2009," ungkap Presiden COP 13 Rachmat Witoelar dalam jumpa pers di auditorium BICC, Nusa Dua, Badung, Bali, Sabtu (15/12/2007).

Bali Road Map hanya berisi jalur-jalur menuju perundingan yang berikutnya. Target penurunan emisi, menurut Rachmat, perlu waktu untuk menghitungnya. "Tidak bisa dalam waktu singkat kita menghitung penurunan emisi. Diperlukan waktu tahunan. Untuk menghitungnya pun perlu niat dan kesepakatan," kata Menneg Lingkungan Hidup itu.

Bagi Indonesia, Road Map ini memiliki 4 poin. Road Map memberikan arahan untuk pelaksanaan reducing emission from deforestation and degradation (REDD), transfer teknologi, keuangan dan adaptation plan.

"Kita punya Bali Road Map dan National Action Plan. Intinya menggalang kekuatan negara maju untuk mendukung kerjasama dengan negara berkembang untuk menjaga alam akibat perubahan iklim," pungkas Rachmat. ( aba / aba )

Poin-poin Bali Road Map


15/12/2007 22:06 WIB

Arfi Bambani Amri - detikcom

Jakarta - The United Nations Climate Change Conference (UNCCC) 2007 berhasil melahirkan Bali Road Map. Road Map ini menghasilkan kesepakatan aksi adaptasi, jalan pengurangan emisi gas rumah kaca, transfer teknologi dan keuangan yang meliputi adaptasi dan mitigasi.

Berikut poin-poin Bali Road Map, seperti disampaikan juru bicara the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) John Hay dalam pernyataan tertulis yang diterima detikcom, Sabtu (15/12/2007).

Adaptasi
Negara peserta konferensi sepakat membiayai proyek adaptasi di negara-negara berkembang, yang ditanggung melalui clean development mechanism (CDM) yang ditetapkan Protokol Kyoto. Proyek ini dilaksanakan oleh Global Environment Facility (GEF).

Kesepakatan ini memastikan dana adaptasi akan operasional pada tahap awal periode komitmen pertama Protokol Kyoto (2008-2012). Dananya sekitar 37 juta euro. Mengingat jumlah proyek CDM, angka ini akan bertambah mencapai sekitar US$ 80-300 juta dalam periode 2008-2012.

Namun negara-negara peserta belum sepakat mengenai pelaksanaan praktis adaptasi, misalnya bagaimana cara menyatukan dalam kebijakan nasional. Isu ini diagendakan untuk dibahas di pertemuan selanjutnya yang disebut Badan Tambahan untuk Saran Ilmiah dan Teknis di Bonn (Jerman) pada tahun 2008.

Teknologi
Peserta konferensi sepakat untuk memulai program strategis untuk alih teknologi mitigasi dan adaptasi yang dibutuhkan negara-negara berkembang. Tujuan program ini adalah memberikan contoh proyek yang konkret, menciptakan lingkungan investasi yang menarik, termasuk memberikan insentif untuk sektor swasta untuk melakukan alih teknologi. GEF akan menyusun program ini bersama dengan lembaga keuangan internasional dan perwakilan-perwakilan dari sektor keuangan swasta.

Peserta juga sepakat memperpanjang mandat Grup Ahli Alih Teknologi selama 5 tahun. Grup ini diminta memberikan perhatian khusus pada kesenjangan dan hambatan pada penggunaan dan pengaksesan lembaga-lembaga keuangan.

REDD
Reducing emissions from deforestation in developing countries (REDD) merupakan isu utama di Bali. Para peserta UNCCC sepakat untuk mengadopsi program dengan menurunkan pada tahapan metodologi.

REDD akan fokus pada penilaian perubahan cakupan hutan dan kaitannya dengan emisi gas rumah kaca, metode pengurangan emisi dari deforestasi, dan perkiraan jumlah pengurangan emisi dari deforestasi. Deforestasi dianggap sebagai komponen penting dalam perubahan iklim sampai 2012.

IPCC
Peserta sepakat untuk mengakui Laporan Assessment Keempat dari the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sebagai assessment yang paling komprehensif dan otoritatif.

CDM
Peserta sepakat untuk menggandakan batas ukuran proyek penghutanan kembali menjadi 16 kiloton CO2 per tahun. Peningkatan ini akan mengembangkan angka dan jangkauan wilayah negara CDM ke negara yang sebelumnya tak bisa ikut mekanisme ini.

Negara Miskin
Peserta sepakat memperpanjang mandat Grup Ahli Negara Miskin atau the Least Developed Countries(LDCs) Expert Group. Grup ini menyediakan saran kritis untuk negara miskin dalam menentukan kebutuhan adaptasi. UNCCC sepakat negara-negara miskin harus didukung karean kapasitas adaptasinya yang rendah. ( aba / aba )

(sumber; detiknews.com)

AS, Jepang & Kanada Sempat Tolak Turunkan Emisi 25-40%


15/12/2007 17:41 WIB

Gede Suardana - detikcom

Nusa Dua - Alotnya perundingan UNCCC disebabkan oleh sikap keras negara-negara maju seperti AS, Jepang, dan Kanada. Mereka sebelumnya bersikeras tidak bersedia menurunkan emisi karbon sampai pada tingkat 25-40 persen.

Demikian disampaikan ketua Delegasi Indonesia Emil Salim usai AS menyatakan menyetujui konsensus yang dihasilkan UNCCC pada persidangan di BICC, Nusa Dua, Badung, Bali, Sabtu (15/12/2007).

"Negara -negara ini keberatan untuk mengurangi emisi karbon 25-40 persen hingga tahun 2020 di bawah emisi tahun 1990. Itu mengganggu kepentingan ekonomi mereka,” ungkap Emil.

Emisi karbon yang dihasilkan AS, Jepang dan Kanada saja sudah mencapai 50 persen. Rinciannya, AS menghasilkan emisi karbon sebanyak 36 persen, Jepang 18 persen dan Kanada 8 persen.

Dengan kondisi seperti itu, UNCCC tidak mungkin untuk tidak mengikutsertakan negara maju ini dalam konsensus. "Itu berarti upaya-upaya lain untuk mencegah suhu bumi tetap di bawah 2 derajat celcius tidak akan ada artinya. Jadi, mereka harus ikut dalam kesepakatan kalau tidak mau pertemuan ini gagal," ujarnya.

Perundingan antara negara maju dan negara berkembang pun menjadi alot. Untuk mencari jalan keluar, negara berkembang mengambil langkah sehingga AS melunak.

Amerika Serikat, menurut Emil, akhirnya menerima konsensus dengan syarat agar negara berkembang juga bertanggung jawab menurunkan karbon melalui pembangunan yang berkelanjutan. Untuk itu, diperlukan transfer teknologi, funding, investasi. "Sehingga lahirlah kesepakatan adaptasi fund," katanya.

Terkait teknologi transfer, dibentuk lembaga eksekutif group on teknologi transfer dan sustainable forest manajemen (SFM). Teknologi ini didasarkan atas peran hutan Indonesia yang difungsikan sebagai penyerap karbon melalui dana kompensasi reducing emission from deforestation and degradation (REDD).

AS Cs pun akhirnya sepakat mengurangi emisi di bawah 40 persen pada tahun 2020 nanti di bawah emisi tahun 1990. ( gds / aba )

(sumber: detiknews.com)

UNCCC Usai, RI Sukses Terima Dana Kompensasi REDD


15/12/2007 17:48 WIB

Fitraya Ramadhanny - detikcom

Nusa Dua - Indonesia berhasil melakukan kerja sama dana kompensasi kehutanan melalui Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD). Inggris misalnya siap mengucurkan dana untuk Indonesia.

"REDD mendapat dukungan penuh. Kita mengajak negara hutan tropis bersatu dan dapat kompensasi yang adil," kata Presiden SBY dalam jumpa pers menjelang berakhirnya Konferensi Perubahan Iklim (UNCCC) 2007 di Bali International Convention Center (BICC), Nusa Dua, Bali, Sabtu (15/12/2007).

Dengan REDD, lanjut SBY, terjadi mekanisme yang adil. Negara hutan tropis menjaga hutannya untuk menyerap emisi karbon dari negara maju, sebaliknya negara maju memberikan bantuan dana kepada negara hutan tropis. "Ada hitungan ekonominya, transfer teknologi. Kita mendapat untung dari pengaturan reforestasi ini," kata SBY yang terlihat gembira, meski tampak lelah. Menurut SBY, negara Inggris menjadikan Indonesia sebagai kandidat kuat mendapatkan US$ 30 juta melalui Forest Carbon Partnership Facility (FCPF). Inggris juga telah menyiapkan US$ 1,6 miliar melalui Environmental Transformation Fund (ETF) untuk mendukung mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang. Sedangkan Inggris pada 2007 telah memberikan US$ 500.000 untuk mendukung kerja Indonesia Forest Climate Alliance dan memberikan komitmen US$ 10 juta untuk mendukung multistakeholder forestry program.

Dengan suksesnya REDD, pemerintah akan menjalankan manajemen pengolahan hutan dengan lebih baik. "Hutan tanahamn industri (HTI) tetap ada, namun konservasi tetap dilakukan. Para gubernur telah melaporkan kepada saya konsep untuk menjaga hutan. Hutan tidak dirusak, tapi tetap bisa digunakan," jelas SBY.

Konferensi Perubahan Iklim masih menggelar pertemuan hingga pukul 18.45 Wita. Pertemuan hanya menyusun redaksi deklarasi Bali Road Map. Konferensi akan ditutup secara resmi malam ini. ( asy / asy )

(sumber: detiknews.com)

Friday, December 14, 2007

Deklarasi Masyarakat Sipil Untuk Keadilan Iklim


Kami masyarakat sipil percaya bahwa alam ini menghasilkan cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang tetapi tidak akan pernah cukup untuk memenuhi keserakahan satu orang saja. Perubahan iklim merupakan hasil dari konsumsi yang berlebihan atas sumberdaya alam dan energi yang tidak berkelanjutan dan tidak adil. Perubahan Iklim adalah bukti nyata dari gagalnya model pembangunan yang menggunakan pendekatan ekonomi dengan mengabaikan aspek sosial dan juga aspek lingkungan hidup.

Bahwa selama ini sumber daya alam di negara berkembang dikeruk untuk memenuhi pasar di negara maju sehingga melahirkan kerentanan-kerentanan ekologi di negara bersangkutan.

Bahwa kami masyarakat sipil di negara berkembang menjadi korban dari dampak perubahan iklim, sebaliknya negara maju kurang cukup bertanggung jawab untuk menurunkan emisi gas rumah kacanya dan justru menyerahkan penyelesaian masalah perubahan iklim dengan berbagai skema yang berbasis pasar. Sudah barang tentu skema ini tidak akan menjawab permasalahan, karena pasar hanya tahu bagaimana mendapatkan keuntungan ditambah lagi sistem perdagangan global saat ini sangat tidak setara dan tidak adil.

Untuk itu, kami masyarakat sipil menyerukan:

Kepada delegasi dalam Konferensi PBB Mengenai Perubahan Iklim untuk kembali pada akar permasalahan perubahan iklim yakni dengan jalan menuntut negara maju menurunkan emisi secara signifikan;

Dalam melakukan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim setiap negara harus menghormati hak asasi manusia dan keadilan lingkungan khususnya hak masyarakat adat, perlindungan sumber kehidupan petani, nelayan dan perajin, keadilan gender, hak pemuda untuk bersuara.

Negara maju berdasarkan perjalanan sejarah emisi pencemarannnya wajib untuk memberikan kompensasi dan dana adaptasi kepada negara-negara berkembang berdasarkan tanggungjawab atas hutang ekologis, sosio cultural dan bukan sebagai bentuk ’kedermawanan’ ataupun mendapatkan ’surat ijin’ untuk tetap mencemari atmosfir;

Mengajak seluruh umat manusia mendukung dan menghargai upaya kearifan masyarakt Bali yang bersumber dari filosofi Tri Hita Karana dan satu bentuk kegiatan kolektif yang berkaitan dengan pemeliharaan lingkungan dengan menetapkan tanggal 21 Maret sebagai Hari Nyepi (Hari Hening, the Silent Day), dimana seluruh masyarakat dunia bisa berkontribusi mengurangi emisi gas rumah kaca dengan menghentikan kegiatan serta konsumsi energi dan sumber daya alam selama satu hari penuh.

Bali, 8 Desember 2007

Thousands March Against REDD


National News - December 09, 2007
Luh De Suryani, Contributor, Denpasar, Bali

More than 2,000 members of local and international civil society organizations gathered at Bajra Sandhi park in Puputan Renon, Denpasar, on Saturday morning to protest against the proposed carbon trade scheme known as REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation).

"REDD no, climate justice yes," shouted Nyoman Sri Widhiyanti, director of the Bali branch of the Indonesian Forum for the Environment (Walhi), as she lead the march.
Nyoman said the carbon trading scheme would only benefit developed countries and large-scale corporations.

"This is an unjust scheme for indigenous communities in developing countries," she said.
"Stop talking about business, think and talk about the fate of the local people," said a representative from the Indonesian Alliance for Indigenous Communities (AMAN).
The Saturday gathering involved AMAN members, as well as farmers, craftsmen and fishermen, and members from traditional communities, an international farmer's network, the Korean youth forum, Greenpeace, Via La Campasina and many others.
The group marched from the Bajra Sandhi Monument in Renon, Denpasar, for almost an hour to reach the Bali Provincial Legislative Council building.
Hildebrando Velez G, a speaker from Via La Campesina, said climate justice was a more important issue than climate change.

"The Latin American countries and other developing countries in the world must wake up ... and fight against capitalism, which endangers people's rights," Velez said.

Chalid Muhammad, executive director of Walhi, said talks, discussions and negotiations at the current UN conference on climate change in Nusa Dua had so far only focused on trade issues rather than climate justice.

Taufiqurohman, a 72-year-old farmer from Bandung, took part in the activity.
"I lost 26 family members in the landslide at Leuwigajah dump site in Bandung, West Java, which claimed 153 lives," he said.

The Bandung administration and other provincial administrations in Indonesia have failed to successfully manage garbage disposal.

"They don't care about people living adjacent to dump sites," he said.
Taufiqurohman and others questioned the ability of the Indonesian government to handle the delicate and complicate carbon trade scheme.

"How can Indonesia deal with such a difficult thing?" argued Chalid, adding the garbage issue alone was a never-ending problem for many cities in Indonesia.
Kartini, a lecturer from Udayana University, criticized the Indonesian government's agriculture policy, which she said affected farmers, and more importantly, the environment.

"The government has long been pushing farmers to use chemicals to boost their harvests," she said.
As a result, she said, the once fertile farming lands in many parts of Indonesia are now saturated with heavily toxic substances that can adversely affect people's health and the ecosystem.
The gathering involved numerous public figures such as actress-turned-activist Rieke Dyah Pitaloka, presenter Tantowi Yahya, singer Franky Sahilatua and other celebrities.

"This is the right moment for Balinese people and other people around the country to voice their opinions," Widhiyanti said.

Chalid added the aim of the gathering was to put strong public pressure on all leaders and policy makers at the UN conference.

Monday, December 3, 2007

Konferensi Perubahan Iklim
Nyepi 1 Menit Saat Konferensi


Gede Suardana - detikcom

Jakarta - Video berisi rekaman prosesi perayaan Nyepi di Bali diputar dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB/United Nations Climate Change Conference (UNCCC). Delegasi dari asing banyak yang terkaget-kaget. Namun ada juga yang terinspirasi untuk mengaplikasikan di negaranya.

Tayangan tentang nyepi tersebut diputar selama 1 menit di Bali International Convention Center (BICC), Nusa Dua, Bali, Senin (3/12/2007). Saat tayangan diputar, suasana BICC, tempat berlangsungnya konferensi, menjadi hening. Para delegasi larut menyaksikan tayangan yang menampilkan suasana Nyepi di Bali.

Video memperlihatkan betapa sunyinya Bali saat perayaan Nyepi. Suasana jalan raya, laut dan perkotaan sepi. Tidak ada aktivitas warga dan kendaraan yang lalu lalang.

Rupanya delegasi asing tertarik dengan tayangan Nyepi tersebut. Mereka pun menanyakan lebih jauh soal nyepi yang saat ini diusulkan Bali agar diputuskan konferensi sebagai salah satu solusi untuk mengurangi emisi Co2. I Made Suwarnata, delegasi dari LSM Wisnu misalnya, banyak ditanya delegasi asing soal Nyepi tersebut. Delegasi asing dari Brazil, Afrika dan Perancis memberikan tanggapan beragam. Ada delegasi yang belum bisa membayangkan bagaimana jika Nyepi diterapkan di negaranya. "Mereka bertanya, jika itu terjadi di negara saya, apa yang harus saya lakukan selama sehari?" tutur Suwarnata.

Seperti diketahui, dalam perayaan Nyepi ada empat larangan yang tidak boleh dilakukan. Larangan itu yaitu, tidak keluar atau bepergian, tidak nonton atau tidak menikmati hiburan, tidak makan dan tidak menyalakan api atau listrik.

Sementara delegasi Brazil setuju dengan Nyepi dijadikan sebagai salah satu solusi untuk mengurangi emisi Co2. "Oh saya suka dengan ide nyepi itu," ucap Suwarnata menirukan pernyataan delegasi Brazil. Ada juga delegasi yang tidak setuju dengan Nyepi. Mereka berpendapat negaranya bisa rugi besar jika dalam satu hari memberlakukan Nyepi. Atas ketakutan akan kerugian tersebut, Suwarnata menjawab, "tidak apa rugi satu hari, daripada dunia kiamat akibat efek climate Change. (iy/iy)

sumber : www.detiknews.com

UNFCCC Korbankan Kawasan Bebas Polusi

NUSA DUA, SENIN - Konferensi PBB tentang perubahan iklim (UNFCCC) di Hotel Westin, Nusa Dua, Bali, yang dimulai Senin (3/12) pagi, mengorbankan kawasan bebas polusi demi kenyamanan tamu. Mobil-mobil peserta dan pengantar delegasi dibolehkan masuk ke kawasan yang semula direncanakan sebagai kawasan bebas polusi.
Ribuan peserta dan delegasi UNFCCC dari 185 negara, semula hanya akan diturunkan di pintu masuk utama dan melanjutkan perjalanan ke tempat konferensi menggunakan sepeda pancal.
Namun, rencana itu batal dan panitia mengizinkan kendaraan melaju hingga gerbang Hotel Westin dan BICC/Nusa Dua Beach, dan para delegasi cukup berjalan kaki beberapa ratus meter.
Menurut panitia, pemberlakuan konsep itu demi kemudahan peserta dan merespon kekhawatiran terjadinya keluhan tamu hotel di Nusa Dua. "Mau bebas polusi bagaimana? Yang penting sudah ada gerakan moral untuk itu. Di dalam kawasan ini banyak peralatan menghasilkan polusi, seperti AC, listrik dan di mana-mana merokok," komentar Dirjen Sarana Komunikasi & Desiminasi Informasi Depkominfo, Freddy H Tulung. (ANTARA/IMA)

Nyepi sebagai Tawaran Mengurangi Emisi secara Global
Oleh : Anton Mujahir / http://rumahtulisan.wordpress.com/

United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) memang digelar di Nusa Dua, Bali. Namun, masyarakat Bali hanya jadi penonton. Tidak banyak yang bisa disuarakan masyarakat Bali dalam konferensi yang dihadiri sekitar 10.000 orang dari 180 negara itu. “Karena itu kita perlu merebut perhatian dalam konferensi itu,” kata Ngurah Karyadi, salah satu aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Bali.
Sejumlah aktivis LSM kemudian bertemu. Secara simultan mereka berdiskusi tentang apa yang bisa dilakukan agar suara Bali terdengar, tidak hanya sekadar tempat bertemunya berbagai kepentingan. Dari situ, muncullah ide LSM-LSM dari berbagai latar belakang itu untuk membentuk kolaborasi.
Kolaborasi itu dimulai dari diskusi tentang perubahan iklim yang diadakan Walhi Bali, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, Bali Organic Association (BOA), dan Yayasan Wisnu Oktober lalu. Salah satu usul yang terus didiskusikan adalah upaya untuk mengangkat local genius Bali dalam konferensi di Nusa Dua tersebut sebagai antisipasi pemanasan global.
Kearifan lokal Bali yang dianggap bisa mengurangi pemanasan global itu misalnya konsep Tri Hita Karana dan hari Nyepi di dalamnya. “Nyepi terbukti bisa mengurangi emisi gas rumah kaca,” kata Direktur Walhi Bali Ni Nyoman Sri Widhiyanti.
Upaya memasukkan Nyepi sebagai salah satu agenda pebicaraan di UNFCCC dilakukan melalui jalur formal. Beberapa LSM yang bisa masuk dalam perundingan itu telah dilobi untuk membahas usulan tersebut. Salah satunya adalah Third World Network (TWN) yang mempunyai satu sesi khusus di konferensi tersebut.
Hira Jhamtani, aktivis TWN yang juga bergabung dalam Kolaborasi LSM untuk Perubahan Iklim menyampaikan usulan itu pada Side Event UNFCCC di Grand Hyatt Nusa Dua Senin (3/12). Menurut Hira, secara matematis Nyepi di Bali bisa menurunkan emisi hingga 20 ribu ton.
Data itu diperoleh dari perhitungan berikut. Pada tahun 2005 di Bali ada terdapat sekitar 1.008.000 sepeda motor. Jika diasumsikan 1 sepeda motor mengkonsumsi 4 liter bensin sehari, berarti bensin yang digunakan adalah 4.032.000 liter. Jika pembakaran satu liter bensin menghasilkan 2,4 kg CO2, maka emisi yang dihasilkan 9.676.800 kg CO2. Diperkirakan ada 200.000 mobil rata-rata mengkonsumsi 10 liter bensin, jadi 2 juta liter bensin seluruhnya. Artinya emisi yang dikeluarkan adalah 4,8 juta kg CO2.
Selain itu, sekitar 80 pesawat terbang beroperasi setiap hari di bandara Ngurah Rai Bali, dan mengkonsumsi bahan bakar avtur 1600 kiloliter. Dengan asumsi bahwa 1 liter avtur melepaskan 2,4 kg CO2, maka emisi yang dihasilkan adalah 3,840 ton CO2.
Jadi pelepasan karbon dari mobil, sepeda motor dan avtur pesawat di Bali per hari sekitar 17.316 ton CO2. ”Ini perkiraan terendah sehingga diperkirakan minimum penghematan emisi adalah 20 ribu ton. Itu belum termasuk penghematan emisi dari kapal-kapal feri di dua pelabuhan penyeberangan, dan penggunaan energi untuk industri serta pembangkit listrik,” lanjut Hira.
Selain jalur resmi, upaya mengangkat Nyepi sebagai hari internasional mengurangi emisi juga dilakukan melalui jalur informal. “Salah satunya adalah parade budaya ini,” ujar Aik, panggilan akrab Sri Widhiyanti.
Agar lebih besar gaungnya, kolaborasi kemudian diperlebar dengan melibatkan lebih banyak LSM. Parade itu akan menampilkan berbagai bentuk kesenian dari tradisional hingga rock and roll.
Dalam acara sehari penuh ini akan dibacakan Deklarasi Masyarakat Sipil Bali yang salah satunya menawarkan agar Hari Raya Nyepi bisa digunakan sebagai momen internasional untuk mengistirahatkan bumi.
Selain deklarasi, acara yang rencananya akan dihadiri 1000 orang dari berbagai latar belakang seperti buruh, tani, nelayan, aktivis LSM, mahasiswa, dan masyarakat lain itu juga diisi berbagai bentuk kesenian.
Ada kesenian tradisional Bali seperti joget bumbung dan bondres. Ada pula band-band seperti Naviculla, Ed Eddy & Resedivis, Joni Agung, Nanoe Biroe, Balawan, dan lain-lain yang mewakili berbagai aliran musik dari rock, pop, jazz, hingga reggae.
Tidak hanya kesenian lokal Bali. Sejumlah seniman dari berbagai daerah di Indonesia pun akan hadir. Bahkan ada pula penampilan khusus dari Indian Cultural Center di Bali.
Parade itu semakin lengkap karena akan diikuti pula dengan Pasar Rakyat yang akan diisi berbagai produk murah yang dihasilka berbagai kelompok masyarakat.
“Parade ini sekaligus sebagai tempat alternatif bagi seluruh kelompok sipil di Bali yang ingin berkontribusi pada isu perubahan iklim,” kata Aik.
Di luar isu Nyepi, Parade Budaya juga menampilkan sejumlah kegiatan yang relevan dengan isu lingkungan. Misalnya Pasar Rakyat sebagai upaya untuk memperkenalkan produk lokal. “Makin banyak orang menggunakan produk lokal, maka akan makin sedikit ketergantungan kita pada negara maju penghasil emisi terbesar di bumi,” kata Komang Adi, dari Yayasan Mitra Bali yang mengurusi pameran tersebut
(http://www.balebengong.net/2007/12/03/nyepi-sebagai-tawaran-mengurangi-emisi-secara-global/)

Thursday, November 29, 2007

Indonesia Jangan Sekadar Jadi "Penjaga Hutan"

Denpasar (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia diingatkan untuk tidak sekadar memanfaatkan kesempatan meraih dana "penjaga hutan" pada konferensi internasional perubahan iklim (UNFCCC) di Nusa Dua, Bali, 3-14 Desember 2007.Demikian salah satu pembahasan yang mencuat pada "Workshop Meliput Isu Perubahan Iklim" di Desa Budaya Kertalangu, Denpasar, Sabtu, yang diikuti jurnalis dari berbagai media di Bali. Kegiatan itu menyambut penyelenggaraan UNFCCC yang akan diikuti delegasi dari 168 negara di dunia.Salah satu pemateri, Torry Kuswardono, Koordinator Tim Substansi Perubahan Iklim Walhi Nasional, bahkan secara tegas meminta Indonesia tidak turut "memperdagangkan" emisi karbon dengan memanfaatkan berbagai bantuan maupun yang sifatnya investasi.Kesediaan Indonesia untuk sekedar berperan sebagai "penjaga hutan", dengan imbalan memperoleh bantuan dana pengamanan hutan maupun investasi, hanya akan memperparah percepatan perubahan iklim ekstrim yang justru akan menimbulkan kerugian lebih besar."Kalau kita bersedia menerima 20 juta dolar AS dari Australia untuk `menjaga` hutan, sebagai kompensasi negara itu menjadi salah satu penghasil gas buang (emisi) terbesar, berarti sama saja akan membebaskan Negeri Kanguru itu untuk terus merusak lapisan ozon," katanya.Menurut Torry, dengan membayar mahal, Australia juga akan semakin mulus dalam melakukan perluasan penambangan batu bara di Kalimantan, padahal energi tersebut menjadi pencemar terbesar kedua setelah minyak yang kini dikuasai Amerika Serikat."Batu bara memang menjadi energi pengganti dari minyak yang akan semakin habis. Karena itu pemberian peluang investasi penambangan batu bara sama saja mendukung peningkatan jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) di udara," ucapnya.Peningkatan emisi GRK yang semakin mempertebal terjadinya pelapisan pada atmosfir bumi sebagai penyaring suhu panas matahari, akan semakin mempercepat perubahan iklim secara ekstrim di dunia.Diskusi pada workshop itu juga mempertanyakan delegasi Indonesia pada konferensi nanti yang akan dipimpin Prof Emil Salim, akan melibatkan Menko Kesra Aburizal Bakrie sebagai ketua tim ekonomi.Mendengar itu, peserta pelatihan secara spontan berteriak "huuu....hhhh" karena khawatir akan lebih mengutamakan kepentingan bisnis/ekonomi, ketimbang upaya yang benar-benar untuk mengendalikan pemanasan global yang semakin mengancam kehidupan manusia.Direktur Eksekutif Walhi Bali, Ni Wayan Sri Widhiyanti, juga berharap pemerintah Indonesia nantinya memiliki sikap tegas dalam menjalankan komitmen Protokol Kyoto, yakni negara-negara industri maju benar-benar menurunkan gas emisi lima persen dalam setahun.Tanpa upaya nyata dalam mengendalikan pemanasan global dan menerapkan komitmen penurunan gas buang, akan sangat membahayakan kehidupan manusia di bumi, kata Aik, panggilannya.(*)

Copyright © 2007 ANTARA

PETANI DAN NELAYAN, KORBAN PALING BANYAK PERUBAHAN IKLIM
posted in Agenda, Teknologi, Budaya, Kabar Anyar contributor : Penunggu Bale Bengong Sumber Press Release

Eksekutif Daerah Walhi Bali memaparkan temuan lapangan berkaitan dengan perubahan iklim di Bali. Walhi melakukan Temu Kampung di sepuluh tempat yang mewakili sektor pesisir dan nelayan, rural dan pertanian, serta sektor masyarakat hutan. Dalam temu kampung yang fokus pada empat kelompok masyarakat yaitu petani, nelayan, pinggir hutan, dan kalangan pariwisata itu, Walhi menemukan bahwa petani dan nelayan adalah kelompok yang paling terkena dampak perubahan iklim tersebut.
Nelayan Bali Barat di Pemuteran, Kabupaten Singaraja kini sangat sulit melaut karena perubahan iklim yang sulit diprediksi. Suhu udara makin panas dan suu air laut berubah-ubah. “Pendapatan nelayan menurun karena berbagai kendala termasuk biaya operasional yang tinggi,” kata Ni Nyoman Sri Widiyanthi, Direktur Walhi Bali di sela workshop Meliput Isu Perubahan Iklim di Denpasar. Workshop dua hari tersebut diadakan Walhi Bali, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar, dan Sloka Institute.
Demikian juga dialami petani. Misalnya petani Desa Kedisan, Kintamani, Kabupaten Bangli. Difasilitatori Made Nurbawa, petani saat ini sangat sulit menentukan masa tanam bawang sehingga panen seringkali gagal.
Salah seorang petani, I Ketut Geden menuturkan, dulu ia selalu tepat menentukan musim tanam. Beberapa tahun terakhir, musim berubah dan panennya sering gagal. Pola tanam juga bergeser. Ia juga mengeluhkan curah hujan yang seddikit dari tahun ke tahun. “Sekarang menyiram tanaman dua kali sehari, kan biaya makin banyak,” kata Nyoman Rima, petani lain.
Selain soal perubahan musim, strategi pembangunan lingkungan yang tidak terkonsep di Bali juga memperburuk masa depan lingkungan Bali. Hal ini dikatakan Made Suarnatha, Direktur Yayasan Wisnu, lembaga pemerhati lingkungan.
Misalnya di kawasan Seminyak, Kuta, sebagian sawah berubah menjadi villa yang tak terkontrol. Padahal di kawasan itu adalah daerah hijau. “Jangan sampai isu global warming ini melupakan kesalahan Bali karena pemerintah lokal melalaikan kelestarian lingkungan,” kata Suar.

KTT Iklim kian Teguhkan Dominasi Negara Maju

DENPASAR--MEDIA: Walhi mengkhawatirkan konferensi PBB tentang kerangka kerja perubahan iklim atau United Nation Framework
Convention for Climate Change (UNFCCC), hanya menjadi forum seremonial meneguhkan dominasi negara-negara maju.
Kekhawatiran itu disampaikan Pantoro Kuswardono, Koordinator Kampanye
Perubahan Iklim Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), pada workshop Meliput isu
perubahan iklim yang berlangsung dua hari hingga Minggu (25/11), di Desa Budaya
Kertalangu, Denpasar Timur.
"Kita patut khawatir mengingat kecenderungan negara maju untuk memaksakan kehendaknya. Apalagi Indonesia tidak memiliki banyak pilihan untuk bersikap. Pemerintah kita terlalu pragmatis," kata Tori, panggilan
Pantoro Kuswardono.
Pelatihan diikuti sekitar 20 jurnalis, menyambut UNFCCC di Nusa Dua, 3-14 Desember 2007 itu, diselenggarakan Walhi Bali, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar, dan Sloka Institute, 24-25 Nopember.
Menurut Tori, berdasarkan informasi yang didapat dari tim Menteri Lingkungan Hidup, pemerintah Indonesia akan lebih banyak bicara
tentang uang dalam konferensi yang akan diikuti sekitar 180 negara tersebut. "Delegasi pemerintah Indonesia tidak akan banyak membahas masalah penurunan emisi sebagai jalan keluar menekan pemanasan global. Pemerintah kita akan cenderung memanfaatkan apa yang bisa didapat secara ekonomi," ucapnya.
Dalam konferensi tersebut ada empat isu besar yang sebenarnya akan dibawa Indonesia, meliputi penurunan emisi, transfer teknologi, adaptasi, dan mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanisme/CDM). "Tapi pemerintah Indonesia sepertinya akan fokus pada upaya jual beli karbon," lanjutnya.
Dari situ akan banyak proyek yang bisa diperjualbelikan. Misalnya pelestarian hutan yang nantinya akan dikapling oleh negara-negara penghasil emisi. "Jadi hutan kita nanti bukan lagi milik masyarakat setempat tapi seolah-olah milik negara maju yang sudah membayar konsekuensi pembuangan
emisi mereka," kata Tori.
Parahnya lagi, harga hutan itu sangat murah. Hanya US$5 hingga US$20 per hektare, atau setara dengan sekitar Rp5 per meter persegi. "Karena itu kita akan menyuarakan bahwa atmosfer bukan barang dagangan. Jadi tidak semua orang punya hak untuk memperjualbelikan. Sebab perdagangan karbon adalah perdagangan hak meng-emisi orang," ujarnya.
Aktivis Walhi ini memberikan contoh saat berada di ruangan, ada yang merokok cerutu hingga asapnya banyak. Kemudian perokok kaya raya itu akan terus merokok dengan memberikan kompensasi membayar orang lain yang ada. Si
perokok akan terus merokok dan orang lain tidak boleh merokok.
"Praktik jual-beli emisi seperti itu yang akan didesakkan negara emitor terbesar Amerika Serikat di Nusa Dua nanti," kata Tori.
Menurut dia, perubahan iklim sering dilihat sebagai masalah lingkungan semata. Padahal harus dilihat ada konteks politik ekonomi di belakangnya. Ada model ketidakadilan yang tumbuh berkembang selama hampir 4-5 abad.
"Industrialisasi itu beralas darah. Ini akar cerita perubahan iklim," tambahnya, seraya mengingatkan, bahwa global warming atau pemanasan global tidak akan terjadi secara mendadak, dampaknya akan perlahan.(Ant/OL-03)

Thursday, November 22, 2007

Parade Budaya untuk Keadilan Iklim

posted in Agenda, Teknologi, Budaya, Kabar Anyar | contributor : Penunggu Bale Bengong
Sumber Press Release

Koalisi Masyarakat Sipil Bali akan gelar Parade Budaya untuk Keadilan Iklim. Parade yang akan digelar pada Sabtu (8/12/07) itu menampilkan berbagai bentuk kesenian dari tradisional hingga rock and roll. Parade itu diharapkan bisa memberi suara alternatif di tengah gegap gempita Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Nusa Dua, Bali pada 3-14 Desember nanti.

Menurut Direktur Eksekutif Daerah Walhi Bali Ni Nyoman Sri Widiyanti, kegiatan tersebut dilakukan sebagai upaya untuk menyuarakan aspirasi masyarakat Bali terkait isu yang akan dibahas sekitar 10.000 hingga 15.000 orang itu. Konferensi itu sendiri akan diikuti sekitar perwakilan pemerintah dan swasta dari 180 negara untuk membahas isu paling hangat saat ini yaitu perubahan iklim.

”Karena itu masyarakat Bali agar turut memberi suara pada konferensi tingkat dunia tersebut,” kata Aik, panggilan akrabnya.

Koalisi Masyarakat Sipil sendiri merupakan gabungan dari berbagai kelompok sipil di Bali seperti Walhi Bali, Mitra Bali, Yayasan Wisnu, Kalimajari, PPLH, Sloka Institute, Taman 65, mahasiswa, pelajar, dan berbagai kelompok lain. Koalisi ini dibentuk untuk memberi suara pada hiruk pikuk Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim nanti.

Salah satu cara untuk menyampaikan suara masyarakat Bali tersebut adalah melalui Parade Budaya untuk Keadilan Iklim yang akan digelar di Lapangan Puputan Renon Denpasar. Dalam acara sehari penuh ini akan dibacakan Deklarasi Masyarakat Sipil Bali yang salah satunya menawarkan agar Hari Raya Nyepi bisa digunakan sebagai momen internasional untuk mengistirahatkan bumi.

Selain deklarasi, acara yang rencananya akan dihadiri 1000 orang dari berbagai latar belakang seperti buruh, tani, nelayan, aktivis LSM, mahasiswa, dan masyarakat lain itu juga diisi berbagai bentuk kesenian.

Ada kesenian tradisional Bali seperti joget bumbung dan bondres. Ada pula band-band seperti Naviculla, Ed Eddy & Resedivis, Joni Agung, Nanoe Biroe, Balawan, dan lain-lain yang mewakili berbagai aliran musik dari rock, pop, jazz, hingga reggae. ”Kami hanya belum dapat dari aliran dangdut,” kata IB Anom Wiadnyana, Koordinator Parade Budaya.

Tidak hanya kesenian lokal Bali. Sejumlah seniman dari berbagai daerah di Indonesia pun akan hadir. Bahkan ada pula penampilan khusus dari Indian Cultural Center di Bali.

Parade itu semakin lengkap karena akan diikuti pula dengan Pasar Rakyat yang akan diisi berbagai produk murah yang dihasilka berbagai kelompok masyarakat.

“Parade ini sekaligus sebagai tempat alternatif bagi seluruh kelompok sipil di Bali yang ingin berkontribusi pada isu perubahan iklim,” kata Aik. [*]

Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi
Ni Nyoman Sri Widhiyanti, Direktur ED Walhi Bali (Telp 0818551297)
Ngurah Termana, Humas Koalisi Masyarakat Sipil (08156574080)


Lokakarya Perubahan Iklim Digelar di Bali
oleh Risalah MQ

Denpasar - Lokakarya (workshop) yang khusus membahas tentang pola dan penajaman penulisan mengenai perubahan iklim, akan digelar di Denpasar Bali, menyongsong diselenggarakannya Konferensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) awal Desember mendatang.

"Workshop digelar untuk memberi ketajaman bagi setiap wartawan yang akan menulis masalah lingkungan hidup, khususnya perubahan iklim berkenaan dengan penyelenggaraan UNFCCC di Nusa Dua," kata Direktur Eksekutif Walhi Bali, Ni Nyoman Sri Widhiyanti, di Denpasar, Senin.

Ia menyebutkan, penyelenggaraan konferensi dunia yang akan membahas perubahan iklim global, merupakan peristiwa penting yang memerlukan ketajaman tersendiri bagi setiap jurnalis yang hadir di arena kegiatan.

"Karenanya, para jurnalis yang akan terjun melakukan peliputan, perlu telebih dahulu dibekali sejumlah pola dan teknik tersendiri dalam menggali materi, untuk kemudian menuangkan tulisan mengenai lingkungan," ucapnya.

Dengan demikian, para peliput kegiatan nantinya diharapkan dapat menungkankan karya-karyanya yang lebih tajam, baik menyangkut lingkungan secara keseluruhan maupun khusus tentang perubahan iklim global, ujar Widhiyanti.

Mengingat itu, Direktur Walhi Bali selaku penyelenggara kegiatan, mengharapkan para jurnalis yang akan terjun meliput UNFCCC, dapat ambil bagian dalam Workshop yang akan digelar dua hari, yakni 24-25 Nopember mendatang di Sanur, Denpasar.

Workshop yang diselenggarakan atas kerja sama Walhi dengan Sloka Institut dan Aliansi Jusnalis Independen (AJI) Denpasar itu, akan menampilkan sejumlah pembicara dari kalangan ahli, baik dari perguruan tinggi maupun LSM yang khusus membidangi masalah lingkungan.

Konferensi badan dunia yang dijadwalkan berlangsung sejak 3 sampai 14 Desember 2007 itu, akan dihadiri sekitar 15 ribu delegasi dari 168 negara.(

Wednesday, November 7, 2007

Tuesday, November 6th, 2007...3:40 am

Ironi Konferensi Perubahan Iklim di Bali

Desember nanti, Bali akan dipenuhi 10 ribu hingga 15 ribu orang. Ribuan orang: aktivis LSM, pejabat, penjahat (lingkungan), menteri, sampai presiden dari 180 negara akan tumplek blek di Nusa Dua, bagian selatan Bali. United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) alias Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim itu akan berpusat di Bali International Convention Centre (BICC).

Banyak suka cita, terutama masyarakat Bali. Ini ibarat rezeki nomplok karena konferensi besar itu akan jadi promosi gratis buat pariwisata Bali. Ya, tentu saja. 10 ribu orang tidaklah sedikit. Apalagi isu pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change) sedang laris manis jadi wacana global. Maka, itu tadi, Bali pun akan mendapat imbas pencitraan.

Bali akan dicitrakan sebagai tempat konferensi yang menyenangkan. Lalu akan makin banyak wisatawan datang ke Bali. Karena itulah, nyaris tidak ada yang bersikap kritis pada masalah ini.

Tapi, tetap saja ada catatan yang harus diingatkan, terutama dari sisi lingkungan. Sebab isu yang akan didiskusikan nanti kan soal lingkungan.

Sebagai tempat konferensi, Bali jelas akan kena dampak. Kita lihat dari soal-soal sepele saja. Misalnya sampah sisa makanan, sampah isi perut dan kantung kencing :), air yang dihabiskan untuk mandi para peserta, bahan bakar minyak kendaraan (pesawat, mobil, sepeda motor) yang dihabiskan dst, dst. Saya bukan ahli hitung menghitung. Tapi saya yakin jumlahnya tidak sedikit.

Ironi paling jelas adalah soal rencana kompensasi atas dampak buruk konferensi itu. Dari dua teman aktivis LSM di Bali, saya mendapat info kalau panitia dari Jakarta akan melakukan penghijauan di Taman Nasional Bali Barat sebagai bentuk timbal balik dampak buruk konferensi. Kabarnya panitia akan membangun toilet dan menebang hutan untuk jalan masuk ke hutan.

Ini sih sepertinya sinting. Tapi sangat mugkin memang terjadi. Coba pikir: 10 ribu orang datang ke tengah hutan? Atau ya paling sedikit lah 1000 orang. Jelas susah. Gimana kalau 1000 orang itu pengen kencing? Tidak enak kan kalau semua lalu membuka celana dan cuuur di tengah hutan seenaknya. Maka dibuatlah toilet itu tadi.

Begitu juga dengan menebang hutan. Kalau hanya satu dua orang yang masuk sih gampang saja. Tidak usah menebang hutan. Cukup lewati jalan setapak atau di sela semak-semak. Lha kalau 1000 orang masuk hutan, meski lewat sela semak-semak ya tetep saja hutan akan rusak. Mungkin karena itu pohonnya ditebang untuk bikin jalan. Sebab hutan yang gundul itu adanya memang di tengah, bukan di pinggir.

Inilah puncak dari semua logika yang tidak logis. Hehehe. Masa mereka menebang pohon untuk menanam pohon baru. Gimana kalau pohon barunya tidak tumbuh? Rusak sih pasti, perbaiki belum tentu.

Kata temanku sih rencana ini memang masih kontroversi. Dinas Kehutanan Bali konon menolak ide gila ini. Tapi aku sendiri belum pernah cek langsung ke pihak-pihak terkait. Masih sebatas ide untuk jadiin bahan liputan. Seperti biasa, masih banyak kerjaan lain yang numpuk. Huh!(rumahtulisan.wordpress.com)

Monday, November 5, 2007

Aksi Langsung Kaum Muda Pembela Lingkungan

Singaraja- Green Student Environmentalist (GSE) Bali bersama Mapala Widya Wahana IHDN Denpasar dan Magma Adventure Team mengadakan aksi langsung dalam membela hutan di kawasan Danau Buyan dan Tamblingan, sabtu (03/11/07). Dalam aksi langsung tersebut, belasan partisipan juga membuat tenda untuk bermalam.

”Saat ini, kawasan hutan danau buyan dalam kondisi kritis yang kemudian berdampak pada turunnya debit air di danau” ungkap Dek Gus dari GSE Bali.

Dengan membentangkan dua spanduk yang berbunyi, ”Stop Merusak Lingkungan” dan “Hutan Kita Bukan Toilet Karbon Negara Maju“, partisipan bermaksud untuk mengajak masyarakat untuk bersama-sama menjaga Hutan Bali yang masih tersisa. (*)

Monday, October 29, 2007

Rock Against Warming II : Walhi Bali Menggandeng Band - Band Peduli Lingkungan Untuk Menyuarakan Keadilan Iklim



Perubahan iklim saat ini merupakan permasalahan lingkungan hidup yang paling serius dekade ini. Namun, permasalahan perubahan iklim ini hanya menjadi pembicaraan ditingkat kelas menengah atau bahkan dilakangan environmentalis saja. Masyarakat umum, walaupun sudah merasakan dampaknya di konteks lokal, tetapi mereka relatif belum paham dan tidak mempunyai kesadaran dalam ikut melakukan advokasi kebijakan yang terkait dengan perubahan iklim. Menuju Konferensi PBB Mengenai Perubahan Iklim yang akan dilaksanakan di Bali Desember nanti, WALHI Bali mengadakan beberapa kegiatan yang dimaksudkan untuk menyebarluaskan isu perubahan iklim dan memperkenalkan perspektif hak asasi manusia dan keadilan lingkungan dalam melihat masalah perubahan iklim ini. Dengan harapan bahwa masyarakat Bali nantinya tidak hanya menjadi saksi bisu saja, melainkan ikut mengangkat suara untuk mempengaruhi perhelatan yang sangat menentukan bagi kelanjutan hidup di bumi.

”WALHI Bali mengajak anak muda khusus nya band-band peduli lingkungan untuk ikut menyuarakan perubahan iklim ini lewat kegiatan musik yang bertajuk ’Rock Against Warming’. Kegiatan musik ini sekarang sudah yang kedua.” kata Bayu Mandala, Kordinator Acara.

Hari Minggu, 30 September 2007 lalu di gelar ”Rock Against Warming I” yang diisi 14 band, yakni: Kalahhari, Fuzz Clan, Something Like Crazy, Nymphea, Born By Mistake, Syailendra, Republik Enemy, Cordial Army, Psychofun, Foreplay, The Audio Kills, The Brews, Molotov, Bad Ramirez.

Pentas musik kedua diadakan pada hari minggu, 28 Oktober 2007 di Peanut Club Kuta Bali dengan 17 band pengisi acara, yakni: Kost Oi, Devil Killer, School Devil, Timah Panas, De’ Buntu, WNG, Bad Animal, Romeo Rocker’s, NCV-RU, Ed Eddy & Residivis, Ritual Ceremony, Cyber Machine’s, Scared Of Bums, Infectus Arteries, De’ Roaster, Antipop, Rest In Pain.

”Dengan menggelar musik secara gratis diharapkan partisipasi generasi muda dapat meningkat untuk meramaikan pentas musik tersebut. Dengan demikian tujuan dari penyebarluasan isu perubahan iklim dan keadilan iklim ini dapat tercapai dan tersampaikan secara universal sehingga keperdulian generasi muda terhadap lingkungan dan sesama dapat terbangun dengan baik.” tambah Bayu.

”Kami dari WALHI Bali mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya bagi band-band yang sudah bersedia berpartisipasi dalam acara ini tanpa di bayar sepeser pun” ungkap Ni Nyoman Sri Widhiyanti, Direktur WALHI.

”Tingginya antusisme kaum muda Bali untuk berpartisipasi dalam acara ini, membuktikan bahwa generasi muda Bali sudah sadar akan hak-haknya untuk ikut bersuara mengenai masalah lingkungan. Semoga event ini bisa membangunkan kita bahwa kita sedang ada dalam ancaman perubahan iklim” tambah Aik, panggilan akrabnya.(*)

Lembar Informasi No. 3

Berubah atau Diubah:
Tindakan Bersama Demi Keberlanjutan Hidup di Bumi


Mengapa Kita Harus Berubah?

Dalam Lembar Informasi no. 1 ”Ketika Selimut Bumi Makin Tebal” dan Lembar Informasi no. 2 ”Dari Rio ke Bali via Kyoto” telah dijelaskan mengenai perubahan iklim dan peraturan-peraturan yang telah dibuat dalam rangka menurunkan gas rumah kaca yang ada di lapisan udara kita. Meski telah ada peraturan-peraturan tersebut, ternyata tidak berjalan cukup efektif dalam memenuhi target. Jadi diperlukan langkah bersama untuk mendorong sebuah perubahan yang lebih baik. Perubahan gaya hidup sangat diperlukan karena kita sedang berada dalam ancaman perubahan iklim. Jika kita tidak mengubah gaya hidup, maka tidak mustahil bumi akan menjadi tempat yang tidak dapat dihuni oleh makhluk hidup.

Apa Yang Bisa Kita Lakukan?

• Menyadarkan diri sendiri dengan mendapatkan informasi yang lebih baik dengan membaca, mencari tahu, mempelajari informasi yang ada

• Mengubah gaya hidup

• Mencoba mempengaruhi orang lain untuk melakukan hal yang sama

• Mencoba mempengaruhi kebijakan pemerintah agar lebih ramah lingkungan.

Apa Yang Bisa Dilakukan Untuk Mempengaruhi Sekitar Kita?

Setelah mempunyai informasi yang cukup tentang perubahan iklim, cobalah untuk merubah gaya hidup kita. Kemudian lanjutkan untuk mempengaruhi orang-orang yang ada disekitar kita, seperti keluarga, sekolah maupun di tempat kerja, untuk:

A.Hemat Sumber Daya Alam
• Hemat air di rumah tangga, saat anda mandi, mencuci ataupun menyiram tanaman
• Buatlah penampungan air hujan sehingga dapt digunakan untuk menyiram tanaman
• Hemat penggunaan kertas dengan menggunakan kedua sisinya (bahan baku kertas berasal dari kayu)
• Gunakan tissue secukupnya

B.Hemat Energi
 Matikan listrik (jika tidak digunakan, jangan tinggalkan alat elektronik dalam keadaan standby. Cabut charger telepon genggam dari stop kontak. Meski listrik tak mengeluarkan emisi karbon, pembangkit listrik PLN menggunakan bahan bakar fosil penyumbang besar emisi)
 Ganti bola lampu yang bisa menghemat listrik
 Bersihkan lampu (debu bisa mengurangi tingkat penerangan hingga 5%)
 Jika terpaksa memakai AC (tutup pintu dan jendela selama AC menyala. Atur suhu sejuk secukupnya, sekitar 21-24º C)
 Gunakan pengatur waktu / timer (untuk AC, microwave, oven, magic jar, dll)
 Buat jadwal/ batas waktu penggunaan listrik.
 Tanam pohon di lingkungan sekitar Anda untuk menyerap pencemaran dan mengatur air tanah
 Jemur pakaian di luar. Angin dan panas matahari lebih baik ketimbang memakai mesin pengering (dryer) yang banyak mengeluarkan emisi karbon
 Lebih sedikit gunakan kendaraan dalam perjalanan singkat atau dekat. Jalan kaki, kayuh sepeda, naik mobil beramai-ramai, dan kendaraan umum, selain akan menghemat pengeluaran transportasi kita, tentu saja mengurangi karbon dioksida
 Gunakan tangga daripada lift (bila memungkinkan) di tempat kerja

Apa yang bisa kita lakukan sebagai konsumen?

Sebagai konsumen kita mempunyai hak untuk memilih barang-barang yang akan kita konsumsi. Jadi gunakan pertimbangan-pertimbangan perubahan iklim dalam memilih barang, seperti:

• Menghindari untuk beli produk dengan bungkus yang berlapis-lapis. Setiap kita bisa mengurangi 10% sampah, kita berarti sudah mengurangi 600 kg karbon dioksida.
• Bawalah tas sendiri ketika kita sedang berbelanja sehingga tidak menggunakan plastik untuk membawa barang belajaan. Karena hampir semua sampah plastik menghasilkan gas berbahaya ketika dibakar.
• Belilah produk lokal untuk mendukung bergeraknya ekonomi lokal. Selain itu produk lokal lebih hemat energi daripada produk import yang memerlukan pengangkutan yang jauh dan mengeluarkan emisi lebih banyak.
• Dukung pertanian organik karena tidak menggunakan pupuk kimia yang dibuat dari bahan bakar fosil.


Apa yang Bisa Kita Lakukan Di Masyarakat?

Setelah kita melakukan hal tersebut diatas, mulailah untuk berbagi informasi kepada masyarakat yang ada di sekitar kita. Kemudian ajaklah masyarakat untuk:
 Mengelola sampah di banjar, desa, atau komunitas secara swadaya
 Mengelola sumber daya alam di sekitar kita (sungai, tanah, danau, hutan) dengan tetap menjaga kelestariannya
 Membentuk kelompok pelestari lingkungan hidup dan relawan siap siaga bencana di masyarakat
 Membuat komunitas hijau untuk menciptakan karya-karya kreatif dari produk daur ulang
 Membentuk pasukan kebersihan dalam setiap kegiatan yang masyarakat adakan
 Budayakan nebeng dengan jalan satu kendaraan bersama-sama tanpa harus membawa kendaraan sendiri-sendiri.
 Tanam pohon di ruang-ruang milik umum untuk menjaga kesejukan udara dan cadangan air tanah.
 Memilih kepala desa, bupati, gubernur maupun anggota wakil rakyat dengan jalan melihat jelas latar belakang, visi-misi yang peduli iklim dan mempunyai program yang membela lingkungan dan masyarakat.

Apa Yang Bisa Kita Lakukan Sebagai Pembayar Pajak

Buatlah kelompok atau perkumpulan para pembayar pajak (tax-payer club) untuk mendorong negara (pemerintah) melakukan hal sebagai berikut:
- mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada lingkungan hidup dan masyarakat
- membangun fasilitas umum yang dapat dimanfaatkan dalam merubah gaya hidup masyarakat, seperti angkutan umum, jalur pengendara sepeda dan pejalan kaki, ruang terbuka hijau dan lain-lain
- memberikan insentif kepada masyarakat yang berhasil mengembangkan energi terbarukan di wilayahnya desanya
- menyediakan tempat dan penampungan sampah plastik yang terpisah dari sampah organik. Sehingga sampah organik dapat dimanfaatkan sebagai kompos oleh masyarakat
- menghentikan kebakaran hutan dan lahan
- Mengakui hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayahnya.

Apa Yang Harus Segera Dilakukan Negara?

Negara harus segera mungkin memberikan informasi tentang perubahan iklim dan informasi adaptasi untuk masyarakat yang rentan sebagai tindakan kesiap-siagaan dini dan peningkatan kesadaran tentang bencana iklim yang semakin meningkat.

Bagaimana Dalam Konteks Indonesia?

Karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat rentan terhadap dampak dari perubahan iklim, maka Pemerintah Indonesia harus membangun sistem informasi dan pusat data (data base) mengenai dampak-dampak perubahan iklim, termasuk didalamnya:
- Identifikasi dampak-dampak perubahan iklim yang telah ada dan potensi dampak yang dapat terjadi di Indonesia;
- Menetapkan daerah-daerah yang kritis dan rentan terkena dampak perubahan iklim sebagai prioritas untuk melakukan tindakan adaptasi;
- Karena perubahan iklim dapat meningkatkan intensitas bencana, maka perlu untuk mengembangkan sistem peringatan dini akan bencana alam dan lingkungan yang dapat terjadi, seperti kebakaran hutan, banjir, badai, pemutihan karang (coral bleaching), dsb;
- Manajemen yang dilakukan secara multipihak untuk menanggulangi dampak-dampak perubahan iklim yang dapat terjadi;
- Pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan ketahanan ekonomi masyarakat ketika dampak perubahan iklim terjadi.

Langkah Adaptasi yang Harus Dilakukan Pemerintah

a. Pembangunan Sarana dan Prasarana
- Pembuatan sistem drainase dan sumur resapan untuk mengantisipasi curah hujan yang tinggi dan kekeringan
- Pembangunan jalan untuk pejalan kaki dan pengguna sepeda serta penanaman pohon peneduh sehingga mendorong masyarakat untuk menggunakan kendaraan tanpa motor ataupun berjalan kaki
- Pembuatan desain gedung perlu memperhatikan ketahanan terhadap badai tropis, intensitas hujan yang tinggi, dan kekeringan.
o Pembangunan jalan perlu memperhatikan tata ruang dan prediksi kenaikan permukaan air laut.
- Meningkatkan daya dukung DAS (Daerah Aliran Sungai) dengan mencegah kerusakan dan memperbaiki daerah tangkapan (catchment area) sebagai daerah resapan air melalui upaya konservasi lahan, baik dengan metode mekanis (misal: pembuatan terasering dan sumur resapan) mapun vegetatif

b.Kelautan dan Perikanan
- Sosialisasi kepada nelayan tentang cara pemanfaatan informasi cuaca dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG)
- Memfasilitasi nelayan dengan perahu yang lebih tahan terhadap goncangan gelombang besar
- Perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh perubahan iklim terhadap budidaya ikan. Diperkirakan bahwa perubahan iklim bisa mengurangi jenis ikan sampai 20-30%.
- Perlu dibangun pemukiman nelayan yang desainnya telah mengantisipasi kenaikan permukaan air laut (termasuk sistem sanitasi dan air bersih).
- Perlu dibangun sistem peringatan dini dan tempat evakuasi bilamana terjadi kenaikan air laut dan gelombang pasang yang tinggi.

c. Pangan dan Pertanian
- Menentukan awal musim tanam setelah menyesuaikan dengan perubahan siklus alam
- Adanya kebijakan keragaman pangan (diversifikasi) dan intensifikasi pangan yang disesuaikan dengan kondisi sumber daya alam lokalnya
- Perlu adanya perencanaan penyediaan air untuk kegiatan pertanian untuk mengantisipasi kekeringan di musim kemarau
- Perencanaan yang mendetail tentang kebijakan pengembangan pertanian, dengan memperhatikan kelestarian ekosistem agar dapat dilaksanakan sistem pertanian terpadu dan berkelanjutan
- Mengembangkan teknologi hemat air dengan mengintensifkan lahan basah maupun lahan kering yang disesuaikan dengan iklim
- Perlu dilakukan pembahasan tentang peningkatan pendapatan petani dan upaya pemasaran produk pertanian.
- Sosialisasi penelitian mengenai varietas-varietas tanaman yang tahan terhadap banjir, kekeringan, dan salinitas

d. Kesehatan
- Penyuluhan kesehatan kepada masyarakat mengenai upaya pencegahan penyakit dan perbaikan sanitasi lingkungan.
- Melakukan penelitian untuk mengidentifikasi jenis-jenis penyakit yang bisa ditimbulkan sebagai dampak perubahan iklim serta mengembangkan alternatif upaya pencegahan.
- Pengembangan obat-obatan menggunakan bahan baku yang memanfaatkan keanekaragaman hayati lokal untuk pengobatan penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh perubahan iklim

e. Pendidikan
- Pengembangan pendidikan berbasis lingkungan hidup
- Pengembangan isu perubahan iklim dalam kurikulum sekolah menengah dan perguruan tinggi.

Langkah Mitigasi yang harus dilakukan pemerintah, yakni:
a. Energi
Pemerintah harus mengeluarkan Kebijakan-kebijakan untuk mendukung sektor energi yang berkelanjutan, antara lain:

- Penyediaan akses energi bagi semua orang.
Saat ini baru 58% rumah tangga di Indonesia yang telah dialiri listrik, terdiri dari 59% untuk Pulau Jawa dan 36% untuk luar Jawa. Sementara jumlah desa yang telah teraliri listrik baru sekitar 67% dari total desa di Indonesia. Oleh karena itu peningkatan jangkauan pelayanan yang berbasiskan swadaya masyarakat melalui program listrik mandiri atau pembangkit skala kecil harus digalakkan oleh pemerintah.

- Pelaksanaan efesiensi energi
Pembangkit listrik di Indonesia saat ini lebih banyak menggunakan bahan bakar dari energi fosil (batubara, minyak bumi, gas alam) yang dapat melepaskan karbon. Sehingga dengan mengefisiensikan energi berarti mengurangi pelepasan karbon ke permukaan udara.

- Penyebarluasan penggunaan energi bersih dan terbarukan
Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya energi terbarukan. Namun pemerintahnya sendiri belum memfasilitasi masyarakat untuk mengembangkan teknologi pembangkit listrik bersih dan terbarukan yang dapat dikembangkan pada skala-skala kecil.

- Penggunaan bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan
Terbatasnya persediaan energi fosil (minyak, gas, dan batubara) harusnya dapat memicu Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati dan tanahnya yang subur untuk mengembangkan penyediaan energi berbahan bakar hayati. Selain akan mengurangi dampak lingkungan secara signifikan, penggunaan bahan bakar hayati juga akan membantu pengembangan sektor pertanian di Indonesia.

- Mengembangkan sarana angkutan umum yang ramah lingkungan di perkotaan
Angkutan umum yang ramah lingkungan, seperti kereta listrik ataupun bus ber-bahan bakar gas, mendesak untuk dikembangkan di perkotaan guna mengurangi emisi gas rumah kaca (baik yang ditimbulkan oleh kendaraan pribadi ataupun peningkatan emisi akibat kemacetan lalu lintas karena kepadatan kendaraan pribadi dan umum). Selain itu, perlu dibangun fasilitas jalur bagi pengendara sepeda.

b. Kehutanan
- Penanggulangan penebangan yang merusak, yang akan berkontribusi dalam pengurangan emisi;
- Rehabilitasi maupun konservasi hutan dan lahan oleh masyarakat sehingga meningkatkan kapasitas penyerapan karbon
- Pengakuan terhadap hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan dan sumberdaya alamnya;
- Melakukan jeda tebang (moratorium logging) untuk melakukan penataan ulang sektor kehutanan

c. Sumber Daya Air
- Pelaksanaan pembangunan infrastruktur air, jalan dan jembatan, permukiman serta prasarana dan sarana umum dan milik perorangan harus berdasarkan kajian/studi AMDAL yang komprehensif mencakup aspek teknis, ekonomi, sosial dan ekologis. Selain itu kriteria pengeluaran ijin kegiatan harus memasukkan analisa pelepasan gas rumah kaca (GRK) akibat pelaksanaan kegiatan.
- Kegiatan pemulihan kuantitas dan kualitas aliran sungai pada DAS-DAS (Daerah Aliran Sungai) kritis melalui penghijauan dan pengelolaan kualitas air secara konsisten
- Inventarisasi daerah irigasi dan tempat pengambilan air baku untuk air minum (intake) yang akan terkena dampak kenaikan muka air laut dan mencarikan upaya penanganannya
- Pengelolaan dampak kenaikan muka air laut dan pengelolaan abrasi pantai yang terpadu;
- Pengelolaan daerah rawa dan lahan gambut yang ramah lingkungan (menekan emisi Gas Rumah Kaca);
- Pengkajian ulang “design criteria” perencanaan semua bangunan air dan drainase.

Apa yang Bisa Dilakukan Masyarakat internasional?

Masyarakat internasional, terutama negara maju, harus mempengaruhi pemerintah mereka agar menjalan kebijakan dalam negeri untuk menurunkan emisi dan kebijakan luar negeri yang mendorong keadilan iklim.

Apa itu Keadilan Iklim?

Keadilan iklim adalah prinsip-prinsip yang memasukkan hak asasi manusia dan keadilan lingkungan dalam rangka mengatasi perubahan iklim. Prinsip-prinsip tersebut antara lain :
- hak setiap orang untuk bebas dari dampak perubahan iklim dan kerusakan ekologis;
- hak masyarakat adat, perempuan, dan pemuda yang setara dalam mengeluarkan pendapat dan akses terhadap teknologi bersih dan energi terbarukan yang dapat dikelola secara lokal;
- negara maju telah mengeksploitasi sumber daya alam di negera berkembang dan mencemari permukaan udara sehingga mengakibatkan negara berkembang mengalami kerusakan lingkungan. Selain itu negara berkembang menjadi korban akibat dampak perubahan iklim karena tidak mempunyai sumber daya (finansial dan teknologi) yang cukup untuk menyesuaikan diri. Oleh karena itu, negara maju bertanggung jawab membayar akibat yang telah ditimbulkannya dengan cara memberikan kompensasi dan pemulihan kepada negara berkembang;
- menuntut negara maju untuk menurunkan emisi mereka dan mendorong keharusan untuk mengurangi kegiatan yang dapat mengeluarkan gas rumah kaca;
- Mengakui hak masyarakat adat untuk memilih pola kehidupan dan mempertahankan budayanya; hak mereka atas penguasaan lahan, termasuk permukaan, kawasan dan sumber daya alam; dan hak atas perlindungan dari setiap tindakan yang dapat merusak kawasan, budaya serta pola hidup mereka;
- melawan campur tangan perusahaan multinasional untuk mempengaruhi pengambilan kebijakan nasional dan internasional yang berakibat pada pola produksi, pola konsumsi dan gaya hidup yang tidak berkelanjutan;
- Memasukkan masalah iklim, energi, sosial, lingkungan, pengalaman hidup dan penghormatan pada keragaman budaya ke dalam sistem pendidikan;
- Hak untuk mendapatkan udara bersih, sumber daya alam, iklim yang stabil dan planet yang sehat untuk ditempati, untuk generasi sekarang dan generasi mendatang

Apa yang Bisa Dilakukan Untuk Mewujudkan Keadilan Iklim?

Untuk mewujudkan keadilan iklim adalah merupakan tanggung jawab negara dan komunitas internasional (pemerintah). Namun, masyarakat juga perlu mengetahui hak-hak nya sehingga dapat menyuarakan dan menuntut haknya tersebut kepada pemerintah untuk dibicarakan di pertemuan internasional mengenai perubahan iklim yang diselenggarakan di Nusa Dua – Bali, Desember 2007.

Catatan :


Sumber:
- www.wwf.or.id/index.php?fuseaction=press.detail&language=i&id=PRS1178125126
- http://www.pelangi.or.id/press.php?persid=30
- http://www.walhi.or.id/kampanye/energi/iklim/
http://larassejati.multiply.com/journal/item/383/Mitigasi_dan_Adaptasi_dalam_Perubahan_Iklim_Global
- Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim (RAN MAP) Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia
- Bali Principles of Climate Justice
- Friends of the Earth International Position for COP/MOP in Bali
- “How to save the Climate” Greenpeace

Lembar Informasi No. 3 ditulis oleh Hira Jhamtani, Kadek Lisa dan Agung Wardana, dan di layout oleh Atiek, diterbitkan Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim, didukung Third World Network.

Bali Kolaborasi Climate Change merupakan forum yang terdiri dari organisasi non-pemerintah dan eksponen masyarakat sipil yang berjuang untuk mengkampanyekan nilai-nilai Nyepi sebagai salah satu solusi yang adil dan murah untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Forum ini pertama kali dibentuk oleh empat organisasi non pemerintah, yakni: Yayasan WISNU, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bali, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali dan Bali Organic Association (BOA).

Tuesday, October 23, 2007


Pernyataan Sikap

“Hutan Kita Bukan Toilet Karbon Negara Maju”

Salam Adil dan Lestari!!!


Perubahan Iklim saat ini menjadi pembicaraan yang serius karena merupakan ancaman bagi kehidupan di bumi. Perubahan iklim terjadi akibat naiknya suhu bumi yang merupakan hasil dari aktivitas manusia dan menjadi bukti gagalnya model pembangunan global yang bersandar pada eksploitasi dan ektraksi sumber daya alam secara berlebihan.Kenaikan suhu bumi 0,6º C saat ini menyebabkan banyak pihak mencari cara untuk membuat keadaan tidak menjadi lebih buruk lagi (mitigasi). Akibat konsentrasi karbon yang bertambah secara signifikan di permukaan udara (atmosfir) pasca Revolusi Industri, kenaikan suhu bumi ini tidak dapat dihindari sehingga kenaikannya harus dibatasi dibawah 2º C. Jika tidak mengambil langkah nyata ( business as usual) maka diperkirakan suhu bumi akan naik 5º C yang berakibat pada kekacauan iklim di semua belahan bumi.

Walaupun telah ada Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) maupun Protokol Kyoto, ternyata konsentrasi gas rumah kaca tidaklah berkurang secara signifikan. Malah banyak pakar yang menyatakan, bahwa Protokol Kyoto tidak berjalan efektif akibat Amerika Serikat dan Australia sebagai negara yang memiliki kontribusi besar dalam pelepasan karbon, tidak mau tunduk pada komitmen protokol. Kemudian negara berkembang yang harus menjadi korban pertama atas prilaku negara-negara maju tersebut, karena negara-negara berkembang tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk menyesuaikan diri (adaptasi).

Pertemuan Para Pihak Konvensi Perubahan Iklim yang akan diadakan di Indonesia desember nanti membuat pemerintah Indonesia melihat peluang besar untuk menggalang dana-dana dari negara maju. Baik dana adaptasi maupun mitigasi dalam bentuk mendorong mekanisme Carbon Sink masuk kedalam CDM (Clean Development Machanism). Mekanisme Penyerapan Karbon (Carbon sink) adalah mekanisme penyerapan atau perosot karbon dengan menggunakan pohon, tanah, dan laut untuk menyerap karbon yang ada di atmosfir. Saat ini pemerintah Indonesia berencana ’mengontrakkan’ hutan tropis Indonesia untuk dijadikan hutan penyerap karbon dari emisi yang dikeluarkan negara maju. Hutan dengan luas 91 juta hektar ini ditawarkan dengan harga 5 – 20 dollar Amerika per hektar, mekanisme ini bukanlah jawaban atas akar permasalahan perubahan iklim. Negara maju yang mengeluarkan uangnya untuk mekanisme penyerapan karbon di negara berkembang akan mendapatkan ’surat ijin’ untuk tetap berhak mencemari atmosfir tanpa harus menurunkan emisi mereka (membayar untuk mencemari).

Untuk itu, kami Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Eksekutif Daerah Bali menyatakan bahwa:

  1. Menolak mekanisme Carbon Sink masuk kedalam CDM. Karena bukan merupakan jawaban atas akar masalah perubahan iklim melainkan sebagai alat penebus dosa negara maju yang telah mencemari bumi kita sejak Revolusi Industri dan tidak mau menurunkan emisi mereka; Mekanisme ini justru akan mengambil alih hak-hak masyarakat adat atas hutan, lahan dan sumber daya alam mereka atas nama penyelamatan hutan tropis. Dan hutan Indonesia belumlah bersih dari berbagai masalah, seperti konflik penguasaan antara masyarakat adat dengan negara maupun dengan swasta, jadi mekanisme ini justru akan menambah kompleks permasalahan yang akhirnya akan meminggirkan dan memiskinkan masyarakat adat.
  2. Menuntut pertanggung jawaban negara maju (Annex 1) untuk memberikan kompensasi bagi negara-negara berkembang sebagai bentuk hutang sejarah dan hutang ekologis. Karena telah mengeksploitasi sumber daya alam di negara berkembang untuk kepentingan konsumsi negara maju sehingga menyebabkan negara berkembang mengalami kerentanan ekologis. Selain itu, negara maju memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, karena 85 % emisi total dunia berasal dari negara-negara maju.
  3. Menyerukan kepada Pemerintah Indonesia sebagai tuan rumah Pertemuan Para Pihak Konvensi Perubahan Iklim (COP 13 UNFCCC) mengambil posisi strategis untuk menjadi pemimpin bagi negara-negara berkembang dalam mengangkat posisi tawar dan menegosiasikan hak-haknya kepada negara maju; bukan justru menjadi calo ’real estate’ hutan Indonesia.

Demikian pernyataan sikap ini kami buat, dalam rangka menuntut keadilan atas atmosfer kita yang saat ini di dominasi oleh segelintir kelompok istimewa.

Denpasar, 23 Oktober 2007

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

Eksekutif Daerah Bali