Monday, September 8, 2008

Amdal Penambangan Pasir Geger Kadaluarsa

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Daerah Bali mendesak agar pemerintah Kabupaten Badung meninjau kembali Analisis Masalah Dampak Lingkungan (Amdal) penambangan atau pengambilan pasir Pantai Geger, karena sudah kadaluarsa.

"Amdal proyek ini sudah kadaluarsa sejak Juni 2008, karena amdal berlaku hanya lima tahun sejak 2003. Oleh karena itu saat ini harus ada tinjauan amdal yang baru," kata kata Direktur Eksekutif Walhi Bali, Agung Wardana, di Denpasar, Jumat (5/9).

Walhi Bali juga mendesak Pemkab Badung untuk membuka informasi amdal dan perizinan terkait proyek ini kepada publik, baik masyarakat yang terkena dampak dan juga masyarakat yang berkepentingan. "Berdasarkan PP no 27 tahun 1999 tentang amdal pada pasal 35 dinyatakan amdal bersifat terbuka untuk umum," kata Wardana.

Walhi Bali juga mendesak pemerintah segera mensosialisasikan program ini kepada penduduk di pantai Geger. Penduduk di Pantai Geger sebagian besar adalah petani rumput laut. Rencana penambangan pasir ini dikhawatirkan akan menghilangkan mata pencaharian mereka. "Ekosistem laut dipastikan terganggu, lalu habitat rumput laut pasti rusak. Rumput laut itu sangat rapuh dan sensitif," kata Wardana.Walhi bahkan siap menfasilitasi apabila penduduk di Pantai Geger akan mengajukan penuntutan atau class action.

PENGERUKAN PASIR DI PANTAI GEGER BERPOTENSI MEMPERLUAS ABRASI DI PESISIR SELATAN

aktivis lingkungan menyebutkan pengerukan pasir di wilayah pantai dipastikan akan menyebabkan abrasi kian parah dan kerugian bagi masyarakat sekitarnya. Salah satu contoh pengerukan pasir di pantai Padanggalak sekitar tahun 2004 lalu yang menyebabkan abrasi mencapai wilayah pantai Klungkung.

Direktur Eksekutif Walhi Agung Wardana menegaskan, dari sudut lingkungan, alasan apa pun yang dilontarkan pemerintah terhadap penambangan pasir tersebut, tidak dapat dibenarkan. Pasalnya, aktivitas semacam itu akan membawa dampak buruk khususnya bagi lingkungan sekitar. Terlebih lagi, dalam pelaksanaannya, pemerintah tidak memberikan jaminan adanya upaya penyelamatan lingkungan. 'Jadi, Walhi menyerukan agar penambangan pasir tersebut dihentikan,' tegas Agung Wardana.

Senada dengan Agung, Ngurah Karyadi menyebutkan pembangunan multidimensi modal, ujung-ujungnya hanya akan mengeksploitasi sumber daya alam. Pembangunan macam ini kurang memperhatikan dampak pada lingkungan secara luas. Sikap pemerintah yang memberikan izin, menurutnya, terlalu pragmatis. 'Birokrasi itu hanya jadi pembenar, padahal kita sudah tahu dampaknya jelas-jelas merugikan, baik lingkungan itu sendiri maupun masyarakat,' katanya.

Sementara itu, anggota tim ahli bidang lingkungan DPRD Badung Nyoman Gelebet menegaskan, pasir pantai yang disedot dalam jumlah besar menyebabkan terumbu karang ambrol yang kemudian menyebabkan abrasi pantai. Tidak hanya itu, rusaknya terumbu karang ini kemudian berimbas pula pada ketersediaan zat hara yang menjadi makanan rumput laut. Dampaknya, rumput laut akan kehilangan sumber makanan dan tentunya akan sangat merugikan petani sekitar yang menggantungkan hidup dari rumput laut.

Sementara itu, aktivitas di pantai Geger hingga siang kemarin nampak masih normal. Para petani rumput laut dan pemijat yang ada di pinggir pantai serta sejumlah wisatawan nampak berada di sekitar pantai dengan kegiatannya masing-masing. Para pemijat yang diwawancarai mengaku belum ada aktivitas aneh di kawasan tersebut. Namun, mereka menyebutkan tentang kedatangan kapal besar yang diperkirakan kapal pengeruk yang merapat pada Minggu (31/8) lalu. (ded)

Tuesday, September 2, 2008

Walhi Bali : Teliti Ulang Rekomendasi

ADANYA rekomendasi yang dikeluarkan oleh Dewan Badung terkait penambangan pasir di Pantai Geger, Sawangan, Kuta Selatan membuat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali heran. Tak pelak, Walhi pun mempertanyakan alasan di balik keluarnya rekomendasi yang janggal tersebut.


"Kalau memang rekomendasi tersebut dikeluarkan oleh lembaga dalam hal ini legislatif Badung, patut dipertanyakan. Ada apa di balik rekomendasi itu," usut Direktur Eksekutif Walhi Bali, Agung Wardana saat dihubungi kemarin (1/9) malam.

Agung Wardana lantas menambahkan, motivasi di balik keluarnya rekomendasi. Mengingat salah seorang anggota dewan pula yang membongkar permasalahan penambangan pasir itu. "Kenapa dulu memberikan rekomendasi, tapi sekarang malah ada anggota dewan kritis terhadap rencana pengerukan pasir?" tandasnya, curiga.

Menurutnya, perlu dilihat kembali substansi dari rekomendasi yang sudah diberikan dewan. Pasalnya, dampak lingkungan yang ditimbulkan dari rencana tersebut bisa merugikan warga sekitar. "Sekali lagi, substansi rekomendasi perlu dilihat ulang, karena masyarakat yang sangat dirugikan dalam hal ini," pungkasnya. (fer)

Walhi Tuntut Janji Gubernur Bali Terpilih



DENPASAR - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menuntut Gubernur Bali terpilih Made Mangku Pastika memenuhi janji menolak sejumlah proyek investasi yang berpotensi merusak lingkungan.

"Tuntutan kami sebagai peringatan kembali kepada gubernur terpilih yang akan dilantik pada 28 Agustus mendatang," kata Direktur Eksekutif Walhi Bali Agung Wardana di Kantor Walhi Bali, Jalan Plawa Denpasar, Senin (25/8/2008).

Proyek yang dinilai merusak lingkungan itu di antaranya pembangkit listrik tenaga panas bumi Bedugul di Tabanan, pembangunan vila di muara sungai Yeh Poh di Badung, dan vila di dalam kawasan hutan Danau Buyan-Tamblingan Kabupaten Buleleng, serta mega-proyek di Pantai Kelating, Tabanan.

Menurut Agung tuntutan itu sesuai dengan visi-misi Mangku Pastika saat kampanye, yakni menolak penjualan sumber daya alam kepada investor yang ingin mengeksploitasi Bali. Apalagi sebagian besar proyek itu sudah mendapat penolakan mayoritas masyarakat Bali sebagaimana sikap resmi DPRD Bali.

Agung mengingatkan, Bali adalah pulau kecil yang memiliki daya dukung terbatas. Namun saat ini berada di tengah arus ekspansi industri pariwisata. Ketidaan kontrol dan langkah selektif dari pemerintah untuk memilih investasi dapat mempercepat terjadinya bencana ekologi dan bencana sosial di Bali.

"Karena itu, kami mendesak gubernur selanjutnya untuk tetap konsisten mengawal penolakan tersebut," demikian Agung.

(Miftachul Chusna/Sindo/ful)

Thursday, August 14, 2008

Pesta Putri Bakrie Diprotes Mahasiswa Bali





Denpasar, CyberNews. Puluhan mahasiswa Bali yang tergabung dalam Aliansi Peduli Korban Lapindo melakukan aksi protes terhadap pesta pernikahan mewah keluarga Bakrie.

Pesta pernikahan yang menelan biaya hingga Rp20 miliar itu dinilai telah melecehkan puluhan ribu masyarakat korban lumpur Lapindo Sidoarjo Jawa Timur.

Dalam aksi yan digelar di Perempatan Dewi Sartika Denpasar itu, para mahasiswa asal Jawa Timur yang kuliah di sejumlah Universitas di Denpasar itu meneriakkan yel yel menghujat Bakrie sebagai pemegang saham terbesar PT Lapindo Brantas, perusahaan penyebab luapan lumpur itu.

Para mahasiswa yang disupport Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali, Jaringan Anti Otoritarian, dan Komunitas Pojok itu mengusung duplikat kue tart pernikahan setinggi 120 cm.

Kue tart yang terbuat dari tripleks itu diusung oleh empat orang bertelanjang dada yang bermandi lumpur, sebagai simbol penderitaan warga porong yang terinjak oleh pesta nikah keluarga Bakrie.Beberapa pengunjuk rasa membawa spanduk bertuliskan, "Bakrie manusiawilah!" dan "Bakrie adalah penjahat kemanusiaan."

Juru Bicara Aliansi Peduli Korban Lapindo Agung Wardana menjelaskan, aksi dilakukan sebagai solidaritas bagi warga porong yang tidak mendapat kejelasan atas hidup mereka setelah luapan lumpur lapindo, 2004 lalu.

"Mereka sudah kehilangan ruang-ruang hidup mereka, tapi keluarga Bakrie justru membuat pesta mewah," ujar Agung, Jumat (8/8/2008).

Direktur Walhi Bali itu menilai sangat tidak masuk akal ketika masyarakat Porong mengalami keprihatinan karena porong, uang puluhan miliar justru dihambur-hamburkan untuk pesta pernikahan.

"Di antara derita korban yang saat ini serba kekurangan, keluarga Bakrie nampaknya tidak memiliki sense of crisis sama sekali," tandasnya.

Aliansi juga menilai pemerintah, melalui Kementerian Lingkungan Hidup, telah melakukan pelecehan terhadap Korban lumpur lapindo dengan mengeluarkan predikat biru plus kepada Lapindo Brantas.

"Artinya ketika keluarkan predikat itu, Lapindo Brantas dianggap mampu mengelola lingkungan hidup dengan baik. Padahal mereka telah menyebabkan ribuan masyarakat menjadi pengungsi," keluh Agung.

(OKZ /CN08)

http://www.suaramerdeka.com/beta1/index.php?fuseaction=news.detailNews&id_news=11296

Thursday, July 17, 2008

Villa Kelating Diadukan Ke P3SLH Bali

Denpasar – Jumat (18/06), Bapedalda Provinsi Bali bersama Kementerian Lingkungan Hidup RI meresmikan Pos Pengaduan dan Pelayanan Sengketa Lingkungan Hidup (P3SLH) Bali yang akan menerima pengaduan tentang perusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang terjadi di Bali.

Bak gayung bersambut, P3SLH Bali langsung mendapatkan pengaduan dari Wahana Lingkungan Hidup Indoensia (WALHI) Bali. Dalam kesempatakan tersebut, Agung Wardana, Direktur WALHI Bali, langsung menyerahkan berkas pengaduan pertama berupa amplop cokelat yang berisikan surat dan data dalam bentuk soft copy kepada petugas, I Made Teja.

”Sebagai bentuk apresiasi, WALHI Bali secara langsung menyerahkan berkas pengaduan pertama. Kasus pembangunan villa di Pantai Kelating menjadi kasus pertama yang akan ditangani oleh P3SLH ini, karena bahan-bahannya sudah kami serahkan,” ungkap Agung.

Pembangunan villa di Pantai Kelating, Kerambitan, Kabupaten Tabanan ini diduga telah melakukan pelanggaran terhadap Perda No. 3 Tahun 2005 tentang Tata Ruang karena mencaplok sempadan pantai. Menurut Pemerintah Kabupaten Tabanan, sebagaimana pernyataan Kepala DKLH Tabanan (BP, 20 Juni 2008), 35 unit villa yang dijual kepada orang asing seharga sekitar Rp. 3 milliar, hingga saat ini belum pernah ada pengajuan AMDAL maupun sosialisasi kepada masyarakat.

Dalam pengaduan tersebut, WALHI Bali meminta kepada Kepala Bapedalda Bali selaku Ketua P3SLH Bali untuk melakukan penegakan hukum lingkungan terhadap dugaan pelanggaran tata ruang yang dilakukan oleh investor Villa Pantai Kelating; memperingatkan Bupati Tabanan karena melakukan pembiaran terhadap pelanggaran tata ruang yang ada di wilayahnya dan sekaligus meminta Pemerintah Kabupaten Tabanan untuk membongkar bangunan yang telah dibangun; serta memfasilitasi pertemuan semua Bupati se-Bali untuk menguatkan komitmen seluruh Pemerintah Kabupaten terhadap menegakkan tata ruang dan hukum lingkungan hidup.

Agung menambahkan, ”Bali berada dalam genggaman investasi yang berpotensi merusak tatanan sosial dan lingkungan hidup Bali. Maka langkah tegas harus dilakukan oleh P3SLH agar memberikan efek penjeraan bagi siapapun yang ingin melanggar aturan dan tidak mengindahkan daya dukung lingkungan.

Informasi lebih lanjut

Agung Wardana (Direktur WALHI Bali) 081916606036

Andi Astina (Div. Studi dan Kampanye WALHI Bali) 085737062586

Sunday, July 13, 2008

Pembagunan Tower Air di TWA Buyan II

Salam Adil dan Lestari,

Proyek pembangunan Villa dikawasan Hutan Lindung Buyan masih mejadi kontoversi dikalangan masyarakat maupun di kalangan LSM. Begitu halnya Walhi Bali dengan tegas menolak keberadaan proyek tersebut dan mengajak seluruh komponen masyarakat untuk bersatu menolak pembangunan Villa dikawasan hutan lindung tersebut. hal ini membuat jajaran Walhi Bali turun langsung kelapangan untuk observasi dan melihat langsung keadaan dilapangan. dari hasil wawancara dengan warga setempat ia menuturkan Proyek tersebut dibatalkan.karena mendapat penolakan dari masyarakat. Hal ini terlihat tidak ada lagi pembangunan tindak lanjut setelah pembukaan oleh Bupati Buleleng beberapa waktu lalu. Ia juga menuturkan proyek – proyek yang ada di wilayah pancasari sama sekali tidak memberikan kontibusi kepada Desa Adat. Keberadaan hotel – hotel,villa – villa dan restaurant tersebut hanya berpengaruh kepada segelintir orang saja.

Tetapi ada keanehan atau kejanggalan yang ditemukan oleh tim Walhi Bali dilapangan Terkait dengan pembangunan villa yang dilakukan oleh PT. Nusa Abadi di kawasan hutan lindung Buyan seperti :

  1. adanya sosialisasi kepada tokoh Catur Desa yang berlangsung di Kantor Bupati Buleleng, undangannya juga dari Danramil, Kapolsek, Camat. kenapa hanya perwakilan warga saja yang diundang, kenapa Bupati tidak langsung sosialisasi ke masayrakat. hadirnya Danramil, Kapolsek apakah untuk mengintimidasi masyarakat?


  2. Pembangunan Tower air permanen yang merabas Hutan kira - kira 1 are dan pembangunan wantilan permanen.


  3. Adanya penandaan pohon - pohon yang akan ditebang dan patok - patok sebagai wilayah yang akan dipergunakan.


  4. Adanya pelebaran dan pembersihan jalan menuju ke lokasi proyek


  5. Adanya pembangunan papan nama PT Nusa Abadi di pintu masuk Buyan II
Dari hal tersebut diatas Walhi Bali menyimpulkan bahwa proyek tersebut akan segera dilanjutkan, dan Walhi Bali mengajak segenap komponen masyarakat, Mapala dan kawan - kawan LSM yang peduli terhadap alam Bali untuk menyatukan barisan untuk menolak proyek yang berpotensi merusak alam tersebut.

Thursday, July 10, 2008

SAVE OUR TREES


Astra,

terima kasih atas apresiasinya kepada WALHI Bali.

untuk permasalahan Astra, bolehkah kita tahu:

1. Pohon lindung di wilayah mana yang ditebang?

2. Status tanah tempat pohon itu tumbuh bagaimana (apakah di lahan pribadi, hutan, atau lahan desa?)

kalau dilihat dari penyataan anda, bahwa anda sedang menggugat si perusak dengan gugatan perdata. dasar yang bisa anda gunakan adalah:

Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum, jika:

1. pohon yang dirusak berada diatas tanah yang berstatus milik pribadi, yakni milik anda. (anda juga bisa menggunakan jalur pidana untuk hal ini, yakni perusakan dan masuk pekarangan orang tanpa ijin)

2. anda juga bisa menggunakan acuan hukum UU 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup

Mohon maaf jika jawaban kami belum memuaskan. Mungkin untuk lebih jelasnya, kami memerlukan kronologi kasus tersebut.

Semoga Sukses,

Monday, July 7, 2008

Bali di Serbu Villa


Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali mendapat pengaduan dari masyarakat terkait maraknya pembangunan hotel dan vila di sejumlah kawasan yang mengabaikan kelestarian lingkungan.

Pengaduan masyarakat tersebut antara lain menyangkut pembangunan hotel Vitalife di Wongaya Betan, sebuah hotel di Padangbai, Karangasem dan vila di Uluwatu, Kabupaten Badung, kata Direktur Eksekutif Walhi Bali Agung Wardana di Denpasar, Selasa (20/5).

Ia mengatakan, menindaklanjuti pengaduan masyarakat tersebut, pihaknya telah menyurati tiga bupati, masing-masing Bupati Tabanan I Nyoman Adi Wiryatama, Bupati Badung Anak Agung Gede Agung dan Bupati Karangasem I Wayan Geredeg. Pembangunan fasilitas pariwisata yang kurang memperhatikan lingkungan itu dikhawatirkan berdampak negatif terhadap kondisi lingkungan hidup, daya dukung dan tatanan sosial masyarakat. "Kami juga mengharapkan kepada ketiga bupati itu agar memberikan informasi yang benar, membuka akses partisipasi dan akses keadilan bagi masyarakat sekitarnya," ujar Agung Wardana.

Hal itu dimaksudkan agar masyarakat yang terkena dampak negatif dari pembangunan fasilitas pariwisata maupun mereka yang menaruh perhatian besar terhadap masalah lingkungan dapat berperan serta sebelum pemerintah mengijinkan pembangunan proyek tersebut. Agung Wardana menambahkan, sebelum Pemkab mengijinkan pembangunan fasilitas pariwisata itu hendaknya melakukan pengkajian secara matang dan mendalam.

Hal itu penting untuk mendapat perhatian, sesuai UU 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Perda Propinsi Bali No. 4 Tahun 2005 menyangkut pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Ketentuan tersebut memberikan hak bagi masyarakat untuk memperoleh informasi, berperan serta secara aktif dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Namun dalam kenyataannya menurut Agung Wardana peranserta masyarakat di berbagai proyek pembangunan fasilitas pariwisata itu bersifat semu, untuk memenuhi persyaratan formal. Ia mencontohkan, analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dalam ketentuan harus menyertakan unsur tokoh masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) masuk dalam tim pengkajian.

Namun nyatanya tokoh masyarakat dan LSM hanya diisi oleh kaki tangan pejabat yang sebenarnya hanya calo proyek. Walhi Bali mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk melakukan pemantauan terhadap ekspansi pengelola industri pariwisata, sebagai upaya bersama-masa menjaga dan menyelamatkan Bali ke depan, harap Agung Wardana. (Ant/OL-01)

Hulu Bali di Serang Villa

Belum selesai dengan kasus - kasus villa bermasalah, kini wilayah Hulu Bali diserang oleh villa -

villa yang mengatas namakan pariwisata. proyek ini adalah proyek pembangunan villa yang

dilakukan di wilayah TWA Buyan - Tamblingan yang memakan hutan seluas 20 hektar.

Secara administratif proyek ini berada di kawasan Desa Panca Sari, namun secara adat masuk ke dalam Catur Desa ( Desa Gobleg, Munduk, Gesing dan Uma Jero ). Proyek ini muncul pada tahun 2005, Pt. Nusa Abadi minta rekomendasi dari gubernur Bali untuk mendirikan proyek villa seluas 20 Ha tetapi yang dipergunakan untuk villa seluas 2 Ha sisanya untuk jalur tacking yang berada di kawasan Taman Wisata Alam Buyan – Tamblingan. Pada saat ini masyaraakat Catur Desa ( Gobleg,Munduk,Gesing, dan Uma Jero) yang merupakan pengempon pura2 yang ada di luhuring capah yang jumlahnya kurang lebih 16 pura. Masyarakat 4 desa juga meminta dukungan untuk menolak proyek tersebut kepada masyarakat Pancasari yang dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari aparatur desa Pancasari. Pada akhirnya gubernur Bali dengan Surat Gubernur Bali kepada Mentri kehutanan tertanggal 18 Januari 2005 nomor 556/98/Bid-Fisik/BAPEDA, yang prihalnya untuk membatalkan atau mencabut izin prinsip pengusahaan pariwisata alam kepada Pt Nusa Abadi.

Pada tanggal 27 Juni di salah satu media cetak di Bali menyebutkan bahwa akan diadakan peletakan batu pertama akan dilaksanakan oleh Bupati Buleleng. Mendengar hal tersebut masyarakat spontan menolak rencana tersebut dengan alasan :

  • Lokasi di dalam hutan Lindung
  • Pembangunan dilakukan diatas Pura Guna Anyar
  • Melanggar undang-undang hutan lindung dan kawasan suci serta lingkungan suci
  • Bila proyek ini sampai berjalan maka akan bermunculan proyek - proyek yang lainnya.
  • sampah yang dihasilkan akan mencemari wilayah hutan dan danau

Kejanggalan yang terjadi :

  • Ijin dikeluarkan oleh Mentri Kehutanan atas rekomendasi Bupati Buleleng padahal Gubernur Bali jelas2 sudah menolak, ada apa ini ?
  • Tidak ada sosialisasi proyek kepada masyarakat.
  • Investor menjanjikan tidak akan menebang sebatang pohonpun, apa mungkin membangun tanpa memotong pohon?

Thursday, June 19, 2008

Hari Ulang Tahun Walhi Bali yang ke 12


Pada tanggal 06 Juni 2008 lalu, Walhi Bali Genap usianya 12 tahun, acara syukuran dilakukan dengan suasana sederhana dan kekeluargaan di Taman 65 Jln. Wr. Supratman Denpasar. acara tersebut merupakan ajang untuk beramah tamah antara sesepuh walhi bali dan yang staf Walhi Bali yang baru begitu juga dengan komunitas Taman 65, Sahabat walhi, Launching produk Walhi Bali dan pemutaran film tentang lingkungan. acara juga dimeriahkan oleh life band.

Kampanye Jangan Pilih Perusak Lingkungan


DENPASAR - Memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh pada hari ini, Walhi Bali melakukan aksi, menuntut cagub Bali tetap peduli lingkungan. Walhi juga menuntut pasangan cagub, bersikap transparan terhadap dana kampanye yang diperoleh dari investor.

Bertempat di perempatan Jalan Sudirman, Denpasar, Walhi menyerukan aksi dengan menampilkan pentas teatrikal bertajuk, cagub cawagub yang hendak menjual pesona Bali kepada investor. Walhi mempertontonkan ketiga kandidat cagub yang sedang mempresentasikan konsesi proyek di hadapan calon investor. Pada akhir cerita, Bali berhasil dibeli oleh sang investor dan kedua tangan para kandidat diikat dengan seutas tali agar mereka tidak bisa berontak.

Usai teatrikal, koorditor aksi Andi Astina, berorasi mengecam sikap tiga pasangan cagub yang sudah ditetapkan, tidak pernah transparan terkait keberadaan dana kampanye yang mereka dapatkan. Andi juga menyebut, para kandidart sudah mengatur konflik-konflik lingkungan, seperti air, lahan sampai pada kawasan suci yang ada di Bali, sebagai kapling-kapling proyek yang siap dijual kepada investor.

"Saya tidak yakin, cagub-cagub yang ada sekarang akan memokuskan perhatian terhadap lingkungan, mengingat program-program yang mereka tawarkan tidak sedikit pun yang menyangkut pada upaya kelestarian lingkungan," katanya.

Dalam kesempatan itu juga, ia menuding pemerintah, selama ini hanya berpihak pada modal dan kuasa semata. Sementara itu Direktur Walhi Bali Agung Wardana, yang ditemui di sela-sela aksi mengatakan, sudah saatnya masyarakat menilai kandidat mana yang peduli sekiranya terhadap kelestarian lingkungan.

"Kami ingin masyarakat tidak memilih calon yang pemimpin yang tidak interest terhadap isu-isu lingkungan. Karena bagaimanapun, masyarakatlah yang nantinya akan menanggung semua dampak yang ditimbulkan dari eksplitasi lingkungan, apa pun bentuknya," Jelas Agung.

Penyelesaiannya, masih kata Agung, tidak ada jalan lain selain mendesak cagub cawagub untuk menjelaskan transparansi dana kampanye yang mereka peroleh. Dengan begitu masyarakat bisa mengetahui, tidak adanya kontrak politik para kandidat dengan kaum pemodal.

"Yang kita takutkan, ketidakpedulian pemerintahan terdahulu terhadap lingkungan, berulang pada calon-calon penguasa yang ada sekarang," imbuhnya. (Dede Suryana/Sindo/hri)

Friday, May 23, 2008

Bersama Mewujudkan Bali Hijau

Walhi sebagai organisasi pergerakan lingkungan, bersama jaringan LSM dan sahabat Walhi Bali berupaya untuk ikut mewujudkan keadilan dan kelestarian lingkungan hidup.


Tanggal 10 Mei 2008.

Mitra Bali mengadakan acara peringatan World Fair Trade Day di Desa Abuan, Kintamani, Bangli dengan peresmian lapangan bermain dan olahraga. Selain itu juga diadakan Penghijauan yang melibatkan masyarakat setempat dan jaringan Mitra Bali termasuk WALHI Bali.











Tanggal 19 Mei 2008.

Dalam rangka perayaan HUT Kisara Bali, Kisara mengadakan penanaman bakau di daerah jalan menuju serangan. Turut serta dalam acara ini Pelajar, Mahasiswa, dan Sahabat Walhi dalam penanaman bakau.



Tuesday, May 13, 2008

WALHI Protes Rencana Pembangunan Vila di Bali

Kapanlagi.com - Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Daerah Bali memprotes rencana pembangunan sarana penunjang pariwisata berupa hotel dan vila belakangan ini di sejumlah kabupaten di Pulau Dewata.

Direktur WALHI Bali, Agung Wardana di Denpasar, Senin (12/5) mengatakan, pihaknya telah menyurati agar Bupati Tabanan, Karangasem dan Bupati Badung meninjau kembali rencana pembangunan fasilitas penunjang pariwisata tersebut.

Rencana pembangunan hotel dan vila itu antara lain di Kabupaten Tabanan, yakni hotel Vitalife di Desa Wangaya Betan Kecamatan Penebel, hotel di Padangbai Kabupaten Karangasem dan vila di dekat Pura Uluwatu Kabupaten Badung.

Proyek tersebut, katanya, nantinya berdampak pada pergeseran kondisi lingkungan hidup, daya dukung dan tatanan sosial masyarakat Bali.

"Kami menindaklanjuti pengaduan dari warga untuk bersurat kepada bupati setempat, agar bupati itu memberikan informasi yang benar, membuka akses partisipasi dan akses keadilan bagi masyarakat," ucapnya.

Tujuan dari tindakan tersebut, kata Wardana, agar masyarakat yang terkena dampak maupun masyarakat yang peduli terhadap masalah lingkungan dapat terlibat dalam pengambilan keputusan mengenai proyek itu.

Ia menyebutkan, dalam UU 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Perda Propinsi Bali No.4 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup yang sudah jelas memberikan hak bagi masyarakat untuk memperoleh informasi, berpartisipasi dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Namun praktiknya, WALHI Bali menilai partisipasi dalam proyek seperti itu masih saja bersifat semu, hanya bertujuan untuk memenuhi persyaratan formal di daftar hadir rapat.

Misalnya, berkaitan dengan analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL), disyaratkan ada unsur masyarakat atau tokoh adat maupun LSM masuk di dalam tim pengkajian AMDAL.

Namun dalam kenyataannya partisipasi dari unsur tokoh adat atau LSM tersebut justru diisi oleh LSM "kaki tangan" bupati yang sebenarnya juga menjadi makelar proyek, katanya.

"Dengan kondisi seperti itu, kami harapkan warga masyarakat melakukan pemantauan terhadap ekspansi industri pariwisata di Bali yang terus berlanjut. Sebab, pemantauan dan partisipasi adalah hak masyarakat untuk bersama-sama menjaga kelestarian Bali dari tangan-tangan perusak," kata Wardana. (kpl/rif)

Friday, May 2, 2008

WALHI Keluhkan Pemakuan Poster Cagub di Pohon

Denpasar, 30 April 2008 15:14
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Bali mengeluhkan pemasangan poster calon Gubernur Bali dengan paku, di pohon-pohon, seperti yang terjadi di sejumlah tempat termasuk di sepanjang Jalan PB Sudirman Denpasar.

"Tindakan yang dilakukan masing-masing tim sukses dan simpatisan Cagub tersebut sama sekali tidak mengindahkan lingkungan hidup," kata Direktur WALHI Bali, Anak Agung Wardana di Denpasar, Rabu (30/4).

Ia mengatakan, maraknya poster atribut Cagub yang menempel dengan paku pada batang pohon merupakan hal yang tidak etis, karena dapat menyakiti pohon dan bertentangan dengan jiwa masyarakat Bali yang begitu menghargai pohon.

"Tindakan dari Cagub tersebut merupakan indikator bahwa kandidat gubernur dan simpatisannya tidak peduli dengan lingkungan," katanya.

Jika pohon dipaku, binatang rayap dan bakteri tanaman akan mudah masuk dan memakan batang pohon hingga rapuh. Sehingga jika angin kencang datang, pohon tersebut akan mudah tumbang.

"Kami mengharapkan kepada tim sukses maupun simpatisan calon gubernur untuk menghentikan memaku atribut kampanye pada batang pohon, karena akan dapat merugikan kita semua," ucapnya.

Ketika ditanya tentang kandidat gubernur yang pro-lingkungan, Agung Wardana menyatakan, bahwa WALHI Bali saat ini sedang menyusun kreteria gubernur pro-lingkungan.

"Akan membedah visi dan misi semua kandidat menggunakan kriteria yang telah kami buat dan hasilnya akan disebarluaskan kepada publik sebagai bahan pertimbangan dalam pemilihan kepala daerah pada 9 Juli mendatang," ujarnya.

Tindakan WALHI seperti itu untuk mengajak para Cagub untuk peduli lingkungan, sehingga siapapun yang menjadi Gubernur Bali nantinya tak mengabaikan lingkungan hidup.

"Itu sudah menjadi komitmen semua negara untuk dapat mengurangi dampak dari pemanasan global, karena itu salah satunya harus menjaga lingkungan hidup," tambah Agung Wardana. [TMA, Ant]

Sumber : Gatra.com

Wednesday, March 26, 2008

Bali Harus Miliki Pemerintahan Berspektif Lingkungan

Denpasar, Masyarakat Bali berharap banyak kepada Gubernur terpilih pada Pilkada Juli mendatang. Lantas, bagaimana sosok Gubernur Bali harapan warga dari ‘kacamata’ seorang aktivis lingkungan?

Agung Wardana, selaku ketua LSM Walhi Bali, berharap Pilkada Bali nanti bakal melahirkan seorang Gubernur yang memiliki perspektif lingkungan dalam menjalankan pemerintahannya, seiring pesatnya perkembangan industri pariwisata di Bali.

“Harapan saya, Gubernur Bali nantinya harus bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat Bali, tanpa harus mengeksploitasi Bali itu sendiri. Dalam hal ini, kita semua tahu kalau Bali itu bergantung pada sektor pariwisata. Namun yang perlu dipertimbangkan adalah, dampak apa saja yang bisa ditimbulkan oleh industri pariwisata terhadap lingkungan di Bali dan sejauh mana kontribusinya terhadap rakyat Bali,” ujar Agung ketika ditemui di kantornya, Senin (24/3.

Sebagai salah satu pulau yang memiliki pesona budaya dan daya tarik alam, Bali telah menjadi salah satu tujuan wisata dunia dengan angka kunjungan turis yang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Namun, seiring waktu Bali juga mengalami krisis terhadap pasokan sumber daya alam yang dimilikinya karena industri pariwisata yang ikut berkembang.

“Bali dikunjungi satu setengah juta turis per tahunnya. Namun apakah meningkatnya angka kunjungan turis ke Bali tidak mengurangi sumber daya alam Bali yang telah diserap oleh tiga setengah juta penduduknya?. Jangan sampai Bali mengalami pemadaman listrik bergilir, gara-gara pihak hotel ingin tamunya tidur dengan lampu disko,” sentil Agung yang juga aktif mengkampanyekan World Silent Day (Hari Hening Sedunia).

Agung juga menyinggung semakin banyaknya ditemui kasus-kasus eksploitasi terhadap alam dan lingkungan yang terjadi di Bali sebagai ‘tumbal pemerintah’ dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).

“Saya melihat pemerintahan di Bali saat ini ‘antara ada dan tiada’. Eksploitasi dan pengrusakan terhadap alam benar-benar menjadi sebuah tontonan. Saya sebutkan proyek Geothermal, reklamasi Serangan, Loloan Yeh Poh, dan masih banyak lagi proyek-proyek eksploitasi alam yang mengantongi ijin pemerintah,” ujarnya.

“Saya rasa keberhasilan pemerintah sekarang adalah, keberhasilan dalam ‘menjual’ Bali dan sumber daya alam yang dimilikinya,” pungkasnya.
(ags)


www.beritabali.com


Bayi ‘Hening’ Diberikan Pohon


Press release:
Bayi ‘Hening’ Diberikan Pohon

Meski banyak yang mengatakan bahwa kampanye World Silent Day (WSD) 21 Maret 2008 kemarin belum berjalan maksimal, namun Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim (Kolaborasi Bali) tetap optimis dengan kampanye-nya.

Buktinya, Perwakilan Kolaborasi Bali yakni Beghawan Dwija, Panji Tisna, Hira Jhamtani, Kadek Lisa dan Agung Wardana menindaklanjuti kampanye WSD dengan memberikan bibit pohon kepada 9 bayi yang lahir bertepatan dengan WSD di RSUP Sanglah, Sabtu (22/3/2008) kemarin.

Beghawan Dwija dalam wejangannya kepada ibu dan bapak si bayi mengatakan bahwa “Pemberian bibit kepada bayi ‘Hening’ ini diharapkan menjadi tonggak perubahan budaya dimana bayi yang baru lahir diberikan hadiah pohon.”

Hira Jhamtani menyatakan “bibit pohon berupa delima putih, jambu biji dan majegau ini tidak saja akan menyediakan makanan berupa buah namun juga dapat dijadikan obat bagi bayi.”

“Di tengah mahalnya ongkos dokter dan biaya rumah sakit, pohon yang diberikan ini menjadi obat alternatif. Semoga bisa dirawat dengan baik tanpa pupuk kimia dan diberikan nama sesuai nama si bayi agar kelak dia sadar pentingnya pohon bagi hidup manusia” imbuhnya.

Sementara itu, ketika ditanya tentang berita tentang Hari Hening Dunia sudah gagal, Agung Wardana mengakui ada kekurangan dalam melakukan deseminasi informasi Hari Hening Dunia ini khususnya di lokal.

“Program pemerintah untuk melakukan konversi minyak tanah saja banyak masyarakat yang tidak mengetahuinya, apalagi sebuah program yang ditawarkan oleh NGO yang notebene tidak punya akses politik dan finansial. Walaupun begitu, sebagai sebuah langkah awal, kampanye WSD ini telah mendapatkan apresiasi yang cukup baik dari publik dan kawan-kawan media” ungkapnya.

“Kami dari Kolaborasi mengucapkan banyak terima kasih kepada kawan-kawan jurnalis yang telah membantu menyebarluaskan kampanye ini. Semoga kerja sama yang baik ini dapat berlanjut di tahun berikutnya yang sudah tentu akan lebih ditingkatkan kualitas dan jangkuannya” tambah Direktur WALHI Bali yang menggantikan Ni Nyoman Sri WIdhiyanti ini.

Informasi lebih lanjut:

- Lisa (0818200941)

- Agung Wardana (081916606036)

Monday, March 17, 2008

Jika Bali Rusak, Kami Akan Menyalahkan Generasi Saat Ini



Denpasar - Bayangkan Bali yang kecil ini semakain mengkecil karena pesisirnya rusak, kekeringan akibat hutannya dibabat sehingga tidak ada lagi padi yang dapat dipanen, jika demikian apakah Bali masih layak untuk ditempati?

Pertanyaan ini keluar dari seorang mahasiswa semester 1 di salah satu universitas di Denpasar, Yayuk (18) dalam Konferensi Pers yang dilaksanakan oleh Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim (Senin, 17/03/08).

Sebagai seorang yang akan mewarisi Bali di masa mendatang, maka memang masuk akal pertanyaan ini diajukan ini kepada para orang tua yang sekarang hidup nyaman dengan menghabiskan sumber daya alam dan energi di pulau ini.

”Suatu hari saya membaca koran yang isinya 2030 Sanur dan Kuta akan Tenggelam akibat perubahan iklim. Mungkin pada tahun itu saya baru nikah dan punya anak, tapi mungkinkah saya akan hidup nyaman jika setiap saat kami dihantui bencana-bencana akibat perubahan iklim yang merupakan hasil dari konsumsi para orang tua saya saat ini” katanya tegas dihadapan hadirin.

Dia juga menambahkan, ”Saya bersama anak lainnya tentu akan menyalahkan generasi saat ini karena tidak mampu mewarisi Bali yang layak huni untuk oleh anak cucu-nya. Kami tidak perlu terlalu banyak gedung tinggi, dan mobil, kami perlu udara bersih, air bersih dan cukup pangan”

Hal yang sama juga disampaikan oleh Dayu (16), seorang siswa salah satu SMA di Denpasar. Dayu dengan tegas meminta tindakan konkrit untuk menyelamatkan Bali dari dampak perubahan iklim dengan jalan melakukan pengurangan konsumsi pada Hari Hening Dunia, hari Jumat 21 Maret 2008 nanti.

”Sebagai langkah awal, saya akan menyebarluaskan kampanye (Hari Hening Dunia/ World Silent Day) ini kepada teman-teman saya di sekolah. Walaupun hanya satu orang hal ini akan sangat berarti bagi alam kita, apalagi orang yang dalam ruangan ini juga ikut bersama menyebarluaskannya kepada masyarakat.”

Dalam konferensi pers tersebut hadir juga perwakilan pemerintah, PHRI Bali, Bali Hotel Association (BHA) Bali dan Ngurah Sudiana dari PHDI Bali yang jugamemberikan dukungannya terhadap kampanye yang telah digagas sebelum KTTPerubahan Iklim, Desember lalu ini.

Selesai konferensi pers anggota Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim kemudian melakukan kampanye publik dengan membagikan flier dan stiker kampanye di perempatan Catur Muka Denpasar.

Panji Tisna mewakili kolaborasi menyatakan akan melanjutkan kampanye publik ini ke sekolah-sekolah, kampus, bandara dan ruang publik lainnya, sehingga dapat menggalang dukungan masyarakat Bali.

Informasi lebih lanjut:
Agung Wardana (WALHI Bali) 081916606036

Wednesday, March 12, 2008

Bali Collaboration on Climate Change Takes you into a journey of Silence






We ask you to SWITCH OFF ELECTRONIC APPLIANCES FOR FOUR HOURS on 21st March 2008 at 10.00 – 14.00 hours

As a first step towards WORLD SILENT DAY 21 March 2008

You don’t have to be a superhero to tackle climate change. We can reduce green house gas emission by doing nothing!!! Through Silence.

This is inspired by the Nyepi or Silent day practiced by people in Bali for many centuries, even now. For 24 hours people do not travel, work or light the lamps at night.

One Silent Day in Bali is estimated to reduce at least 20,000 tons of CO2, the largest contributor of green house gas.

Please see http://www.worldsilentday.org/.

We invite you to contribute to green house gas reduction by reducing energy consumption on 21 March.

SWITCH OFF YOUR ELECTRONIC APPLIANCES (computer, AC, TV, radio, cell phone, some lamps, etc) FOR 4 HOURS ONLY !!

REMEMBER 21 MARCH!!! GIVE THE EARTH SPACE AND TIME TO BREATHE!!

PLEASE SEND THIS CAMPAIGN SHEET TO OTHERS!!OR YOU CAN FIND YOUR OWN WAY OF SILENCEPLEASE LET US KNOW THE SILENT HOURS THAT YOU UNDERTAKE ON 21 MARCH TO: mysilent@worldsilentday.org

For more information,
please contact: info@worldsilentday.orgwww.worldsilentday.org


Bali Collaboration on Climate Change

Pertemuan Daerah Lingkungan Hidup (PDLH) IV WALHI Bali 2008

Pertemuan Derah lingkungan Hidup (PDLH) ke VI yang telah dilaksanakan oleh WALHI pada hari senin, 25 Februari 2008 di ruang Marga, Hotel Werda Pura, Sanur dengan menghadirkan lebih dari 60 Undangan yang terdiri dari anggota lembaga dan anggota individu, Sahabat WALHI Bali

Sebelum sidang-sidang dilangsungkan, PDLH dibuka dengan Diskusi yang bertema, "Posisi Strategis NGO untuk Mendorong Pemerintahan Yang Baik dan Pro-Lingkungan". Adapun pembicaranya antara lain: Juniartha (jurnalis), DR.Phil. Aryana (akademisi), Arjaya (Politisi) yang dipandu oleh Anton Muhajir.

Diskusi berkembang untuk mendorong WALHI menjadi organisasi yang didukung oleh basis yang kuat sehingga bisa melakukan advokasi dengan lebih efektif.

Kemudian acara dilanjutkan dengan Sidang-sidang PDLH VI WALHI Bali 2008 dengan agenda Pertanggung jawaban Direktur Eksekutif dan Dewan Daerah WALHI Bali 2003-2008, penetapan anggota baru WALHI Bali, yakni anggota lembaga Bali Santi Tabanan dan 11 orang anggota individu.

Puncak acara yang ditunggu-tunggu dalam perhelatan PDLH WALHI Bali adalah pemilihan Direktur Eksekutif dan Dewan Daerah WALHI Bali Periode 2008-2011. Setelah melalui kampanye, pemilihan dan penghitungan suara, maka terpilih Agung Wardana menjadi Direktur Eksekutif WALHI Bali 2008-2011. Dewan Daerah sendiri terpilih 5 orang, yakni: Ni Nyoman Sri Widhiyanti (Ketua DD), Giriyasa, Budi Wirayadya, Mieka Kurniayasa, Surya Putra. (adit)

Tuesday, February 19, 2008

KTT Perubahan Iklim Habiskan 30 juta Liter Air

Provinsi Bali yang kerap menjadi tuan rumah bagi konferensi internasional, tidak hanya membawa dampak yang baik bagi citra pariwisata Bali namun juga berdampak negatif bagi supply-demand sumber daya alam Bali.

Hal ini terungkap pada Lokakarya dan Diskusi ”Pasca Konferensi PBB Tentang Perubahan Iklim dan Tindak lanjut Kampanye Nyepi Untuk Dunia” yang dilaksanakan oleh Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim hari ini (19/02/2008).

”Ternyata hasil dari konferensi yang berupa Bali Action Plan masih merupakan rekomendasi dan memerlukan pembahasan jangka panjang, tidaklah sebanding dengan biaya ekonomi yang telah dikeluarkan dan biaya lingkungan yang harus ditanggung oleh Bali selaku tuan rumah”, ungkap Hira Jhamtani selaku wakil Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim.

”Jika menggunakan asumsi yang paling minim, yakni peserta berjumlah 3.000 orang saja maka air yang dibutuhkan 30 juta liter selama 10 hari konferensi. Pertanyaannya, jatah air petani atau masyarakat kecil mana yang diambil untuk memasok kebutuhan peserta konferensi?” dia menambahkan.

Aktivis yang juga aktif dalam lobi-lobi internasional ini justru mengajak peserta lokakarya yang dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat, seperti rohaniawan, pemerintah, LSM, pemuda mahasiswa dan akademisi ini, untuk mengalihkan perhatian kepada hal yang lebih penting yakni mengantisipasi dampak perubahan iklim pada lokal Bali sendiri.

Tanpa harus menunggu Bali Action Plan selesai dibuat yang sudah pasti akan memakan waktu yang panjang, pemerintah Bali seharusnya mulai menyusun rencana aksi daerah untuk menyiapkan langkah adaptasi dan mitigasi bagi Bali yang merupakan pulau rentan.

Dalam kesempatan lokakarya ini, kolaborasi yang diwakili oleh kesekretariatan, Kadek Lisa juga memaparkan laporan kegiatan dan laporan keuangannya kepada peserta sebagai bentuk pertanggung jawaban publik dari KBCC yang telah membawa pesan masyarakat Bali.

”Kami mempunyai tanggung jawab moral kepada masyarakat Bali untuk menyampaikan hal yang telah kami lakukan dalam membawa Nyepi yang merupakan hak kolektif dari masyarakat Bali. Untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas, kami juga mengundang pihak yang berkeinginan untuk mendapatkan laporan Kolaborasi secara lengkap, dapat menghubungi sekretariat” ungkap Ni Nyoman Sri Widhiyanti, Direktur Eksekutif WALHI Bali.

”Lewat kegiatan ini kami meminta masukan dari masyarakat Bali mengenai bagaimana kira-kira tindakan yang efektif untuk melanjutkan kampanye World Silent Day ini ke dunia internasional.” tambahnya. (Agung Wardana)


Informasi lebih lanjut:
- Kadek Lisa (0818200941)
- Ni Nyoman Sri Widhiyanti (0818551297)

Catatan:
- Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim merupakan forum yang terdiri dari organisasi non-pemerintah dan eksponen masyarakat sipil yang berjuang untuk mengkampanyekan nilai-nilai Nyepi sebagai salah satu solusi yang adil dan murah untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Forum ini pertama kali dibentuk oleh empat organisasi non pemerintah, yakni: Yayasan WISNU, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bali, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali dan Bali Organic Association (BOA).

- Bali Action Plan adalah konsensus yang dihasilkan oleh COP 13 UNFCCC (KTT Perubahan Iklim) di Bali, bulan Desember lalu. Berisikan rekomendasi mengenai masalah adaptasi, mitigasi, transfer teknologi dan pendanaan yang akan menjadi kerangka kesepakatan negara-negara untuk komitmen penurunan emisi periode kedua (pasca 2012)

- Adaptasi adalah tindakan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan iklim

- Mitigasi adalah tindakan yang dilakukan untuk meringankan dampak perubahan iklim sehingga tidak menjadi lebih buruk.

Sunday, February 17, 2008

Lembar Informasi No. 5

Setelah Pesta Usai,
Bagaimana Rencana Aksi Perubahan Iklim?



Desember 2007, Bali menjadi tuan rumah Konferensi PBB Mengenai Perubahan Iklim ke -13 (COP ke-13 UNFCCC), beserta sidang ke 3 Protokol Kyoto (CMP-3). Konferensi yang menelan dana sekitar Rp. 114 milliar (Tempo Interaktif 8 Oktober 2007) tersebut menimbulkan harapan besar dapat menghasilkan kesepakatan yang berarti untuk menanggulangi perubahan iklim dan dampaknya.

Hingar bingar konferensi yang layak disebut pesta, telah usai. Apakah hasilnya dan bagaimana kita akan melaksanakannya? Walaupun pesta sudah usai, semangat kita untuk mengkampanyekan pentingnya menanggulangi perubahan iklim seharusnya tidak menyurut. Apapun hasilnya, dampak perubahan iklim sudah dan akan kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam Lembar Informasi No. 5 ini kita akan membahas apa yang terjadi, apa yang dihasilkan, dan pelajaran apa yang dapat kita petik dari COP-13 UNFCCC di Bali. Kita akan melihat apakah konsensus yang dihasilkan akan mampu memenuhi harapan kita bersama untuk menghadapi perubahan iklim serta menjadi acuan untuk melaksanakan hal-hal yang perlu dilakukan dalam menghadapi perubahan iklim di Bali.

Lembar Informasi No. 5 merupakan rangkaian dari lembar informasi sebelumnya, yaitu :
Lembar Informasi No.1 menjelaskan tentang perubahan iklim dan dampak-dampaknya; Lembar Informasi No.2 membahas instrumen kebijakan mengenai perubahan iklim;
Lembar Informasi No.3 membahas langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menghadapi perubahan iklim,
Lembar Informasi No. 4 mengulas pesan kearifan masyarakat Bali lewat Nyepi (Hening) sebagai sarana untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.


Apakah catatan penting dari proses COP 13 UNFCCC?
Sejak awal, pertemuan di Bali dirancang untuk membicarakan butir-butir usulan yang berkaitan dengan pengaturan perubahan iklim setelah (pasca) 2012 (penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) periode kedua). Hal ini ternyata mengalihkan pembicaraan mengenai tanggung jawab negara Annex 1 (negara maju) untuk menurunkan emisi (GRK) sebesar 5% pada 2008-2012 (komitmen periode pertama dalam Protokol Kyoto). Bagaimana komitmen periode pertama ini akan dijalan dan hasil apa yang diharapkan tidak dibahas sehingga nampak seperti tanpa arah yang jelas. Hal ini karena beberapa negara maju masih enggan menurunkan emisi GRK nasional mereka, dan enggan untuk menyelesaikan komitmen mereka menyediakan dana dan alih teknologi agar negara berkembang juga bisa beralih ke arah pembangunan yang ramah iklim. Dengan membuat komitmen periode pasca 2012 sebagai hal yang utama, negara maju mengalihkan perhatian masyarakat dari komitmen mereka sendiri yang hingga kini belum jelas apakah akan dilaksanakan.

Perbedaan pendapat di antara blok-blok negara semakin meruncing dalam COP ke-13. Di antara negara maju ada tiga blok yaitu: Uni Eropa yang didukung beberapa negara Eropa Timur; Umbrella Group terdiri dari Australia, Kanada, Islandia, Jepang, Kazakhstan, Selandia Baru, Norwegia, Federasi Rusia dan Ukraina; Environmental Integrity Group terdiri dari Swiss, Monako, Meksiko, Liechtenstein dan Korea Utara. Ketiganya mempunyai kepentingan berbeda berkaitan dengan komitmen pengurangan emisi periode kedua tetapi bersatu untuk menolak menegaskan komitme penyediaan alih teknologi dan dukungan dana kepada negara maju. Uni Blok negara berkembang secara umum hanya satu yaitu kelompok G77 + China tetapi di dalamnya sering ada ketidaksesuaian pendapat, terutama antara kelompok negara kepulauan kecil dan negara penghasil minyak bumi, tergabung dalam OPEC. Namun tuntutan untuk alih teknologi dan dukungan finansial serta penguatan kapasitas merekatkan kelompok G 77 + China.

Selain itu sekretariat UNFCCC yang seharusnya netral terlihat cenderung mendukung posisi Uni Eropa. Dalam tarik menarik posisi politik ini, sering para diplomat dan petinggi negara melupakan kepentingan yang seharusnya diperjuangkan yaitu mengatur kegiatan manusia yang bisa membahayakan sistem iklim bumi. Puncak dari perbedaan kepentingan ini terlihat pada sidang pleno terakhir UNFCCC 13 dimana China menyatakan dengan lugas kekecewaannya. Semua proses politik ini sedemikian sulit dijembatani sehingga sidang diperpanjang satu hari, ditutup pada 15 Desember, yang seharusnya pada 14 Desember.


Beberapa hal menarik untuk dicermati dalam sidang UNFCCC-13, yakni:


Keberanian Papua Nuigini (sebagai negara berkembang yang kecil) untuk mengolok negara adidaya Amerika Serikat dengan mengatakan “kami berharap anda menjadi pemimpin dalam penurunan emisi, tapi jika anda tidak mau, silakan minggir dan biarkan kami yang memimpin”. Ungkapan seperti ini, sangat tidak lazim terjadi pada proses diplomasi internasional. Perkataan Papua Nuigini disambut dengan tepuk tangan panjang sehingga memaksa AS menyepakati dokumen tentang komitmen jangka panjang pada sidang pleno terakhir, 15 Desember 2007.

Sidang pleno terakhir hampir “buntu” akibat ulah sekretariat UNFCCC yang menggelar sidang padahal masih ada konsultasi antara menteri beberapa negara berkembang dengan Menteri Luar Negeri RI Hasan Wirayuda. Hal ini memicu kemarahan China yang meminta pertanggungjawaban dari Sekretaris Eksekutif UNFCCC Yvo de Boer. Kelompok G-77 menolak menyepakati draf keputusan sampai konsultasi menteri selesai dan hampir menimbulkan suasana “deadlock” yang kemudian dicairkan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Sekjen PBB Ban Ki Moon. Walaupun suasana cair, China tetap meminta penjelasan dari Sekretariat UNFCCC yang berujung dengan Yvo de Boer meninggalkan ruang sidang sambil menangis selama sekitar 30 menit. Hal ini juga jarang terlihat dalam negosiasi di forum multilateral.

Aksi-aksi demontrasi yang dilakukan oleh kelompok kepentingan (masyarakat sipil) baik di dalam maupun di luar UN Coumpond, menghiasi hari demi hari pelaksanaan COP 13. Masyarakat sipil mempunyai kepentingan untuk didengarkan dalam sidang internasional. Hal ini menunjukkan bahwa setiap sidang apapun itu seharusnya tidak anti kritik, tidak menutup keran aspirasi serta kebebasan berekspresi.


Apa yang dihasilkan COP- 13 UNFCCC?
COP - 13 UNFCCC beserta CMP-3 menghasilkan paling tidak dua puluh keputusan menyangkut berbagai isu terkait pelaksanaan UNFCCC dan Protokol Kyoto. Seluruh keputusan tersebut seyogianya merupakan peta jalan Bali (Bali Roadmap) menuju penangangan perubahan iklim secara komprehensif. Namun, dari awal, kata Bali Roadmap digunakan untuk sebagai istilah untuk perundingan sebuah peraturan tentang iklim pasca 2012. Karena perundingan baru tidak disepakati, maka Bali Roadmap juga tidak ada.

Salah satu keputusan terpenting memang disebut Bali Action Plan (Rencana Aksi Bali) dan ini berkaitan dengan kerjasama jangka panjgan untuk menangani perubahan iklim. Keputusan tersebut meluncurkan sebuah proses komprehensif untuk memastikan bahwa peraturan dalam UNFCCC dilaksanakan pada saat ini, hingga dan setelah 2012. Bali Action Plan memandatkan perundingan tentang implementasi dari mitigasi, adaptasi, alih teknologi, pendanaan melalui sebuah badan tambahan dibawah Konvensi bernama Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action. Badan tambahan ini harus menyelesaikan tugasnya pada 2009, dan menyampaikan hasil kerjanya untuk dapat diadopsi pada COP 15 di Kopenhagen, Denmark. Boleh jadi Kelompok Kerja ini akan jadi badan yang paling berkuasa di UNFCCC dalam dua tahun mendatang.

Di antara beberapa keputusan penting lain adalah:

1. Dana Adaptasi: akhirnya disepakati operasionalisasi Dana Adaptasi (Adaptation Fund) d dengan menetapkan sebuah Dewan yang akan menjalankan program. Keputusan UNFCCC menggariskan komposisi, keanggotaan, aturan main, dan institusi dari Dewan. Untuk sementara, sekretariat Dana adalah Global Environmental Facility (GEF). Negara Maju diharapkan menjadi penyedia utama dana yang berjumlah US$ 18.6 juta sampai US$ 37.2 juta. Banyak pihak menganggap jumlah dana ini tidak mampu mendukung upaya darurat dalam mengatasi kerusakan akibat perubahan iklim yang terus terjadi. Oxfam memperkirakan diperlukan minimum US$ 50 milliar setiap tahun untuk membantu negara berkembang beradaptasi terhadap perubahan iklim.

2. Alih Teknologi: Ada dua keputusan, satu di bawah SBSTA, dan satu lagi di bawah SBI. Keputusan di bawah SBSTA mengadopsi rekomendasi untuk meningkatkan implementasi seperangkat langkah untuk alih teknologi. Keputusan di bawah SBI menetapkan langkah-langkah alih teknologi yang perlu didanai dan meminta GEF untuk menjabarkan program strategis bagi investasi di bidang alih teknologi. Keputusan ini amat tidak membumi, tapi dianggap kemajuan dibandingkan beberapa tahun lalu, dimana negara maju tidak mau membuat keputusan apapun tentang alih teknologi.

3. Deforestasi dan Degradasi Hutan: keputusan ini menyangkut mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara berkembang, biasa dikenal sebagai REDD. Keputusan tentang REDD mengakui bahwa kebutuhan masyarakat lokal dan adat harus dipertimbangkan ketika mengambil langkah mengurangi deforestasi. Keputusan ini juga meminta negara-negara yang mampu untuk mendukung pengembangan kapasitas dalam pengumpulan data, perkiraan emisi dari deforestasi, pemantauan dan pelaporan berkaitan dengan emisi dari deforestasi di negara berkembang. Selanjutnya, SBSTA diberikan tugas untuk merumuskan isu-isu metodologi berkaitan dengan pendekatan kebijakan dan insentif positif pada REDD yang akan dilaporkan pada COP 15 pada 2009. Segala janji tentang pendanaan sebagai insentif untuk mengurangi deforestasi belum lagi terwujud.


Bagaimana sikap negara-negara maju dalam COP 13 UNFCCC?


Pada hari pertama COP 13 UNFCCC, Ketua Delegasi Australia menyatakan negaranya telah meratifikasi Protokol Kyoto. Ini merupakan salah satu gebrakan besar Australia di bawah kepemimpinan Perdana Menteri yang baru, Kevin Rudd, untuk berpartisipasi dalam menangani dampak perubahan iklim dan memperlemah posisi AS yang masih tidak mau mengadopsi Protokol Kyoto.

Uni Eropa pada awalnya mentargetkan penurunan emisi sebesar 25-40% (mengacu pada Laporan IPCC). Namun, target emisi yang mengikat ditolak oleh AS-Jepang-Canada-New Zealand, dengan alasan bahwa setiap negara punya kemampuan berbeda. Di samping itu, AS selalu mengatakan bahwa target emisi yang mengikat juga harus diberlakukan bagi negara berkembang yang mempunyai tingkat emisi tinggi terutama China dan India. Pada akhirnya Uni Eropa menyepakati draft konsensus dengan menghilangkan besaran target penurunan emisi dan memasukkan rujukan Laporan IPCC tersebut menjadi catatan kaki.

Negara maju juga sangat menghambat proses perundingan di bidang dana adaptasi, pengembangan kapasitas dan alih teknologi. Pada awalnya, negara maju menolak kesepakatan tentang pengembangan kapasitas, dimana Nigeria mengatakan bahwa “UNFCCC dan Protokol Kyoto sudah pincang”. Diperlukan tiga hari konsultasi intensif untuk menghasilkan kesepakatan sehingga tinggal satu paragraf yang belum disepakati dalam rancangan Bali Action Plan mengenai ketentuan penurunan emisi bagi negara berkembang. Negara maju tetap ingin mengikat negara berkembang dengan penurunan emisi yang jelas (walaupun tidak dengan angka khusus). Mereka berusaha menjebak negara maju dengan mengadakan sidang pleno terakhir tanpa mempertimbangkan bahwa masih ada konsultasi informal sehingga menimbulkan suatu “drama” pada penutupan COP 13.

Dapat disimpulkan bahwa negara maju masih enggan melakukan kewajiban mereka di bawah Konvensi dan mengalihkan isunya menjadi tanggung jawab negara berkembang besar untuk menurunkan emisi. Perilaku seperti ini diperkirakan akan berlanjut dalam perundingan Bali Action Plan dalam dua tahun berikut.

Bagaimana Indonesia menyikapi keputusan COP 13 terutama Bali Action Plan?
Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan sebagian besar rakyatnya merupakan kelompok yang rentan terkena dampak perubahan iklim, perlu bertindak lebih awal untuk mengantisipasinya. Hampir semua keputusan COP 13 tidak menjanjikan tindakan yang segera maupun jangka menengah.

Karena itu, sambil mengikuti dan mengambil sikap strategis dalam prundingan Bali Action Plan maupun keputusan COP 13 yang lain, Indonesia sebaiknya mengambil langkah strategis di dalam negeri dalam antisipasi menghadapi dampak perubahan iklim. Memang diperlukan kerjasama internasional untuk melakukan hal itu, tapi bila perundingan internasional tidak menyepakati langkah strategis yang adil, maka lebih baik Indonesia melakukan tindakan di dalam negeri dengan segera dan menyelamatkan negeri serta rakyatnya, sambil memberikan keteladanan bagi dunia.

Bagaimanakah partisipasi masyarakat Bali dalam COP 13 UNFCCC?

Pesan Masyarakat Bali dalam mengangkat kearifan lokal Nyepi – agar dijadikan Hari Hening Dunia (World Silent Day) sudah disosialisasikan oleh Kolaborasi Bali Climate Change, melalui diskusi-diskusi publik, lobi hingga kampanye baik di dalam UN Coumpond maupun dalam acara di luar sidang formal (Side Event). Partisipasi terpenting adalah ketika film Nyepi for the Earth berdurasi 1,3 menit karya Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim diputar pada pembukaan sidang COP ke 13. Film tersebut menggambarkan suasana Nyepi di Bali dan ini diasumsikan bisa mengurangi CO2 sampai 20.000 ton (Lihat Lembar Informasi No.4). Masyarakat Bali bisa berbangga karena untuk pertama kalinya sebuah pesan kearifan lokal yang disampaikan langsung oleh masyarakat dapat masuk dalam sebuah konferensi internasional.

Paling tidak, lewat pemutaran film pada pembukaan sidang, lobi dan kampanye yang telah dilakukan, kearifan tradisional di Bali yaitu Nyepi menjadi pengetahuan seluruh dunia dan memberikan inspirasi bagi delegasi-delegasi yang hadir.

Apakah pesan ini melibatkan Masyarakat Bali secara luas?

Partisipasi masyarakat Bali dalam COP 13 tidak hanya dilakukan di Nusa Dua. Mereka juga terlibat dalam kegiatan Parade Budaya Untuk Keadilan Iklim yang dilaksanakan oleh komponen masyarakat sipil Bali yang peduli pada isu perubahan iklim. Kegiatan ini merupakan bagian dari kampanye global (Global Day of Action) yang dilakukan secara serentak di 90 negara pada tanggal 8 Desember 2007. Kegiatan yang dipusatkan di Renon dan melibatkan lebih dari 2.000 orang, memberikan kesempatan bagi Masyarakat Sipil Bali untuk menyuarakan pesan Nyepi. Dengan membentangkan spanduk ”Support Nyepi Day for the Earth” mereka menggalang dukungan dan solidaritas internasional untuk membubuhkan tanda tangannya di atas spanduk tersebut.


Bagaimana tanggapan terhadap kampanye Hari Hening Dunia (World Silent Day)?

Sejauh ini, kampanye ini telah banyak mendapatkan respon baik positif maupun negatif. Banyak delegasi dari negara-negara maju menghubungkan satu hari tanpa aktivitas dengan kerugian ekonomi yang akan hilang. Namun jika dibandingkan dengan kerugian akibat bencana yang dapat timbul dari perubahan iklim, maka kerugian satu hari ini tidaklah begitu besar, dan merupakan pengorbanan kita untuk menjaga alam yang telah memberikan kehidupan.

Namun banyak juga delegasi yang mengapresiasi dan bahkan punya keinginan untuk mengadopsi praktek ini untuk diterapkan di negara asal mereka. Buktinya, Ketua Global Environment Facility (GEF) pada akhir pidato resminya, mengajak delegasi yang akan kembali ke negaranya masing-masing dan akan menyambut tahun baru, untuk mengikuti jejak Masyarakat Bali dalam merayakan tahun baru (Tahun Baru Caka) dengan cara hening dan memberikan ruang bernafas untuk bumi.

Apakah pesan Masyarakat Bali lewat Hari Hening Dunia (World Silent Day) akan tetap dikampanyekan sampai bisa diterima oleh dunia?

Ya. Pesan Masyarakat Bali lewat Hari Hening Dunia (World Silent Day) akan tetap dikampanyekan untuk menepis anggapan bahwa pesan ini muncul sebagai euforia tuan rumah konferensi yang kemudian hilang seiring telah selesainya konferensi tersebut.

Sampai saat ini kampanye masih dilakukan oleh Kolaborasi Bali Climate Change dengan mengadakan diskusi akhir tahun, workshop dan rencana untuk mengembangkan pilot project. Selain itu, kampanye lewat dunia maya juga tetap dilakukan lewat www.worldsilentday.org untuk mendapatkan dukungan luas.

Meski delegasi Bali Kolaborasi Climate Change mungkin sulit dihadirkan pada COP ke-14 UNFCCC di Polandia nantinya, tetapi pesan Masyarakat Bali akan dititipkan pada kelompok masyarakat sipil, sehingga kampanye Hari Hening Dunia (World Silent Day) tetap menggema.


Apa yang mesti dilakukan untuk mengkampanyekan Hari Hening Dunia (World Silent Day)?


Hal yang dibutuhkan saat ini adalah memperluas dukungan Hari Hening Dunia (World Silent Day) tidak hanya di Bali melainkan juga di tingkat nasional dan internasional. Ada dua hal yang dapat dilakukan sehingga Hari Hening Dunia (World Silent Day) dapat diadopsi oleh seluruh negara pihak, yakni dibutuhkan minimal 10 juta tanda tangan dukungan dari masyarakat sipil atau mendapatkan dukungan resmi dari suatu negara terhadap Hari Hening Dunia (World Silent Day).

Apakah di negara lain ada praktek yang serupa dengan Hari Hening Dunia (World Silent Day) yang ditawarkan oleh Masyarakat Bali?

Sebenarnya di banyak negara, masyarakat sipil telah banyak memperkenalkan model seperti Hari Hening Dunia (World Silent Day), seperti 5 menit tanpa listrik di Prancis atau sehari tanpa berbelanja, namun hal tersebut kurang mendapat respon publik di negara tersebut. Tantangannya bagi kita adalah bagaimana mensinergikan model-model tersebut dalam satu payung Hari Hening Dunia (World Silent Day).

Hal ini akan membutuhkan solidaritas global dari masyarakat sipil untuk bersama-sama berjuang untuk bumi beserta isinya, secara adil dan murah.

Apa yang mendesak perlu dilakukan Bali dalam menghadapi Perubahan Iklim?

Seperti disampaikan pada Lembar Informasi No. 1, ada 140 titik abrasi pada sepanjang pantai Bali sekitar 430 km. Kerusakan ini ditambah potensi dampak dari perubahan iklim diduga akan menyebabkan muka air laut naik 6 meter pada 2030, sehingga Kuta dan Sanur akan tergenang (Bali Post, 16 Agustus 2007). Dampak kenaikan muka air laut akan mengurangi lahan pertanian dan perikanan yang pada akhirnya akan menurunkan potensi pendapatan rata-rata masyarakat petani dan nelayan. Selain itu akan mengurangi pendapatan dari sektor pariwisata.

Untuk mengatasi dampak perubahan iklim, perlu dibuat suatu rencana aksi yang meliputi penilaian (assesment) daerah beresiko, kelompok yang rentan terkena dampak perubahan iklim, strategi mitigasi dan adaptasi yang dapat menurunkan kerentanan serta meningkatkan daya tahan (resilience) terhadap perubahan iklim. Mengantisipasi perubahan iklim di pulau Bali menjadi lebih penting daripada sekedar menjadi tuan rumah konferensi internasional yang justru membantu meningkatkan emisi gas rumah kaca.

Hal terpenting adalah bagaimana mewujudkan rencana aksi ini menjadi kenyataan, bukan sebagai rencana semata. Karena itu rencana aksi ini perlu disosialisasikan kepada masyarakat agar mereka mengetahui dan mendukung upaya ini. Kemudian masyarakat dapat menekan pemerintah provinsi Bali dan pemerintah kabupaten/kota untuk mengadopsi dan melaksanakan rencana aksi. Masyarakat juga bisa memilih untuk memberikan suara mereka kepada calon pemimpin (Gubernur dan Bupati) yang memiliki kepedulian pada pembangunan Bali secara berkelanjutan dan menjaga Bali serta masyarakatnya dari dampak perubahan iklim.

Catatan:
1. Bali Action Plan adalah nama konsensus yang dihasilkan dalam COP 13 UNFCCC sebagai bentuk penghormatan terhadap Bali yang merupakan tempat terselenggaranya sidang tersebut. Di media massa, Bali Action Plan ini dikenal dengan nama Peta Jalan Bali (Bali Roadmap).
2. Main Event adalah tempat dilakukannya sidang-sidang oleh para delegasi resmi, bertempat di BICC (Bali International Convention Center);
3. UN Compound adalah wilayah yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan resmi COP 13 UNFCCC dan di bawah yurisdiksi PBB selama berlangsungnya sidang-sidang UNFCCC. Yang termasuk dalam UN Coumpond ini adalah wilayah Main Event dan Side Event.
4. SBI (Subsidary Body for Implementation) adalah Badan Tambahan Untuk Implementasi. (lihat Lembar Informasi 2)
5. SBSTA (Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice) adalah Badan Tambahan untuk Pertimbangan Ilmiah dan Teknologi (lihat Lembar Informasi No. 2)
6. Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action atau Kelompok Kerja Ad Hoc Mengenai Aksi Kerjasama Jangka Panjang adalah kelompok yang dibentuk di bawah Konvensi yang bekerja sampai 2009 untuk mengawal proses penyusunan kesepakatan penurunan emisi periode kedua dan diputuskan pada COP 15.
7. www.worldsilentday.org adalah situs jaringan internet yang berisi kampanye untuk mendukung World Silent Day, dibuat oleh kelompok profesional yang peduli terhadap perjuangan masyarakat Bali kemudian diadopsi sebagai website resmi kampanye oleh Kolaborasi Bali mengenai Perubahan Iklim.
8. Negara Annex 1 adalah negara-negara maju yang tercantum pada Lampiran 1 Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) yang mempunyai tanggung jawab untuk menurunkan emisi GRK mereka (lihat Lembar Informasi No. 2)



Referensi:
- Lembar Informasi No. 1 ”Ketika Selimut Bumi Makin Tebal; Sekilas tentang Pemanasan Global dan Perubahan Iklim”
- Lembar Informasi No. 2 ” Dari Rio ke Bali via Kyoto: Memahami Peraturan Internasional tentang Perubahan Iklim”
- Lembar Informasi No. 3 ”Berubah atau Diubah: Tindakan Bersama Demi Keberlanjutan Hidup di Bumi”
- Lembar Informasi No. 4 ”Nyepi (Hening) untuk Bumi: Pesan Kearifan dari Bali untuk Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca”
- “Principles of Effective Financing to meet the Climate Change Battle”, Pidato Monique Barbut, CEO dan Chairperson Global Environment Facility (GEF), 12 Desember 2007
- Sunita Narain, “Bali: The Mother of All No-Deals”
- Tempo Interaktif, 8 Oktober 2007
- TWN, Bali News Update 1-19, Third World Network, Desember 2007
- Walden Bello, “The Day After …”
- www.unfccc.org
- www.worldsilentday.org
- www.wikipedia.org


Lembar Informasi No. 5 ditulis oleh Hira Jhamtani, Kadek Lisa dan Agung Wardana, dan di layout oleh Atiek, diterbitkan Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim, didukung Third World Network.

Bali Kolaborasi Climate Change merupakan forum yang terdiri dari organisasi non-pemerintah dan eksponen masyarakat sipil yang berjuang untuk mengkampanyekan nilai-nilai Nyepi sebagai salah satu solusi yang adil dan murah untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Forum ini pertama kali dibentuk oleh empat organisasi non pemerintah, yakni: Yayasan WISNU, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bali, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali dan Bali Organic Association (BOA).

Sewa Hutan Lindung Kok Seharga Pisang Goreng?

Senin, 18/02/2008 11:30 WIB

Arin Widiyanti - detikfinance

Jakarta - Para penggiat lingkungan mengecam penetapan tarif untuk penggunaan hutan lindung dan hutan produksi untuk kegiatan komersial dengan nilai yang begitu murah.

Tarif sewa yang ditetepkan pemerintah itu berkisar antara Rp 1,2 juta sampai Rp 3 juta tiap hektar per tahun. Tarif sewa hutan ini masuk dalam penerimaan negara bukan pajak (PNBP) berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 2008 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 4 Februari 2008.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Sawit Watch, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan HuMa (perkumpulan Untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis) menilai penetapan tarif itu sudah tak berharga lagi.

"Lewat PP itu, para pemodal diberi kemewahan membabat hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan pertambangan dan usaha lain. Hanya dengan membayar sekitar Rp 300 setiap meternya atau seharga pisang goreng. Maka PP ini menghapus fungsi lindung kawasan hutan menjadi fungsi ekonomi sesaat," bunyi siaran pers bersama yang diterima detikFinance, Senin (18/2/2008).

Penerbitan PP tersebut juga dinilai tidak tepat di tengah keprihatinan bencana banjir dan longsor musim ini. PP ini memungkinkan perusahaan tambang merubah kawasan hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang skala besar, hanya dengan membayar Rp 1,8 juta hingga Rp 3 juta per hektarnya.

Lebih murah lagi untuk tambang minyak dan gas, panas bumi, jaringan telekomunikasi, repiter telekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relai televisi, ketenagalistrikan, instalasi teknologi energi terbarukan, instalasi air, dan jalan tol. Harganya turun menjadi Rp 1,2 juta hingga Rp 1,5 juta.

"Itu harga hutan termurah yang resmi dikeluarkan sepanjang sejarah negeri ini. Hanya Rp 120 hingga Rp 300 per meternya, lebih murah dari harga sepotong pisang goreng yang dijual pedagang keliling," ujar Rully Syumanda, pengkampanye WALHI.

"Yang menyesakkan, PP ini keluar ditengah ketidakbecusan pemerintah mengurus hutan. Laju kerusakan hutan sepanjang 2005 hingga 2006 saja mencapai 2,76 juta ha. Juga, di saat musim bencana banjir dan longsor yang terus menyerang berbagai wilayah. Sepanjang 2000 hingga 2006, sedikitnya 392 bencana banjir dan longsor terjadi di pelosok negeri. Ribuan orang meninggal, ratusan ribu lainnya menjadi pengungsi," tambah Edi Sutrisno dari Sawit Watch.

Menurut Edi yang paling bersorak, tentu pelaku pertambangan. Sudah sejak lama mereka melakukan lobi hingga ancaman.

"Mereka tak suka izin pertambangannya terganjal status hutan lindung. Perusahaan asing sekelas Freeport, INCO, Rio Tinto, Newmont, Newcrest, Pelsart jelas diuntungkan PP ini, demikian pula perusahaan nasional macam Bakrie, Medco, Antam dan lainnya," katanya. Saat ini, lebih 158 perusahaan pertambangan memiliki izin di di kawasan lindung, meliputi luasan sekitar 11,4 juta hektar.
(arn/ir)

Sumber: http://www.detik. com/

Kolaborasi Roadshow ke Kubu, Karangasem

Kubu (Karangasem)—World Silent Day nampaknya tetap digulirkan oleh Bali Kolaborasi Climate Change (KBCC). Mengambil tempat di Wantilan Pembenihan Mutiara, Kubu, Karangasem Jumat (15/02/07) yang difasilitasi oleh Camat Kubu sendiri, KBCC mengkampanye kan World Silent Day langsung kepada masyarakat Kubu.

Dalam kesempatan ini, Kolaborasi diwakili oleh 4 orang yakni Hira Jhamtani yang memaparkan tentang perubahan iklim dan dampaknya bagi kehidupan khususnya masyarakat pesisir. Selain itu Beghawan Dwija memaparkan mengenai kaitan Nyepi dengan perubahan iklim dan rangkaian-rangkaian kampanye Nyepi yang sudah dilakukan. Ida Pedanda Sebali Tianyar berbicara tentang Bali dan kearifan lokalnya, dan pada giliran terakhir Ibu Kartini mengajak petani Kubu yang hadir pada acara tersebut untuk kembali pada sistem pertanian organik.

Di sela-sela kegiatan, di sebarkan juga surat dukungan untuk menginternasionalkan Hari Hening Dunia (World Silent Day). Peserta yang terdiri dari petani, wakil masyarakat adat, generasi muda maupun perangkat desa dan kecamatan juga ikut membubuhkan tanda tangan sebagai bentuk dukungan.

Bali Kolaborasi Climate Change merupakan forum yang terdiri dari organisasi non-pemerintah dan eksponen masyarakat sipil yang berjuang untuk mengkampanyekan nilai-nilai Nyepi sebagai salah satu solusi yang adil dan murah untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Forum ini pertama kali dibentuk oleh empat organisasi non pemerintah, yakni: Yayasan WISNU, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bali, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali dan Bali Organic Association (BOA).

Untuk informasi BKCC;
kontak person: Lisa (0818200941)

Wednesday, January 30, 2008

Greenwashing: Taktik Korporasi Menipu Publik


Oleh;

Agung Wardana

Sebelum berlangsungnya COP 13 UNFCCC di Bali, WWF bekerja sama dengan perusahaan Sinar Mas dalam lomba pembuatan film bertema lingkungan, khususnya perubahan iklim. Selain itu, Newmount dan Freeport juga tidak segan-segan mengeluarkan keahlian public relation (PR)-nya di sebuah media nasional dalam mendukung upaya pelestarian lingkungan. Setelah itu, Bakrie Group mengikuti jejak korporasi tersebut dengan menyiapkan uang sebesar US$ 6-7 juta dolar yang akan digunakan untuk konservasi laut bekerjasama dengan Conservation International Indonesia (RoL, 28 Desember 2007).

Timbul pertanyaan kritis dibenak kita bersama, apakah korporasi ini sudah berubah menjadi pecinta lingkungan? Atau hanya merupakan taktik dan upaya penghapusan dosa-nya dihadapan publik?

NGO dan Media Sebagai Mesin Cuci Efektif
Berbagai macam cara dilakukan oleh perusahaan besar (korporasi) untuk menarik simpati publik. Selain corporate social responsibility (CSR), ada hal yang baru-baru ini muncul seiring menguatnya perhatian publik mengenai isu lingkungan hidup, yakni greenwashing. Greenwashing adalah istilah yang digunakan dalam menjelaskan fenomena korporasi perusak lingkungan dan sosial yang berusaha untuk melindungi dan memperluas pasar atau kekuasaan mereka dengan jalan berpose sebagai sahabat alam (CorpWatch).

Fenomena global berkaitan greenwashing ini bukanlah sebuah hal yang baru. Bahkan mendapatkan justifikasinya ketika Sekretariat Jenderal KTT Bumi di Rio, membuat sebuah Eco-Fund untuk membiayai Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini, dimana Eco-Fund me-waralaba-kan logo KTT Bumi kepada ARCO, ICI, dan Mitsubishi Group.
Hal yang menarik untuk dilihat dalam praktek greenwashing ini adalah keterlibatan organisasi non-pemerintah (NGO) dan media massa sebagai mesin cuci korporasi. Padahal harapan publik ditumpukan pada NGO dan media sebagai motor bagi gerakan penyelamatan lingkungan dan perubahan sosial.
Kita lihat saja apa yang dilakukan Conservation International (CI) Indonesia bergandengan dengan Bakrie Group, sebuah kelompok korporasi besar di Indonesia yang konon pemiliknya adalah ’orang terkaya’ di Indonesia. Korporasi ini menguasai aset nusantara dari pertambangan, sarana pariwisata hingga telekomunikasi. Seolah tanpa dosa dan menjadi seorang malaikat penyelamat, Bakrie Group datang dalam mendukung program pelestarian ekosistem pesisir di Nusa Penida.

Masyarakat Indonesia Amnesia?
Sudah lupakah publik ketika salah satu anak perusahaan Bakrie Group, PT. Lapindo Brantas, menyebabkan ribuaan orang mengungsi dan kerusakan lingkungan yang parah akibat pengeboran gas bumi yang dilakukan berdekatan dengan pemukiman masyarakat?

Dan hingga kini kasus PT. Lapindo Berantas ini masih belum terselesaikan sesuai rasa keadilan korban. Nasib pengungsi yang bertahan di Pasar Porong masih terombang-ambing dan tanpa tahu harus kemana. Sebagai pemilik perusahaan sekaligus Menteri Kesejahteraan Rakyat, Aburizal Bakrie seolah tidak bergeming melihat penderitaan rakyat porong yang sedemikian rupa.

Di Bali sendiri, ketenangan masyarakat pernah juga diusik oleh anak perusahaannya pada saat pembangunan lapangan golf dan sarana pendukung pariwisata (BNR) yang berdekatan dengan Pura Tanah Lot. Pertengahan tahun 1990-an, ribuan orang turun ke jalan untuk menyuarakan penolakan mereka akan rencana tersebut. Seolah melawan kekuasaan yang sedemikian besar, rakyat tidak mampu berbuat banyak karena perpanjangtanganan korporasi ada di birokrasi-birokrasi pemerintah.

Apakah situasi akan menjadi terbalik, ketika Bakrie Group datang membawa uang atas nama kepedulian lingkungan dengan legitimasi NGO dan media, dimana masyarakat Bali akan ramah menerima kedatangan mereka?

Atau memang masyarakat Bali telah lama menjadi ’deterjen’ (sabun cuci) atas upaya-upaya pencitraan sebagai sahabat alam yang dilakukan oleh perusahaan maupun individu untuk meluaskan pasar atau memperoleh kekuasan?

Penulis, Aktivis Lingkungan
Tinggal di Tabanan

Friday, January 18, 2008

Dicari Direktur WALHI Bali 2008-2011

Salam Adil dan Lestari,

Pertengahan Februari 2008 nanti, WALHI Bali akan mengadakan Pertemuan Daerah Lingkungan Hidup (PDLH) WALHI Bali 2008. Perhelatan tiga tahunan ini merupakan event yang penting menyangkut kelangsungan WALHI Bali kedepan, karena dalam PDLH ini akan dilakukan:

1. Pemilihan Direktur Eksekutif WALHI Bali 2008-2011
2. Pemilihan Dewan Daerah WALHI Bali 2008-2011
3. Penyusunan Rencana Strategis WALHI Bali 2008-2011
4. Penerimaan Anggotan Baru WALHI Bali, baik anggota lembaga maupun anggota invidu.

Berkaitan dengan hal tersebut, kami membuka ruang publik untuk memberikan kritik, saran dan masukan mengenai keempat agenda tersebut baik kriteria direktur dan dewan daerah, agenda rencana strategis maupun kriteria anggota baru.

Kami percaya bahwa dengan keterlibatan publik dalam roda organisasi, akan membuat WALHI Bali semakin kuat dan mendapat dukungan dalam membela lingkungan dan sumber kehidupan di Bali.

Kritik, saran dan masukan dapat disampaikan lewat:

walhibali_org@yahoo.com/ bali@walhi.or.id


Terima kasih,
ttd,

Steering Commitee (SC) PDLH WALHI Bali 2008